Cantika memilah baju-baju bekas dan perlengkapan bekas lain yang diberikan oleh tantenya setelah pulang dari rumah Miko. Beberapa kena luntur, jahitan lepas, robek, atau ada noda. Dia memisahkan baju, tas, sepatu yang sekiranya masih bisa ia perbaiki atau bersihkan. Ada juga beberapa yang masih bagus. Sepertinya karena sudah tidak muat lagi. Dibandingkan saudara-saudara dan tantenya, Cantika memiliki tubuh yang lebih kurus dan ramping, mungkin turun-menurun dari keluarga ayahnya. Namun di bagian tertentu, dia cukup padat dan berisi. Seperti dada dan bokong, misalnya. Makanya kedua objek itu sering kali menjadi pusat perhatian buaya-buaya kelaparan. Tak jarang dia menerima tatapan-tatapan yang terasa seperti ingin menelanjanginya. Dulu Cantika sempat merasa tidak nyaman dan risih. Tapi lama-kelamaan dia tidak peduli lagi. Dia hanya perlu mengabaikan orang-orang seperti itu, sesuai anjuran Olin. Sahabatnya selalu bilang, perempuan yang punya tubuh molek adalah anugerah. Sheril juga s
Saat dilihatnya seseorang turun dari roda empat yang terpakir di depan rumah mereka, wajah Bianca dan Byana berubah lebih antusias.“Papiiiii!!” seru keduanya segera menghambur memeluk pria yang dipanggil papi.“Eh, anak Papi habis jalan-jalan, ya. Ayo masuk.”“Papi tumben pulang cepat?”“Iya, soalnya Papi kangen kalian.” Dany, yang merupakan paman Cantika, adik dari ibunya, beralih menatap Cantika. “Can, ada kue di mobil. Tolong ambilin, nanti makan aja sama anak-anak.” Kemudian menyerahkan kunci mobil pada Cantika.“Oke, Om.”Cantika menuruti perintah Dany. Membuka pintu belakang yang belum terkunci. Dia melihat tas karton eksklusif dengan logo dari toko kue kenamaan tergeletak di atas jok belakang. Ketika dia mengangkat tas kue itu, tatapannya tidak sengaja jatuh pada serangkai kecil baby breath segar yang rontok di karpet mobil.Cantika tidak mengacuhkannya, tetap mengangkat tas karton tersebut. Tetapi dia malah menjatuhkan sesuatu yang semula tertimpa tas kue. Semacam brosur. Bro
“Kenapa nanya-nanya? Mencurigakan.”Ben tersenyum seraya menjawab, “Aku anter, yuk.”“Nggak, ah. Nanti ada maunya,” tuding Cantika. Tidak pakai basa-basi. Berbanding terbalik dengan hatinya yang sudah bersorak karena dia tak harus membayar ojek online.“Kan aku lagi usaha, buat memenuhi standar jadi calon pacar kamu.”Kalimat itu.Ben memang sudah mengatakannya dan Cantika hanya menganggap angin lalu karena mereka belum lama kenal. Dari segi fisik, tentu saja semua yang ada pada diri Ben menang telak. Wajah dan tubuh tak perlu dikata lagi, macam model pria di sampul majalah. Soal materi, Ben adalah pria dewasa yang sudah bekerja. Lebih dari boyfriend material, malah sudah bisa dibilang husband material mengingat usianya yang matang.Seberapa jauh Cantika mengenal sifat Ben dan seberapa dalam hatinya akan terlibat, itulah yang menjadi bahan pertimbangan utama. Meski bosan harus berganti-ganti pacar, setidaknya dia masih bisa menikmati kebebasannya. Selain itu, menerima tawaran Ben tera
“Lin, apa gue putus aja ya, sama Jovino?” Cantika menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu sebagai ganti melepas tangannya yang semula memegang ponsel. Gadis itu berusaha menarik beberapa helai kaus dari lemari kemudian memasukkannya ke dalam tas.“Siapa ya, yang kemarin bilang mau coba bertahan karena keseringan putus?” ejek Olin dari ujung telepon.Cantika memandangi baju-baju yang berantakan di atas kasur, hasil perbuatannya pasca mengacak isi lemari. “Iya sih, tapi ternyata gue nggak sreg aja.”“Kenapa lagi? Posesif?”“Nggak terlalu.” Gadis itu mulai memungut dan merapikan satu per satu pakaian.“Resek?” tebak Olin.“Belum sampai tahap nyebelin.”“Terus?” Olin tampaknya belum puas dengan jawaban Cantika.Ini dia.Sebenarnya alasan Cantika cukup berkaitan dengan penyebab mengapa dia memilih-milih baju. Jawabannya sederhana. Karena pria yang tinggal satu kompleks dengan rumah tantenya. Pria yang belakangan ini terus mengusiknya, namun juga tidak mau pergi dari pikirannya. Pria
Ben sedang berkutat dengan software AutoCAD, sibuk menyusun bangunan sesuai sketsa, ketika suara nyaring dari ponsel memecah konsentrasi. Manik matanya bergulir ke arah layar ponsel yang menyala-nyala di bawah layar iMac-nya. Wajah pria itu berubah malas melihat sebaris nama yang tertera. Pada awalnya dia memutuskan untuk membiarkan panggilan tersebut. Tetapi si penelepon sama sekali tidak peduli dengan penolakannya. Dengan keras kepala mengulang panggilan seolah tahu Ben sengaja tidak menggubrisnya. Mau tak mau, akhirnya Ben memutuskan untuk menekan tombol hijau tanpa berkata apa-apa. Hingga suara di seberang lebih dulu terdengar. “Ben, nanti malam kamu diundang dinner ke rumahku.” “Nggak bisa,” jawabnya langsung dan singkat. “Tapi Mami aku udah siapin semuanya.” Suara gadis itu memelas di ujung sana. Namun, sama sekali tidak berpengaruh pada Ben. “Nggak bisa. Aku lembur.” Seenaknya saja ingin mengacaukan jadwal orang, keluh Ben dalam hati. Dia jelas lebih memilih bertemu Cantika
“Can, aku udah nggak pengin nonton lagi.” Ben mengambil alih gelas di tangan Cantika dan meletakkannya kembali di meja. Sebelah tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Cantika merenggang. Berpindah meraih jemari lentik itu. Dikecupnya lembut punggung tangan gadis di depannya sembari melirik ke wajah jelita yang tampak resah. Sepasang mata husky milik Ben menatap lekat Cantika seolah meminta persetujuan. Sementara Cantika? Jangan ditanya. Napasnya mungkin sekarang sedang tersangkut di paru-paru. Dia kaku tidak bergeming. “Kamu ... mau apa?” Gerakan canggung dari Cantika tanpa sengaja membuat lutut mereka bersinggungan. Gadis itu buru-buru menarik kakinya. Sejak kapan bersenggolan lutut saja bisa menghantarkan listrik bertegangan tinggi? Rasanya, barusan Cantika seakan tersetrum. “Kamu tau jawabannya,” jawab Ben tersenyum simpul. Perlahan, nyaris tak terlihat, dia menggeser duduknya maju mendekat. “Aku masih punya pacar,” peringat Cantika. “Tapi mau putus.” Rasanya Cantika
Mengenakan crop top, tank top, sportswear, dan bikini sudah menjadi hal yang biasa untuk Cantika saat dia menerima produk endorsement demi menyambung kelangsungan uang sakunya. Saat ini bahkan pakaiannya masih utuh lengkap meski tank topnya sedikit tersingkap mengekspos perut ratanya yang mulus. Tetapi dibandingkan itu semua, Cantika menanggung malu berkali-kali lipat lebih banyak. Bukan hanya karena pakaiannya tidak rapi seperti semula. Mulai dari dirinya kini berada di rumah pria dewasa sendirian, tubuhnya yang entah sudah berapa lama terperangkap di sofa di bawah tubuh atletis Ben, juga pagutan panas—yang harus dia akui—yang baru pertama dirasakannya seluar biasa ini. Mungkin otaknya sudah kacau. Tapi, sungguh ... pria itu amat pandai melakukannya. “Kiara Cantika, you’re the most beautiful woman I’ve ever met,” erang Ben sembari menghujani lehernya dengan kecupan. Cantika tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah penolakan pertamanya. Dia lebih memilih pasrah dan menerima meski se
Untung saja Cantika memilih membawa kunci cadangan. Jadi dia tidak perlu menunjukkan wajah kepiting rebusnya pada siapa-siapa saat masuk ke kediaman pamannya. Cantika menaiki tangga pelan-pelan. Meski lampu di dalam rumah sudah padam, tetapi di sisi kanan dan kiri anak tangga ada lampu-lampu kecil yang menerangi langkahnya.Tadi Ben bilang apa? Cantika agresif?Apanya yang agresif kalau Cantika saja cuma mencetak angka sekali, sedangkan Ben menyentuhnya berkali-kali? Itu namanya curang.Mau mengikuti alur? Jangan bodoh, Cantika! Kalau dia benar-benar membiarkan lelaki itu tadi, bisa-bisa mereka sudah bersetubuh di garasi.Tapi, ini kali pertama Cantika menyisipkan perasaan dalam ciumannya. Dia tidak membencinya. Sebaliknya, Cantika merasa perutnya di hinggapi kupu-kupu. Ben mahir melakukannya. Berbeda dengan yang selama ini dilakukannya dengan para lelaki yang pernah dikencaninya. Hambar. Cantika membalas mereka hanya sebagai formalitas.Setelah kakinya menginjak lantai tiga, Cantika