Viona enaknya diapain ya? Ada yang dukung dia?
Delapan tahun lalu. “Yang diberita itu papanya Kiara, ‘kan?” “Jangan deket-deket, dia anak koruptur!” Tahan. “Hati-hati nanti uang kamu diambil sama dia. Katanya sifat itu turun temurun.” Sabar. “Enggak malu ya, masih masuk sekolah. Pasti barang-barang mahal yang dia pake hasil korupsi.” Tahan. Beragam hinaan dan kekerasan verbal terus diterima Cantika di sekolah. Tatapan tajam dan sinis tak ayal mengikuti ke manapun dia melangkah. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang tenang untuknya belajar. Bahkan guru-guru juga mulai mendiskriminasinya. Sejak ayahnya di penjara sebulan yang lalu, rumah dan seluruh harta mereka disita. Cantika dan ibunya terpaksa harus pindah ke tempat yang jauh lebih sederhana. Bagi seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun, terlalu berat untuk menanggung segalanya. Mulai dari cemooh tetangga, perlakuan buruk teman-temannya, serta para keluarga angkat tangan menjauhi mereka. Tidak mau terlibat, begitu katanya. Ibunya yang semula tenang pun mulai ke
“Happy birthday, Brian!” “Selamat ulang tahun, Bri.” “Gimana ujiannya Bri?” Semua saudara yang hadir memberi ucapan selamat pada Brian. Beberapa hari yang lalu remaja itu baru saja berulang tahun. Seperti sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dalam keluarga ibunya, selalu ada acara meriah untuk merayakan ulang tahun sepupu-sepupu dan om-tante Cantika. Suasana hati Cantika yang tak terlalu baik membuatnya semakin enggan mengikuti acara itu. Dia lebih banyak diam atau menghindar, berpura-pura menemani Byana. “Kak Can,” panggil Byana menarik-narik pelan ujung baju Cantika. “Kenapa, sayang?” “Kak Can ulang tahunnya kapan? Kok enggak pernah dirayain.” Cantika terdiam, lalu tersenyum pada Byana. “Masih beberapa bulan lagi. Bikin acara itu ‘kan mahal, Byan.” “Minta sama Papi aja, ‘kan Papi banyak uang.” Tawa Cantika lolos begitu saja mendengar usul Byana yang terlalu polos. “Om Dany ‘kan Papinya Byan.” “Enggak pa-pa, nanti Byan bilang ke Papi.” “Jangan ya, Byan. Lagian Kak Can juga
Olin membasahi bibirnya gugup. Sambil duduk menangkup cangkir kopinya, sambil memerhatikan Bayu yang membaca lembaran kertas berisi perjanjian mereka dulu serta lampiran tambahan darinya. Setelah beberapa tahun hidup dari kucuran dana Bayu, ia terpaksa harus mengambil keputusan ini. Keputusan yang merupakan janjinya pada Cantika. Mungkin bukan sepenuhnya karena Cantika. Sebagian dirinya memang ingin berhenti. Hidup untuk dirinya sendiri seperti yang Cantika katakan. “Kamu yakin sama pilihan kamu, Lin?” tanya Bayu melirik Olin dari map yang dipegangnya. Kali ini, mereka bertemu dalam situasi yang lebih formal sesuai permintaan Olin. Untuk membahas hal yang sangat serius ini, Olin tidak mau membicarakannya di apartemen, apalagi di dalam kamar. Dia bisa saja goyah. Kebiasaan yang sudah melekat selama bertahun-tahun sulit untuk ditinggalkan. Olin mungkin tidak akan bisa langsung terlepas dari pergaulan bebasnya. Tapi setidaknya, ia harus mencoba memangkas akar dari belenggunya. “Saya
Beberapa detik setelah Olin meninggalkan unit apartemennya, suasana berubah sunyi. Cantika yang semula ikutan heboh dan bercicit-cicit riang gembira kini kembali dalam mode suram seperti beberapa hari lalu saat datang padanya. Miko duduk di sofa, sebelah Cantika. Mengamati tatapan kosong perempuan itu ke layar televisi yang menyala. Dan seratus persen ia yakini, Cantika bahkan sama sekali tak sadar film apa yang sedang tayang. “Can, kamu udah mau tidur?” tanya Miko memecah keheningan. Jujur, Miko tidak tahu apa yang terjadi pada Cantika kali ini hingga menghabiskan waktu lebih dari dua hari menginap di apartemennya. “Belum.” Kalau sebelumnya Miko cuek-cuek saja, kali ini dia tidak mengubur mentah-mentah rasa penasarannya. Paling tidak, dia harus tau alasan Cantika meninggalkan rumah sebelum disangka menyekap anak gadis orang. “Udah dua malam kamu di sini. Apa kamu belum ada rencana buat pulang?” “Kamu terganggu ya aku di sini?” Perempuan itu balik bertanya. “Aku bukan terganggu
Cantika sedang bersiap-siap mandi untuk mengikuti kelas siang di kampus, ketika ponselnya berdering keras tak sabar. “Duh, siapa lagi, sih. Tunggu, tunggu ...,” desisnya pada benda persegi yang terus menjerit itu. Tadi pagi, Miko sudah berangkat ke klinik lebih dulu. Kalau bersiap lebih awal, seharusnya Cantika bisa ikut menumpang di mobil Miko. Tetapi hari ini Cantika sedang tidak ingin cepat-cepat datang ke kampus dan menunggu sendirian selama beberapa jam sebelum kelas siangnya dimulai. Nama Olin tertera di layar ketika Cantika meraih ponselnya. Dia lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga. “Lo di mana?” serbu suara di sujung telepon, bahkan sebelum Cantika mengatakan ‘halo’. Nadanya terdengar tergesa. “Di apartemen Miko, mau siap-siap ke kampus.” “Tunggu gue. Gue ke situ sekarang.” “E-eh ... tapi gue mandi dulu y—” Bunyi klik menghentikan kalimat Cantika. Perempuan itu menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap dengan bibir mengerucut pada layar yang sudah gelap itu. “Huh
“Masuk?” Cantika menggeleng pelan. “Cuma mau ambil maket.” “Sebentar.” Lelaki itu kemudian masuk tanpa menutup pintu. Kalau bukan karena pertanyaan Hilda, Cantika mungkin baru akan mengingat tugas maketnya pada saat hari pengumpulan. Pikirannya bercabang-cabang tak menentu. Berkat banyak hal, ia semakin tidak bisa fokus pada tugas kuliah. Maka dari itu, Cantika tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkan atau bahkan mengulang maket yang jatuh tempo pengumpulannya kurang dari empat puluh delapan jam itu. Mau tak mau ia harus menebalkan muka dan merendahkan diri. Jika biasanya Ben yang menghubungi lebih dulu, mengejarnya dengan gigih, kali ini pria itu sama sekali tak mengirim pesan sejak insiden dengan Viona. Cantika tidak terkejut bila lelaki terpandang seperti Ben berubah pikiran untuk mengencaninya. Untuk wajah dan golongan sekelas Ben, tak perlu repot-repot mengejar rakyat jelata sepertinya. Hal itu hanya akan buang-buang waktu dan tenaga. Selang dua menit, Ben kembali den
Beberapa jam sebelumnya, dini hari. “Sialan! Lo emang super berengsek!” Olin melempar keras bantalnya ke arah pria yang masih tertidur di sebelahnya. Sayup-sayup, lelaki yang dikenal Olin bernama Ben membuka mata. “Apa-apaan ini maksudnya?! Lo tau gue temennya Cantika!” jeritan keras Olin berhasil mengusik lelaki itu. Ben berdecak. Ada jeda panjang guna meraih kesadarannya sebelum berkomentar, “Iya, tau.” “Lo sembunyiin di mana dia?!” “Siapa?” “Cowok yang semalem bareng gue itu enggak mungkin lo!” “Tau dari mana?” “Yang bener, deh! Ngaku lo?! Nggak mungkin ‘kan setiap kali ada masalah sama Cantika, ternyata lo lari ke gue? Ini nggak masuk akal banget!” Sementara Olin sudah geram setengah mati, Ben masih berbaring sambil mengusap-usap matanya. Santai dan tampak sama sekali tak acuh. “Jawab gue! Lo bukan sengaja hancurin hubungan gue sama Cantika ‘kan?! Setelah isu-isu punya calon istri, sekarang apa? Lo pake gue buat pengalihan lo?! Bener dugaan Cantika sebelumnya, lo cowok m
Ketika Miko pulang, Olin ada lagi di apartemennya. Namun dalam balutan suasana yang berbeda. Jika kemarin unitnya ramai, berisik, dan penuh hawa-hawa suka cita, hari ini sangat bertolak belakang. Dua sahabatnya melakukan aktivitas yang sama seperti kemarin, membuat jus, hanya atmosfir yang terlihat kini muram dan mendung. Tidak ada percakapan antara dua wanita itu. Mata Miko sempat menangkap benda yang ada di ruang tamunya. Miniatur sebuah kafe modern seperti yang pernah dilihatnya di toko-toko buku besar atau toko peralatan hobi. Dia bisa menebak itu milik Cantika, mengingat satu-satunya yang masih kuliah di sini adalah perempuan itu. “Lo datang lagi, Lin,” basa-basi Miko. Tetapi Olin hanya bergumam, “He-em.” “Enggak ke studio?” “Tadi siang aja.” Aneh. Ini benar-benar aneh. Dua orang yang biasanya kalau bertemu tidak permah berhenti berceloteh mendadak diam seribu bahasa. Cantika sibuk membuat asupan malamnya sambil mengunggah inst4story, sedang Olin sibuk dengan ponselnya. “