“Lin, apa gue putus aja ya, sama Jovino?” Cantika menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu sebagai ganti melepas tangannya yang semula memegang ponsel. Gadis itu berusaha menarik beberapa helai kaus dari lemari kemudian memasukkannya ke dalam tas.“Siapa ya, yang kemarin bilang mau coba bertahan karena keseringan putus?” ejek Olin dari ujung telepon.Cantika memandangi baju-baju yang berantakan di atas kasur, hasil perbuatannya pasca mengacak isi lemari. “Iya sih, tapi ternyata gue nggak sreg aja.”“Kenapa lagi? Posesif?”“Nggak terlalu.” Gadis itu mulai memungut dan merapikan satu per satu pakaian.“Resek?” tebak Olin.“Belum sampai tahap nyebelin.”“Terus?” Olin tampaknya belum puas dengan jawaban Cantika.Ini dia.Sebenarnya alasan Cantika cukup berkaitan dengan penyebab mengapa dia memilih-milih baju. Jawabannya sederhana. Karena pria yang tinggal satu kompleks dengan rumah tantenya. Pria yang belakangan ini terus mengusiknya, namun juga tidak mau pergi dari pikirannya. Pria
Ben sedang berkutat dengan software AutoCAD, sibuk menyusun bangunan sesuai sketsa, ketika suara nyaring dari ponsel memecah konsentrasi. Manik matanya bergulir ke arah layar ponsel yang menyala-nyala di bawah layar iMac-nya. Wajah pria itu berubah malas melihat sebaris nama yang tertera. Pada awalnya dia memutuskan untuk membiarkan panggilan tersebut. Tetapi si penelepon sama sekali tidak peduli dengan penolakannya. Dengan keras kepala mengulang panggilan seolah tahu Ben sengaja tidak menggubrisnya. Mau tak mau, akhirnya Ben memutuskan untuk menekan tombol hijau tanpa berkata apa-apa. Hingga suara di seberang lebih dulu terdengar. “Ben, nanti malam kamu diundang dinner ke rumahku.” “Nggak bisa,” jawabnya langsung dan singkat. “Tapi Mami aku udah siapin semuanya.” Suara gadis itu memelas di ujung sana. Namun, sama sekali tidak berpengaruh pada Ben. “Nggak bisa. Aku lembur.” Seenaknya saja ingin mengacaukan jadwal orang, keluh Ben dalam hati. Dia jelas lebih memilih bertemu Cantika
“Can, aku udah nggak pengin nonton lagi.” Ben mengambil alih gelas di tangan Cantika dan meletakkannya kembali di meja. Sebelah tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Cantika merenggang. Berpindah meraih jemari lentik itu. Dikecupnya lembut punggung tangan gadis di depannya sembari melirik ke wajah jelita yang tampak resah. Sepasang mata husky milik Ben menatap lekat Cantika seolah meminta persetujuan. Sementara Cantika? Jangan ditanya. Napasnya mungkin sekarang sedang tersangkut di paru-paru. Dia kaku tidak bergeming. “Kamu ... mau apa?” Gerakan canggung dari Cantika tanpa sengaja membuat lutut mereka bersinggungan. Gadis itu buru-buru menarik kakinya. Sejak kapan bersenggolan lutut saja bisa menghantarkan listrik bertegangan tinggi? Rasanya, barusan Cantika seakan tersetrum. “Kamu tau jawabannya,” jawab Ben tersenyum simpul. Perlahan, nyaris tak terlihat, dia menggeser duduknya maju mendekat. “Aku masih punya pacar,” peringat Cantika. “Tapi mau putus.” Rasanya Cantika
Mengenakan crop top, tank top, sportswear, dan bikini sudah menjadi hal yang biasa untuk Cantika saat dia menerima produk endorsement demi menyambung kelangsungan uang sakunya. Saat ini bahkan pakaiannya masih utuh lengkap meski tank topnya sedikit tersingkap mengekspos perut ratanya yang mulus. Tetapi dibandingkan itu semua, Cantika menanggung malu berkali-kali lipat lebih banyak. Bukan hanya karena pakaiannya tidak rapi seperti semula. Mulai dari dirinya kini berada di rumah pria dewasa sendirian, tubuhnya yang entah sudah berapa lama terperangkap di sofa di bawah tubuh atletis Ben, juga pagutan panas—yang harus dia akui—yang baru pertama dirasakannya seluar biasa ini. Mungkin otaknya sudah kacau. Tapi, sungguh ... pria itu amat pandai melakukannya. “Kiara Cantika, you’re the most beautiful woman I’ve ever met,” erang Ben sembari menghujani lehernya dengan kecupan. Cantika tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah penolakan pertamanya. Dia lebih memilih pasrah dan menerima meski se
Untung saja Cantika memilih membawa kunci cadangan. Jadi dia tidak perlu menunjukkan wajah kepiting rebusnya pada siapa-siapa saat masuk ke kediaman pamannya. Cantika menaiki tangga pelan-pelan. Meski lampu di dalam rumah sudah padam, tetapi di sisi kanan dan kiri anak tangga ada lampu-lampu kecil yang menerangi langkahnya.Tadi Ben bilang apa? Cantika agresif?Apanya yang agresif kalau Cantika saja cuma mencetak angka sekali, sedangkan Ben menyentuhnya berkali-kali? Itu namanya curang.Mau mengikuti alur? Jangan bodoh, Cantika! Kalau dia benar-benar membiarkan lelaki itu tadi, bisa-bisa mereka sudah bersetubuh di garasi.Tapi, ini kali pertama Cantika menyisipkan perasaan dalam ciumannya. Dia tidak membencinya. Sebaliknya, Cantika merasa perutnya di hinggapi kupu-kupu. Ben mahir melakukannya. Berbeda dengan yang selama ini dilakukannya dengan para lelaki yang pernah dikencaninya. Hambar. Cantika membalas mereka hanya sebagai formalitas.Setelah kakinya menginjak lantai tiga, Cantika
“Gue nggak bisa Mik, hari itu. Kenapa lo nggak bawa gebetan lo aja?” Suara Olin sudah terdengar waktu Cantika membuka pintu ruang kantor wanita itu.“Kalo ada yang bisa diajak, gue nggak bakal ngajak lo.”Menyadari kehadiran Cantika, Olin sempat melirik sebentar sebelum tatapannya kembali mengarah pada Miko. “Eh, sama Cantika aja gimana?”“Huh? Kenapa sama gue?”“Miko dapat undangan pesta pernikahan, tapi berasa ngenes gitu kalo dateng sendirian. Dia minta gue jadi partnernya, tapi gue nggak bisa. Barangkali lo bisa jadi partner Miko.” Panjang lebar Olin menjelaskan, menggantikan Miko.Cantika menarik bangku dan duduk menyerong menatap lelaki yang hari ini pun tampan seperti biasanya. “Kapan, Mik?” Dia selalu betah melihat wajah kinclong Miko, dengan mata sipit dan perawakannya yang macho. Ada tahi lalat di dekat bibir yang membuat lelaki itu tampak lebih manis lagi.“Lusa. Nggak pa-pa kalau nggak ada yang bisa. Paling gue datang setor muka dan setor angpao, terus pulang.”“Aku nggak
“Kamu kok udah jemput? Kan belum jam sembilan?” “Habisnya aku keburu excited mau ketemu kamu.” Ben tersenyum, menoleh sekilas pada Cantika seraya memutar roda kemudinya. Cantika terhenyak. Kenapa laki-laki itu harus bicara semanis itu, dengan senyum dan wajah menawannya? Dada Cantika jadi bergejolak hebat begini sekarang. “Sorry, kamu jadi buru-buru pulang karena aku, ya? Padahal kalau kamu masih mau ngobrol, aku bisa nunggu,” lanjut Ben. Cantika menggeleng pelan. “Aku yang nggak enak kalau kamu nunggu kelamaan.” “Tadi katanya kamu sama temen-temen, kok cuma berdua pas keluar?” “Yang satu udah pulang.” “Ooh ....” Sewaktu Olin bilang kalau Ben sedang menunggunya di depan, Cantika kaget bukan main. Dia tidak bermaksud menyembunyikan Ben dari Olin. Namun rasanya, tadi itu terlalu mendadak. Bayangkan saja, Cantika baru akan memulai sesi curhatnya, tapi yang dibicarakan malah muncul duluan. “Kalo bener, mungkin orang yang lagi di luar studio itu cowok yang lo maksud,” kata Olin saa
Ben menatap pesan masuk di ponselnya dengan wajah memberengut. Suasana hatinya sudah tidak baik sejak pagi karena klien rewel yang terus menerus meminta revisi desain. Dia juga harus membantu Barry di kantornya. Ditambah lagi pesan dadakan yang diterimanya sebelum menjelang makan siang.Kiara C: Ben, sorry ...Kiara C: Aku nggak bisa besokKiara C: Aku lupa udah ada janji duluan sama temanMelihat pesan itu, Ben berdecak kesal. Dan mengetik balasan dengan singkat.Ben: Ok“Hey, muka lo kenapa ditekuk aja, Bro?” Seseorang menepuk pundak Ben dari belakang. Dia langsung menoleh mendapati sang kakak berdiri di belakangnya.“Nggak pa-pa, besok ada undangan dari Leovin, partner gue tiba-tiba bilang nggak bisa.”“Bukan Viona, ya?” tanya Barry tepat sasaran.“Bukan. Terpaksa ajak dia.”“Masih aja lo sama dia.” Pria berwajah Asia yang tidak begitu mirip dengan Ben itu berkomentar.Ben tidak menggubrisnya dan mengalihkan, “Gimana kabar Mama Delia?”“She’s good.” (Dia baik-baik aja)Sembari meny