Ben: Kamu balik ke sini? Ben: Belum selesai acaranya? Cantika melirik notifikasi dua pesan masuk yang belum dibukanya itu ratusan kali sejak keluar dari restoran. Dia dalam posisi terdesak saat ini. Tidak bisa melakukan apa-apa dan tak bisa ke mana-mana. Otaknya tidak dalam kondisi bisa berpikir jernih. “Bukannya itu tawaran yang bagus?” Tante Santy memulai tanpa tedeng aling. “Gimana menurut Ci Rita?” Tante Fira mungkin bertanya, tapi nada dan ekspresinya tak menunjukkan demikian. Cantika tidak berkutik. Dia seperti sandera. Sandera yang digunakan untuk mendapatkan tebusan saat para tantenya memerangkap dan mengelilinginya setibanya mereka di rumah om Dany. Cantika tahu, omnya mungkin yang paling mengharapkan kerja sama ini karena bagaimanapun, Asiafood akan menanamkan modal ke perusahaannya, serta merangkul perusahaan kecil itu dalam naungannya. Namun, yang tampak lebih berambisi adalah para tantenya. Bukan tanpa alasan Dany mengajak kakak-kakak perempuannya. Dia tak perlu ten
“Oh, astaga! Aku masih nggak biasa denger suara berisik alarm kamu,” keluh Ben memeluk Cantika sembari menggapai-gapai ponsel wanita itu. Cantika terkekeh, balas memeluk Ben setelah menghentikan alarm di ponselnya. “Setengah jam lagi aku harus pulang.” “Yah, padahal masih mau kelon-kelonan. Apa nggak bisa kamu nginap di sini lagi?” “Mana boleh begitu, yang ada aku betulan diusir nanti.” Setelah acara pertemuan keluarganya dan keluarga Miko, Cantika tidak lagi menginap di rumah Ben. Ia merasa berat, merasa seperti berkhianat. Terus memikirkan bagaimana cara untuk memberi tahu Ben tanpa membuat lelaki itu marah. Cantika tidak ingin dua orang yang dianggapnya penting saling membenci. Cukup dengan urusan menginap di rumah Miko, dia tidak ingin membuat Ben kembali marah dan salah paham. Pelukan Ben semakin erat seolah tak rela membiarkannya pergi. “Ya nggak pa-pa. Kalau kamu diusir ada aku yang siap nampung kamu.” “Memang kamu siap nampung aku selamanya?” gurau Cantika. “Kalau terpak
Sejak kembali bersama setelah insiden dengan Viona, mereka jadi lebih sering melakukannya. Ben tidak menyia-nyiakan pertemuan mereka yang terbatas. Percintaan yang membara seakan tak pernah absen dalam agenda. Ben selalu punya caranya sendiri dalam bermesraan. Spontanitasnya yang tergolong gila serta gagasan liarnya. Cantika tidak membencinya. Sebaliknya, sisi kreatif lelaki itu membuat aktivitas bercinta mereka tak pernah membosankan. Setiap sudut rumah Ben menjadi saksi betapa bergairahnya mereka. “Ben,” Cantika menahan lengan kekar yang melingkari perutnya, yang mulai merambat nakal, naik menyusup ke balik kausnya dan mengusap pelan permukaan kulit di punggungnya. “Jangan.” Apakah larangan Cantika mampu menghentikan Ben? Tentu saja tidak. Laki-laki itu tetap menjalankan misinya. “Jangan hari ini,” pinta Cantika lagi. Sepasang mata biru milik Ben melihat sarat memohon dari Cantika. Laki-laki itu mengisyaratkan tanya dalam tatapannya yang terarah lurus ke manik hershey di depanny
Cantika menyeka pipi basahnya dan menoleh ketika mendengar suara klakson pelan di sebelahnya. Mobil yang dia kenal itu menurunkan kaca jendela. Tampak wajah laki-laki yang membuat perasaannya semakin berkecamuk. “Kamu kenapa jalan di sini sendiri? Masuk, Can. Bahaya udah malam,” bujuk pria itu. Dari belakangnya, beberapa kendaraan mulai heboh menembakkan lampu dan membuyikan klakson berkali-kali karena dia menghalangi jalan raya yang sempit. “Can, buruan.” Miko membesarkan suaranya agar terdengar. “Sebelum mobil aku ditabrak masal.” Akhirnya Cantika menuruti sahabatnya, membuka pintu dan duduk di samping Miko. Lagi-lagi, Miko mendapati wanita itu menangis. Bukan sekali dua kali, Cantika yang sebelumnya selalu ceria kini jadi pemurung. Auranya berubah kelabu, tidak lagi berwarna seperti sebelumnya. “Kamu kok jalan sendirian, sih? Bukannya pesan taksi atau ojol. Bahaya, tau.” “Dari mana, Mik? Kok lewat sini?” “Tempat gym.” “Kamu rajin olah raga, ya?” “Enggak usah ngalihin. Kenap
“Ben ...,” desah Cantika pelan saat menerima kecupan bertubi-tubi di sepanjang tengkuk dan bahunya. Belum hilang tanda yang dibuat lelaki itu, muncul lagi tanda baru di beberapa bagian tubuhnya. Percakapan tiga hari lalu seolah dianggap tak pernah ada. Seperti yang sudah-sudah, pertemuan mereka selalu diwarnai keintiman yang bergelora. Namun kali ini, ada yang salah. Ada yang terasa salah bagi Cantika sehingga ia terlalu terburu-buru. “Jangan berenti,” tahan Cantika saat Ben hendak meraih plastik berbentuk persegi yang pipih di sebelah mereka. “Tapi aku belum—” “Enggak us ... sah.” Seraya merasakan sentuhan tangan Ben yang sibuk bergerilya di dadanya, Cantika menyela. “Nggak usah ... pakai itu.” Seketika Ben berhenti. Menatap Cantika dengan satu alis terangkat. Sorotnya tajam dan tak menyenangkan. “Kamu ini kenapa, sih? Kemarin kamu bilang takut hamil, sekarang kamu malah kayak gini.” Tangan Cantika bergetar menahan rasa takut. Dia sudah bertekad hari ini harus maju. Dia harus m
“Bennedict! My son!” Ben berjalan mendekati pria paruh baya yang merentangkan kedua tangannya. Jeffrey Soren, sang ayah, memeluknya sekilas sebelum menepuk-nepuk bahu Ben, tersenyum lebar padanya. “You aren’t with Barry?” “Nggak. Barry nggak ikut.” “Ya ampun, dia masih sinis seperti biasa. Padahal Papa udah lama nggak ketemu dia.” Ben tersenyum tipis menanggapi sang ayah sambil mengikuti langkah pria itu. Jeffrey membawanya melintasi ruang keluarga. Tampak seorang wanita—yang usianya hanya selisih beberapa tahun dari Bary—sedang duduk santai menonton televisi bersama seorang anak laki-laki. Sebagai bentuk sopan santunnya, Ben mengangguk saat wanita itu menoleh. Dibalas senyum hangat oleh wanita yang berstatus ibu tirinya. “I am glad you’re here. Kamu satu-satunya yang masih mau datang menemui Papa di rumah.” Pria itu masih tampak gagah pada usia pertengahan enam puluh. Hanya warna mata dan rambut yang diwariskannya pada Ben. Selebihnya, Ben mewarisi wajah ibunya. “Mungkin anak-a
Ben berhasil menghubungi Cantika dan meminta wanita itu datang ke rumahnya. Setelah sekian lama tidak merasakan ketegangan dan debar jantung akibat gugup, Ben merasa seperti terjun bebas dari ketinggian beribu-ribu kaki saat menunggu Cantika. Dia yakin, Cantika datang bukan karena sudah memaafkannya. Tapi wanita itu tipe yang tidak bisa mengabaikan seseorang. Atau ... itu hanya berlaku untuk dirinya? Entahlah. Yang pasti saat ini, Ben hanya ingin cepat bertemu dengan Cantika dan menceritakan masalah yang ada dalam dirinya. Jika orang itu Cantika, dia mungkin bisa memahami. Ben sedang menuruni anak tangga, hendak menunggu Cantika di ruang tamu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Saking gugupnya, Ben merasa jantungnya seperti akan meledak. Di mempercepat langkah, bergegas menuju pintu dan membukanya. Tetapi bukan Cantika yang berdiri di sana. Sialan. Gara-gara sedang menunggu Cantika, Ben jadi terlalu bersemangat untuk segera membuka pintu tanpa melihat siapa yang datang. Harusny
Ben: I am sorry, Can. Ben: Aku tau kemarin aku keterlaluan Ben: Sorry udah bentak kamu Ben: Mungkin alasanku gak bisa diterima Ben: But, I want tell you something. Ben: Please... besok kita ketemu ya, sayang? Kiara C: Aku kerjain tugas UAS dulu Kiara C: Baru ke rmh kamu Mungkin karena pengaruh tamu bulanannya, Cantika mudah terbawa emosi kemarin. Dia sadar jadi lebih sensitif karena masalah-masalah yang belakangan ini menerjangnya terasa tak masuk akal. Tetapi jangan harap ia maklum begitu saja mengenai obat kontrasepsi. Cantika masih merasa kesal sampai sekarang. Kalau Ben tidak mengiriminya pesan berkali-kali meminta maaf, dia pasti akan memblokir lagi nomor lelaki itu. Semoga saja apa yang dikatakan Ben nanti bukan sesuatu yang akan membuatnya tambah jengkel. Awas saja kalau Ben membuat alasan tak masuk akal, ia akan menginjak kaki lelaki itu, atau mencakar wajah tampannya. Cantika merapikan alat tulis dan memeriksa jam di ponsel. Ternyata dia selesai lebih cepat dari perk