Cinta mencakup segala ruang. Dalam terang, ia cemerlang. Dalam gelap, ia serupa cahaya. Dalam diam, ia berkata-kata.
"Mas?"Chava kembali memanggil suaminya lantaran tak kunjung mendapat jawaban dari lelaki itu. Rasa penasaran menuntun kakinya mengayun lebih dekat, meniadakan jarak antara mereka.Sakti masih terpaku. Bukan sebab pertanyaan Chava. Bukan. Lelaki itu tertegun melihat jejak yang ia tinggalkan di leher juga beberapa bagian tubuh Chava lainnya. Membayangkan betapa menggilanya permainan mereka semalam, seketika membuat dada Sakti dipenuhi kebahagiaan."Mas Sakti."Entah pada panggilan ke berapa barulah Sakti mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Ada rasa yang sulit dia jabarkan tiap kali mengingat apa yang terjadi semalam antara dirinya dan Chava."Ah, iya, Sayang?""Melamunkan apa? Sejak tadi aku panggil-panggil sampai nggak nyahut.""Iya, maaf, Sayang. Ini, Hendi ada kirim pesan menanyakan sesuatu, a"Yang, minum dulu." Sakti menuntun istrinya duduk, tangannya kemudian terulur menyeka titik bening yang mulai berjatuhan di wajah wanita itu. Chava tak mau mengabulkan permintaan Hana untuk berbicara empat mata, tak peduli Hana memohon. Setiap melihat dua manusia yang pernah menempati rumah yang sama dengannya, Chava kembali teringat kesakitan yang dirasakannya di masa lalu. Hana memaksa sementara Chava enggan hingga sempat terjadi aksi saling tarik menarik di antara dua wanita itu. Sakti yang baru kembali dari membeli minuman bergegas melerai. Niatnya mengajak Chava bersenang-senang menghabiskan waktu berdua, malah berantakan gara-gara kejadian tak terduga. Rupanya Hana sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit saat kebetulan melihatnya dan Chava berboncengan dan memutuskan untuk mengikuti mereka. "Sakitnya masih bisa aku rasakan tiap kali melihat wajah mereka, Mas."Sakti menghempaskan bobotnya tepat di sisi sang istri. Dengan bibir terkunci rapat ia singkirkan anak rambut yang
Rindu ini laksana mentari pagi, menyelinap ke celah paling sempit di ujung hati. Hadirnya tak kentara, hujamannya sungguh terasa, dan penawarnya tak dijual dimana-mana. Dia tau ke mana harus bermuara. Kamu. Kidung itu begitu indah Sakti titipkan pada sang bayu untuk disampaikan pada belahan jiwanya, wanitanya. Chava Aurora. Kelopak mata Sakti terpejam rapat. Sesaat ia menarik napas berat. Tak mudah baginya untuk kembali bertemu dengan seseorang yang pernah menempati seluruh kerajaan hatinya. Namun, sepenuhnya Sakti sadar. Rasa itu telah ia buang jauh. Terkubur rapat dan tak akan ia biarkan walau hanya sekilas saja menguasai pikirannya. Cinta yang indah telah tersaji di depan mata, jodoh terbaik yang diberikan Tuhan berupa mahkluk cantik yang kini tengah merajuk. Menghabiskan waktu cukup lama bersama seseorang tentunya meninggalkan kenangan yang membekas. Entah hal manis atau sebuah kepahitan, semua takkan mudah terkelupas dalam ingatan. Butuh waktu. Akan tetapi selalu ada pil
Helaan napas Sakti terdengar berat. Niat hati ingin libur hari ini untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Chava. Akan tetapi ternyata ia kedatangan tamu tak diundang. "Selamat pagi, Mas Sakti. Mohon maaf sudah bertamu sepagi ini." David mengulum senyum dengan wajah tanpa dosa yang justru membuat Sakti muak. "Langsung katakan saja apa tujuanmu datang ke sini? Saya sedang tidak ingin berbasa-basi."Sementara dua pria itu saling berbincang, Chava memilih masuk untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Dia tak ingin terlibat dalam obrolan para pria. Juga, rasa kesalnya pada Sakti masih belum reda. "Mohon maaf, Mas. Sebelumnya saya mau minta waktu Mas beserta istri sebentar."Dari dalam Chava masih bisa mendengar percakapan Sakti dan lelaki yang tak ia kenali. Tak ada sedikit pun niat untuk menguping, tetapi jarak dari ruang tengah mini menuju pintu depan memang tak begitu jauh. "Maksudnya bagaimana? Apa soal Nyonya Sinta lagi? Kan saya sudah bilang, ucapan terima kasih be
"Kondisi beliau sempat menurun setelah membaca hasil tes DNA dan memastikan kalau Mas Sakti adalah benar cucunya yang hilang dua puluh tahun lalu."Setelah puas menangis, Sinta yang kelelahan pada akhirnya tak membutuhkan waktu lama untuk memasuki pulau mimpi. Chava bertahan dalam kamar rawat untuk menemani, sedang David mengajak Sakti duduk di luar sembari menjelaskan apa yang diketahuinya, demi sedikit mengurangi rasa penasaran pria itu. "Nyonya menangis sampai berhari-hari. Beliau sangat bahagia karena akhirnya bisa menemukan cucu kesayangannya setelah sekian tahun. Ada banyak hal yang beliau sesali karena terlambat menemukan Mas Sakti, tetapi beliau merasa sangat bersyukur karena kalian dipertemukan sebelum beliau menghadap Sang Pencipta." David melanjutkan ceritanya. "Setelah tau kalau Mas Sakti adalah cucu yang dicarinya selama ini, Nyonya Sinta meminta saya untuk menyelidiki riwayat hidup Mas selama ini.""Sampai sebegitunya?" Sakti menatap lawan bicaranya tak percaya. "Mas
Halimah tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ia sedang memasak ketika Azzam menghubunginya, memintanya untuk segera menyusul ke rumah sakit tanpa memberitahu alasannya. "Lavender kamar nomor lima." Kaki tuanya sedikit terseok memperhatikan nomor ruang yang diberitahukan Azzam lewat pesan. Samar dapat wanita tua itu dengar tangisan dari salah satu bilik. Kakinya terus terayun, suaranya terdengar makin jelas, dan ternyata berasal dari kamar rawat yang ditujunya. Pemandangan sepasang suami istri yang sedang berpelukan menyapa indera penglihatan Halimah begitu ia berhasil mendorong pintu. "Aku pikir Ibu tidak akan datang." Azzam mengurai pelukannya. Hana yang tengah duduk di bed, masih belum bisa menghentikan tangisannya. "Ibu memang sudah tak menganggapmu sebagai anak, tetapi nurani Ibu sebagai sesama manusia yang sudah menggerakkan hati Ibu ke sini."Wanita tua itu mengedarkan pandangan, melihat Hana yang berbaring di ranjang pesakitan dengan jarum infus yang menancap di tangan m
Bulir bening melesat di wajah Chava demi melihat apa yang terjadi, perih tak terkira. Jantungnya serasa ditikam belati, terberai berdarah-darah dan sukar diobati."Orang yang tau bagaimana sakitnya dikhianati, biasanya tak akan melakukan hal yang sama. Tapi apa ini?" Chava menangis kencang melihat suaminya justru pergi bersama wanita yang telah mengkhianatinya. Tanpa perasaan Sakti meninggalkannya di sana seorang diri. Chava menjerit sekeras yang ia bisa. "Astaga, Sayang? Ada apa?"Peluh menitik di pelipis Chava, napasnya terengah. Wajahnya basah dan sisa tangis itu belum juga reda. Detik berikutnya Sakti mendekatkan diri, menyelimutinya dengan pelukan hangat. Pelukan itu terasa nyata, usapan lembut di punggung juga kecupan yang mendarat di pucuk kepalanya. Ketulusan yang tersalur meresap hingga sanubari. "Ada apa? Kamu mimpi buruk?" Sakti terhenyak saat tiba-tiba Chava menarik diri dari dekapannya. Telaga mata itu menyorotnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Mas, ini kamu?
Sakti memejam merasai wangi stroberi segar kala ia menghidu rambut Chava. Tinggi wanita itu yang hanya sebatas dada membuatnya leluasa mengamati sang istri yang kini tengah sibuk membuat simpul dasi pada kerah kemejanya. Pengalaman pertama Chava mengikat dasi, tetapi ternyata wanita itu begitu luwes melakukannya. Hasilnya pun tak kalah cantik, sehelai kain bermotif garis-garis itu menggantung indah melengkapi sempurnanya tampilan Sakti pagi ini. "Kamu sakit? Mas perhatikan dari tadi diam?" Menahan bahu Chava yang semula hendak pergi darinya. Ini hari pertama Sakti ke kantor, ia dipercaya menempati posisi penting yang memang sudah sepatutnya menjadi haknya sebagai ahli waris mendiang sang ayah. Kehidupannya dan istri berubah drastis manakala ia putuskan menerima ajakan Sinta menempati rumah itu. "Enggak. Cuma rasanya masih nggak habis pikir saja. Kita yang biasanya hidup seadanya di kontrakan, tiba-tiba berubah total menjadi ya ... Mas tau sendiri.""Tidak apa-apa, toh kamu dengar s
Sakti menyambar gelas di sudut meja kerjanya dan meneguknya sampai habis. Seharian ini dia langsung disibukkan dengan berbagai macam hal, ia bahkan terlambat menyantap makan siangnya dan tak sempat mengecek ponsel. Ia menghempaskan bobot di kursi kebesarannya sekembalinya dari ruang rapat, menghela napas sejenak sebelum kembali memeriksa tumpukan dokumen di meja. Tiba-tiba saja benda pipih yang sejak pagi ini dia abaikan, bergetar. Sakti menyipit melihat nama yang muncul pada layar lalu mengambilnya dengan cepat. "Kenapa, Oma? Oma baik-baik saja, kan? Sedang apa istriku sekarang?" Sakti memberondong neneknya dengan banyak pertanyaan. "Itu dia yang mau Oma bicarakan sama kamu. Ke mana saja kamu, dari pagi dihubungi tidak dijawab? Pesan Oma bahkan nggak dibalaa." Suara Sinta terdengar sarat akan kecemasan. "Maaf, Oma. Seharian ini aku sibuk menghadiri rapat dan mempelajari beberapa dokumen penting. Memangnya ada apa?""Istrimu, Nak. Dia