“Apa kamu bilang?” Seorang pria yang semula berdiri menatap kaca jendela ruangannya sembari mengaitkan tangan di belakang tubuhnya seketika berbalik. “Belakangan ada perempuan yang keluar-masuk apartemennya?” Pria yang usinya hampir mencapai kepala enam itu memiliki sorot mata yang tajam, ekspresi dingin tanpa senyum. Auranya begitu kuat, membuat seseorang yang berada di dekatnya merasa terintimidasi oleh sosok yang berkuasa itu. “Benar, Pak. Tadinya satu orang yang sama, lalu ada yang lainnya lagi,” jawab sang ajudan. “Bikin ulah apa lagi anak itu?” gumam pria yang rambutnya mulai dihiasi warna putih keperekan. “Siapa mereka?” tanyanya menatap lurus sang ajudan. “Kelihatannya teman Tuan.” Sejak putra satu-satunya menentangnya dan meninggalkan rumah, Dito Wangsawardhana sesekali memantau sang anak. Dari apa yang diketahuinya, kadang-kadang Miko datang ke sebuah tempat gym terlarang, berisi sekumpulan pria penyuka sesama jenis. Hal itu tentu saja membuat Dito semakin geram hingga
Dua sahabatnya yang sudah berada di apartemen memerhatikan Ben dengan pandangan seolah mereka kedatangan makhluk luar angkasa. Heran, kenapa lelaki itu ada di sini. Tetapi Ben tidak memedulikannya sama sekali. Jangankan bilang permisi pada tuan rumah, dia masuk tanpa melirik sedikit pun. Hanya sempat bersibobrok dengan Olin barang sedetik. Seakan sejarah kekacauan di antara mereka tidak pernah terjadi. Sedangkan Cantika, sudah cemas setengah mati. Takut Ben yang yang sedang kumat sumbu pendeknya mencak-mencak di apartemen Miko, membuat keributan. “Cuma ini bawaan kamu?” Diangkatnya satu tas travel yang dijinjingnya. “Jangan sampai ada yang ketinggalan.” “E-eh, iya.” Cantika mengekori Ben ke pintu. Membasahi bibir, merasa tidak punya pilihan. Di sisi lain ia merasa tak enak pada Olin dan Miko karena mendadak pergi dari sana. Cantika lalu beralih pada teman-temannya. “Nanti gue chat ya.” “Tempatnya kecil, cuma satu kamar. Bed juga cuma satu. Mana bisa tiga orang tinggal di sana?”
Cantika punya dunia baru. Ben adalah dunianya. Dia menjalani-hari-hari menyenangkan dengan lelaki itu. Fakta bahwa ia sudah dipertemukan dengan Ben sejak kecil membuatnya seperti di kelilingi cahaya kerlap-kerlip berkilau. Meski masalah datang silih berganti, timbul keyakinan kalau Ben adalah— Tidak. Terlalu cepat jika dia menyebut Ben adalah takdirnya. Jalannya masih sangat panjang. Tapi belakangan Cantika jadi berharap, lelaki itulah ujung jalannya. Jatuh cinta pertama dan akhir bahagianya. Rasa sukanya pada Ben semakin besar, apalagi setelah pria itu tetap menerimanya meski tahu tragedi ayahnya. Konyol memang, Cantika yang biasa tak acuh tiba-tiba menjelma jadi wanita pemimpi melankolis. Mengharapkan kisah romantis indah seperti di buku-buku dongeng yang mungkin pernah mengisi rak di perpustakaannya dulu. Tapi jika setiap hari Ben selalu bersikap manis padanya, posesif dan cemburu padanya, boleh ‘kan dia berharap kalau laki-laki itu juga menyukainya sama besar? Ben: Babe Ben:
“Dari kapan dia di sana?” Olin gelagapan mendengar pertanyaan itu. “A-apa?” “Om gue ada di tempat lo ‘kan?” tanya Cantika datar, tidak menoleh pada Olin sama sekali. “ Gue nggak sengaja lihat mobilnya di parkiran. Makanya gue nyelonong masuk.” Mata Olin yang sedang mengemudi saat itu langsung berkaca-kaca. Dia mengusapnya dengan sebelah tangan. “Thanks. Gue nggak tau gimana jadinya kalo nggak ada lo.” Ya. Olin berkata jujur. Baru kali ini ia merasa takut bersama seorang lelaki. Baru kali ini dia benci disentuh seperti itu. Biasanya Olin tak ambil pusing jika uang berbicara. Terlepas dari itu, dia benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Dia ingin berubah. “Dia ngapain lo?” Suara Cantika melunak saat menyadari Olin yang biasanya tampak kuat dan selalu bisa mengatasi banyak hal, kini kelihatan rapuh dan mudah pecah. Olin menggeleng dengan mata tergenangnya. “Lo keburu datang.” “Sorry.” “Kenapa—” “Gue minta maaf mewakili keluarga gue.” “Nggak. Nggak sepatutnya lo yang minta maaf.”
“Pak, ada telepon dari Asiafood.” “Asiafood? Siapa?” Kening Dany berkerut heran ketika menyalakan pengeras suara telepon kantornya. Seingat Dany, ia tidak punya janji dengan orang-orang Asiafood. Belum terkoneksi juga dengan perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun itu. Perusahaan besar sekelas Asiafood juga tak mungkin meminta bekerjasama dengannya. Mereka punya beberapa segmentasi, jelas mengolah produk sendiri. Anak perusahaannya saja sudah tersebar di mana-mana, bahkan hingga beberapa negara di luar negeri. Dipikir secara logika, kecil kemungkinan bagi perusahannya yang baru berdiri kurang dari sepuluh tahun memberikan manfaat berarti untuk mereka. Sepasang alis Dany semakin terangkat tinggi. Menebak-nebak apa yang dibutuhkan mereka darinya. Namun tanpa pikir panjang, ia langsung berkata, “Sambungkan ke saya.” “Selamat siang, apa benar saya bicara dengan Dany Wijayadi Owner dari PT. Anugrah Jaya Natura?” “Benar, saya sendiri. Ada keperluan apa, ya?” “Saya Harun, asisten Pa
Dari perjalanan hingga tiba di restoran, Cantika terus membuka ponselnya, bertukar pesan dengan Ben. Jika tidak ada acara temu keluarga, seharusnya hari ini dia bisa pergi kencan dengan Ben. Padahal, Ben sudah menawarinya beberapa hari lalu untuk pergi ke tempat yang diinginkan Cantika. Apa daya, lagi-lagi dia terjebak dalam acara keluarga. “Eh, sorry.” Cantika mendongak saat hampir menabrak seseorang. “Hai.” “Miko?” Lelaki itu terkekeh melihat tampang kaget Cantika. “Kita ketemu lagi.” “Kamu baru datang? Sama siapa, Mik?” Dilihatnya tidak ada seorang pun di samping Miko. “Sendiri?” “Nggak juga, sama keluarga.” Wajah Cantika langsung berbinar mendengarnya. “Wah, sama dong kalau gitu!” Tapi kemudian mengerucutkan bibir. “Tapi aku malas banget, rasanya pengin pulang. Padahal hari ini Ben ngajakin aku jalan-jalan, dan aku malah terperangkap di sini. Rasanya masih canggung dan nggak nyaman.” “Kamu pasti kesulitan.” Miko menyunggingkan senyum tipis. Senyum itu tampak lembut, tetapi
Ben: Kamu balik ke sini? Ben: Belum selesai acaranya? Cantika melirik notifikasi dua pesan masuk yang belum dibukanya itu ratusan kali sejak keluar dari restoran. Dia dalam posisi terdesak saat ini. Tidak bisa melakukan apa-apa dan tak bisa ke mana-mana. Otaknya tidak dalam kondisi bisa berpikir jernih. “Bukannya itu tawaran yang bagus?” Tante Santy memulai tanpa tedeng aling. “Gimana menurut Ci Rita?” Tante Fira mungkin bertanya, tapi nada dan ekspresinya tak menunjukkan demikian. Cantika tidak berkutik. Dia seperti sandera. Sandera yang digunakan untuk mendapatkan tebusan saat para tantenya memerangkap dan mengelilinginya setibanya mereka di rumah om Dany. Cantika tahu, omnya mungkin yang paling mengharapkan kerja sama ini karena bagaimanapun, Asiafood akan menanamkan modal ke perusahaannya, serta merangkul perusahaan kecil itu dalam naungannya. Namun, yang tampak lebih berambisi adalah para tantenya. Bukan tanpa alasan Dany mengajak kakak-kakak perempuannya. Dia tak perlu ten
“Oh, astaga! Aku masih nggak biasa denger suara berisik alarm kamu,” keluh Ben memeluk Cantika sembari menggapai-gapai ponsel wanita itu. Cantika terkekeh, balas memeluk Ben setelah menghentikan alarm di ponselnya. “Setengah jam lagi aku harus pulang.” “Yah, padahal masih mau kelon-kelonan. Apa nggak bisa kamu nginap di sini lagi?” “Mana boleh begitu, yang ada aku betulan diusir nanti.” Setelah acara pertemuan keluarganya dan keluarga Miko, Cantika tidak lagi menginap di rumah Ben. Ia merasa berat, merasa seperti berkhianat. Terus memikirkan bagaimana cara untuk memberi tahu Ben tanpa membuat lelaki itu marah. Cantika tidak ingin dua orang yang dianggapnya penting saling membenci. Cukup dengan urusan menginap di rumah Miko, dia tidak ingin membuat Ben kembali marah dan salah paham. Pelukan Ben semakin erat seolah tak rela membiarkannya pergi. “Ya nggak pa-pa. Kalau kamu diusir ada aku yang siap nampung kamu.” “Memang kamu siap nampung aku selamanya?” gurau Cantika. “Kalau terpak