“Masuk?” Cantika menggeleng pelan. “Cuma mau ambil maket.” “Sebentar.” Lelaki itu kemudian masuk tanpa menutup pintu. Kalau bukan karena pertanyaan Hilda, Cantika mungkin baru akan mengingat tugas maketnya pada saat hari pengumpulan. Pikirannya bercabang-cabang tak menentu. Berkat banyak hal, ia semakin tidak bisa fokus pada tugas kuliah. Maka dari itu, Cantika tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkan atau bahkan mengulang maket yang jatuh tempo pengumpulannya kurang dari empat puluh delapan jam itu. Mau tak mau ia harus menebalkan muka dan merendahkan diri. Jika biasanya Ben yang menghubungi lebih dulu, mengejarnya dengan gigih, kali ini pria itu sama sekali tak mengirim pesan sejak insiden dengan Viona. Cantika tidak terkejut bila lelaki terpandang seperti Ben berubah pikiran untuk mengencaninya. Untuk wajah dan golongan sekelas Ben, tak perlu repot-repot mengejar rakyat jelata sepertinya. Hal itu hanya akan buang-buang waktu dan tenaga. Selang dua menit, Ben kembali den
Beberapa jam sebelumnya, dini hari. “Sialan! Lo emang super berengsek!” Olin melempar keras bantalnya ke arah pria yang masih tertidur di sebelahnya. Sayup-sayup, lelaki yang dikenal Olin bernama Ben membuka mata. “Apa-apaan ini maksudnya?! Lo tau gue temennya Cantika!” jeritan keras Olin berhasil mengusik lelaki itu. Ben berdecak. Ada jeda panjang guna meraih kesadarannya sebelum berkomentar, “Iya, tau.” “Lo sembunyiin di mana dia?!” “Siapa?” “Cowok yang semalem bareng gue itu enggak mungkin lo!” “Tau dari mana?” “Yang bener, deh! Ngaku lo?! Nggak mungkin ‘kan setiap kali ada masalah sama Cantika, ternyata lo lari ke gue? Ini nggak masuk akal banget!” Sementara Olin sudah geram setengah mati, Ben masih berbaring sambil mengusap-usap matanya. Santai dan tampak sama sekali tak acuh. “Jawab gue! Lo bukan sengaja hancurin hubungan gue sama Cantika ‘kan?! Setelah isu-isu punya calon istri, sekarang apa? Lo pake gue buat pengalihan lo?! Bener dugaan Cantika sebelumnya, lo cowok m
Ketika Miko pulang, Olin ada lagi di apartemennya. Namun dalam balutan suasana yang berbeda. Jika kemarin unitnya ramai, berisik, dan penuh hawa-hawa suka cita, hari ini sangat bertolak belakang. Dua sahabatnya melakukan aktivitas yang sama seperti kemarin, membuat jus, hanya atmosfir yang terlihat kini muram dan mendung. Tidak ada percakapan antara dua wanita itu. Mata Miko sempat menangkap benda yang ada di ruang tamunya. Miniatur sebuah kafe modern seperti yang pernah dilihatnya di toko-toko buku besar atau toko peralatan hobi. Dia bisa menebak itu milik Cantika, mengingat satu-satunya yang masih kuliah di sini adalah perempuan itu. “Lo datang lagi, Lin,” basa-basi Miko. Tetapi Olin hanya bergumam, “He-em.” “Enggak ke studio?” “Tadi siang aja.” Aneh. Ini benar-benar aneh. Dua orang yang biasanya kalau bertemu tidak permah berhenti berceloteh mendadak diam seribu bahasa. Cantika sibuk membuat asupan malamnya sambil mengunggah inst4story, sedang Olin sibuk dengan ponselnya. “
“Miko? Kamu kok pindah ke sofa?” “Eh, Can.” Miko hampir lupa kalau Cantika tipe orang yang selalu bangun pagi. “Apa aku semalam tidurnya nggak bisa diem? Aku ngigau?” Dengan gerakan serba salah, Miko mengusap tengkuknya. “Ng-nggak, kok.” Cantika memekik tanpa suara. “Jangan-jangan aku nampar kamu?? Apa ngilerin kamu?” “Nggak, Can ...” Sesuai kata-katanya semalam, Cantika tidur dengan amat sangat tenang seperti putri tidur. Justru sbealiknya, yang jadi masalah di sini adalah Miko sendiri. “Itu ... aku cuma nggak betah aja karena terbiasa tidur sendiri.” “Ya ampun, sorry ya. Kehadiran aku di sini pasti ganggu banget. Nanti sore aku balik ke rumah, deh,” ucap Cantika dengan bibir mengerucut dan wajah memelasnya. Tapi tak hanya sampai di situ, Cantika bergumam menambahkan, “Ya, meskipun aku dan mamaku belmu akur. Meskipun aku masih nggak nyaman pulang. Meskipun aku belum bisa ketemu tante Grace. Aku paksain—” “Udah, nggak pa-pa,” potong Miko cepat. “Kamu di sini aja dulu kalau belu
“Apa kamu bilang?” Seorang pria yang semula berdiri menatap kaca jendela ruangannya sembari mengaitkan tangan di belakang tubuhnya seketika berbalik. “Belakangan ada perempuan yang keluar-masuk apartemennya?” Pria yang usinya hampir mencapai kepala enam itu memiliki sorot mata yang tajam, ekspresi dingin tanpa senyum. Auranya begitu kuat, membuat seseorang yang berada di dekatnya merasa terintimidasi oleh sosok yang berkuasa itu. “Benar, Pak. Tadinya satu orang yang sama, lalu ada yang lainnya lagi,” jawab sang ajudan. “Bikin ulah apa lagi anak itu?” gumam pria yang rambutnya mulai dihiasi warna putih keperekan. “Siapa mereka?” tanyanya menatap lurus sang ajudan. “Kelihatannya teman Tuan.” Sejak putra satu-satunya menentangnya dan meninggalkan rumah, Dito Wangsawardhana sesekali memantau sang anak. Dari apa yang diketahuinya, kadang-kadang Miko datang ke sebuah tempat gym terlarang, berisi sekumpulan pria penyuka sesama jenis. Hal itu tentu saja membuat Dito semakin geram hingga
Dua sahabatnya yang sudah berada di apartemen memerhatikan Ben dengan pandangan seolah mereka kedatangan makhluk luar angkasa. Heran, kenapa lelaki itu ada di sini. Tetapi Ben tidak memedulikannya sama sekali. Jangankan bilang permisi pada tuan rumah, dia masuk tanpa melirik sedikit pun. Hanya sempat bersibobrok dengan Olin barang sedetik. Seakan sejarah kekacauan di antara mereka tidak pernah terjadi. Sedangkan Cantika, sudah cemas setengah mati. Takut Ben yang yang sedang kumat sumbu pendeknya mencak-mencak di apartemen Miko, membuat keributan. “Cuma ini bawaan kamu?” Diangkatnya satu tas travel yang dijinjingnya. “Jangan sampai ada yang ketinggalan.” “E-eh, iya.” Cantika mengekori Ben ke pintu. Membasahi bibir, merasa tidak punya pilihan. Di sisi lain ia merasa tak enak pada Olin dan Miko karena mendadak pergi dari sana. Cantika lalu beralih pada teman-temannya. “Nanti gue chat ya.” “Tempatnya kecil, cuma satu kamar. Bed juga cuma satu. Mana bisa tiga orang tinggal di sana?”
Cantika punya dunia baru. Ben adalah dunianya. Dia menjalani-hari-hari menyenangkan dengan lelaki itu. Fakta bahwa ia sudah dipertemukan dengan Ben sejak kecil membuatnya seperti di kelilingi cahaya kerlap-kerlip berkilau. Meski masalah datang silih berganti, timbul keyakinan kalau Ben adalah— Tidak. Terlalu cepat jika dia menyebut Ben adalah takdirnya. Jalannya masih sangat panjang. Tapi belakangan Cantika jadi berharap, lelaki itulah ujung jalannya. Jatuh cinta pertama dan akhir bahagianya. Rasa sukanya pada Ben semakin besar, apalagi setelah pria itu tetap menerimanya meski tahu tragedi ayahnya. Konyol memang, Cantika yang biasa tak acuh tiba-tiba menjelma jadi wanita pemimpi melankolis. Mengharapkan kisah romantis indah seperti di buku-buku dongeng yang mungkin pernah mengisi rak di perpustakaannya dulu. Tapi jika setiap hari Ben selalu bersikap manis padanya, posesif dan cemburu padanya, boleh ‘kan dia berharap kalau laki-laki itu juga menyukainya sama besar? Ben: Babe Ben:
“Dari kapan dia di sana?” Olin gelagapan mendengar pertanyaan itu. “A-apa?” “Om gue ada di tempat lo ‘kan?” tanya Cantika datar, tidak menoleh pada Olin sama sekali. “ Gue nggak sengaja lihat mobilnya di parkiran. Makanya gue nyelonong masuk.” Mata Olin yang sedang mengemudi saat itu langsung berkaca-kaca. Dia mengusapnya dengan sebelah tangan. “Thanks. Gue nggak tau gimana jadinya kalo nggak ada lo.” Ya. Olin berkata jujur. Baru kali ini ia merasa takut bersama seorang lelaki. Baru kali ini dia benci disentuh seperti itu. Biasanya Olin tak ambil pusing jika uang berbicara. Terlepas dari itu, dia benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Dia ingin berubah. “Dia ngapain lo?” Suara Cantika melunak saat menyadari Olin yang biasanya tampak kuat dan selalu bisa mengatasi banyak hal, kini kelihatan rapuh dan mudah pecah. Olin menggeleng dengan mata tergenangnya. “Lo keburu datang.” “Sorry.” “Kenapa—” “Gue minta maaf mewakili keluarga gue.” “Nggak. Nggak sepatutnya lo yang minta maaf.”