“Pak, ada telepon dari Asiafood.” “Asiafood? Siapa?” Kening Dany berkerut heran ketika menyalakan pengeras suara telepon kantornya. Seingat Dany, ia tidak punya janji dengan orang-orang Asiafood. Belum terkoneksi juga dengan perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun itu. Perusahaan besar sekelas Asiafood juga tak mungkin meminta bekerjasama dengannya. Mereka punya beberapa segmentasi, jelas mengolah produk sendiri. Anak perusahaannya saja sudah tersebar di mana-mana, bahkan hingga beberapa negara di luar negeri. Dipikir secara logika, kecil kemungkinan bagi perusahannya yang baru berdiri kurang dari sepuluh tahun memberikan manfaat berarti untuk mereka. Sepasang alis Dany semakin terangkat tinggi. Menebak-nebak apa yang dibutuhkan mereka darinya. Namun tanpa pikir panjang, ia langsung berkata, “Sambungkan ke saya.” “Selamat siang, apa benar saya bicara dengan Dany Wijayadi Owner dari PT. Anugrah Jaya Natura?” “Benar, saya sendiri. Ada keperluan apa, ya?” “Saya Harun, asisten Pa
Dari perjalanan hingga tiba di restoran, Cantika terus membuka ponselnya, bertukar pesan dengan Ben. Jika tidak ada acara temu keluarga, seharusnya hari ini dia bisa pergi kencan dengan Ben. Padahal, Ben sudah menawarinya beberapa hari lalu untuk pergi ke tempat yang diinginkan Cantika. Apa daya, lagi-lagi dia terjebak dalam acara keluarga. “Eh, sorry.” Cantika mendongak saat hampir menabrak seseorang. “Hai.” “Miko?” Lelaki itu terkekeh melihat tampang kaget Cantika. “Kita ketemu lagi.” “Kamu baru datang? Sama siapa, Mik?” Dilihatnya tidak ada seorang pun di samping Miko. “Sendiri?” “Nggak juga, sama keluarga.” Wajah Cantika langsung berbinar mendengarnya. “Wah, sama dong kalau gitu!” Tapi kemudian mengerucutkan bibir. “Tapi aku malas banget, rasanya pengin pulang. Padahal hari ini Ben ngajakin aku jalan-jalan, dan aku malah terperangkap di sini. Rasanya masih canggung dan nggak nyaman.” “Kamu pasti kesulitan.” Miko menyunggingkan senyum tipis. Senyum itu tampak lembut, tetapi
Ben: Kamu balik ke sini? Ben: Belum selesai acaranya? Cantika melirik notifikasi dua pesan masuk yang belum dibukanya itu ratusan kali sejak keluar dari restoran. Dia dalam posisi terdesak saat ini. Tidak bisa melakukan apa-apa dan tak bisa ke mana-mana. Otaknya tidak dalam kondisi bisa berpikir jernih. “Bukannya itu tawaran yang bagus?” Tante Santy memulai tanpa tedeng aling. “Gimana menurut Ci Rita?” Tante Fira mungkin bertanya, tapi nada dan ekspresinya tak menunjukkan demikian. Cantika tidak berkutik. Dia seperti sandera. Sandera yang digunakan untuk mendapatkan tebusan saat para tantenya memerangkap dan mengelilinginya setibanya mereka di rumah om Dany. Cantika tahu, omnya mungkin yang paling mengharapkan kerja sama ini karena bagaimanapun, Asiafood akan menanamkan modal ke perusahaannya, serta merangkul perusahaan kecil itu dalam naungannya. Namun, yang tampak lebih berambisi adalah para tantenya. Bukan tanpa alasan Dany mengajak kakak-kakak perempuannya. Dia tak perlu ten
“Oh, astaga! Aku masih nggak biasa denger suara berisik alarm kamu,” keluh Ben memeluk Cantika sembari menggapai-gapai ponsel wanita itu. Cantika terkekeh, balas memeluk Ben setelah menghentikan alarm di ponselnya. “Setengah jam lagi aku harus pulang.” “Yah, padahal masih mau kelon-kelonan. Apa nggak bisa kamu nginap di sini lagi?” “Mana boleh begitu, yang ada aku betulan diusir nanti.” Setelah acara pertemuan keluarganya dan keluarga Miko, Cantika tidak lagi menginap di rumah Ben. Ia merasa berat, merasa seperti berkhianat. Terus memikirkan bagaimana cara untuk memberi tahu Ben tanpa membuat lelaki itu marah. Cantika tidak ingin dua orang yang dianggapnya penting saling membenci. Cukup dengan urusan menginap di rumah Miko, dia tidak ingin membuat Ben kembali marah dan salah paham. Pelukan Ben semakin erat seolah tak rela membiarkannya pergi. “Ya nggak pa-pa. Kalau kamu diusir ada aku yang siap nampung kamu.” “Memang kamu siap nampung aku selamanya?” gurau Cantika. “Kalau terpak
Sejak kembali bersama setelah insiden dengan Viona, mereka jadi lebih sering melakukannya. Ben tidak menyia-nyiakan pertemuan mereka yang terbatas. Percintaan yang membara seakan tak pernah absen dalam agenda. Ben selalu punya caranya sendiri dalam bermesraan. Spontanitasnya yang tergolong gila serta gagasan liarnya. Cantika tidak membencinya. Sebaliknya, sisi kreatif lelaki itu membuat aktivitas bercinta mereka tak pernah membosankan. Setiap sudut rumah Ben menjadi saksi betapa bergairahnya mereka. “Ben,” Cantika menahan lengan kekar yang melingkari perutnya, yang mulai merambat nakal, naik menyusup ke balik kausnya dan mengusap pelan permukaan kulit di punggungnya. “Jangan.” Apakah larangan Cantika mampu menghentikan Ben? Tentu saja tidak. Laki-laki itu tetap menjalankan misinya. “Jangan hari ini,” pinta Cantika lagi. Sepasang mata biru milik Ben melihat sarat memohon dari Cantika. Laki-laki itu mengisyaratkan tanya dalam tatapannya yang terarah lurus ke manik hershey di depanny
Cantika menyeka pipi basahnya dan menoleh ketika mendengar suara klakson pelan di sebelahnya. Mobil yang dia kenal itu menurunkan kaca jendela. Tampak wajah laki-laki yang membuat perasaannya semakin berkecamuk. “Kamu kenapa jalan di sini sendiri? Masuk, Can. Bahaya udah malam,” bujuk pria itu. Dari belakangnya, beberapa kendaraan mulai heboh menembakkan lampu dan membuyikan klakson berkali-kali karena dia menghalangi jalan raya yang sempit. “Can, buruan.” Miko membesarkan suaranya agar terdengar. “Sebelum mobil aku ditabrak masal.” Akhirnya Cantika menuruti sahabatnya, membuka pintu dan duduk di samping Miko. Lagi-lagi, Miko mendapati wanita itu menangis. Bukan sekali dua kali, Cantika yang sebelumnya selalu ceria kini jadi pemurung. Auranya berubah kelabu, tidak lagi berwarna seperti sebelumnya. “Kamu kok jalan sendirian, sih? Bukannya pesan taksi atau ojol. Bahaya, tau.” “Dari mana, Mik? Kok lewat sini?” “Tempat gym.” “Kamu rajin olah raga, ya?” “Enggak usah ngalihin. Kenap
“Ben ...,” desah Cantika pelan saat menerima kecupan bertubi-tubi di sepanjang tengkuk dan bahunya. Belum hilang tanda yang dibuat lelaki itu, muncul lagi tanda baru di beberapa bagian tubuhnya. Percakapan tiga hari lalu seolah dianggap tak pernah ada. Seperti yang sudah-sudah, pertemuan mereka selalu diwarnai keintiman yang bergelora. Namun kali ini, ada yang salah. Ada yang terasa salah bagi Cantika sehingga ia terlalu terburu-buru. “Jangan berenti,” tahan Cantika saat Ben hendak meraih plastik berbentuk persegi yang pipih di sebelah mereka. “Tapi aku belum—” “Enggak us ... sah.” Seraya merasakan sentuhan tangan Ben yang sibuk bergerilya di dadanya, Cantika menyela. “Nggak usah ... pakai itu.” Seketika Ben berhenti. Menatap Cantika dengan satu alis terangkat. Sorotnya tajam dan tak menyenangkan. “Kamu ini kenapa, sih? Kemarin kamu bilang takut hamil, sekarang kamu malah kayak gini.” Tangan Cantika bergetar menahan rasa takut. Dia sudah bertekad hari ini harus maju. Dia harus m
“Bennedict! My son!” Ben berjalan mendekati pria paruh baya yang merentangkan kedua tangannya. Jeffrey Soren, sang ayah, memeluknya sekilas sebelum menepuk-nepuk bahu Ben, tersenyum lebar padanya. “You aren’t with Barry?” “Nggak. Barry nggak ikut.” “Ya ampun, dia masih sinis seperti biasa. Padahal Papa udah lama nggak ketemu dia.” Ben tersenyum tipis menanggapi sang ayah sambil mengikuti langkah pria itu. Jeffrey membawanya melintasi ruang keluarga. Tampak seorang wanita—yang usianya hanya selisih beberapa tahun dari Bary—sedang duduk santai menonton televisi bersama seorang anak laki-laki. Sebagai bentuk sopan santunnya, Ben mengangguk saat wanita itu menoleh. Dibalas senyum hangat oleh wanita yang berstatus ibu tirinya. “I am glad you’re here. Kamu satu-satunya yang masih mau datang menemui Papa di rumah.” Pria itu masih tampak gagah pada usia pertengahan enam puluh. Hanya warna mata dan rambut yang diwariskannya pada Ben. Selebihnya, Ben mewarisi wajah ibunya. “Mungkin anak-a