Daniel hampir membanting ponsel karena sedari pagi dihiraukan oleh Vena. Iya, terlihat jelas di layar ponsel itu ada deretan panggilan tak terjawab, bahkan ditolak, dan terakhir nomornya sudah diblokir. "Kurang ajar, Vena sombong sekarang. Dulu diusir saja pakai acara drama, sekarang sok nggak mau bicara sama aku?" Dia menggerutu. Sejak pagi pula, dia mendekam di dalam ruang kerja. Setengah mengurus pekerjaan, setengahnya lagi memikirkan Vena. Pintu ruangan tersebut diketuk, lalu dibuka— terlihat Bianka di ambang pintu. Wajahnya muram ketika mengomel, "Mas, sampai kapan mau berada di ruangan? Ini sudah malam, loh. Ayo keluar dulu, kita makan malam berdua. Mama lagi keluar, aku nggak mau makan sendirian." "Aku nggak lapar, kamu makan saja sendiri. Aku masih sibuk mengurus pekerjaan.“ "Jangan bohong kamu, aku tahu kamu sibuk menghubungi mantan istri kamu itu 'kan?" "Nggak." Bianka makin kesal. Dia maju ke dalam ruangan itu, mendekati meja. ”Kamu sadar nggak, sih? Kamu sekarang
Ven memanfaatkan kondisi kamar hotel yang dilengkapi dapur. Jadi, dia memasak nasi goreng untuk makan malam. Dia menyajikan dua piring nasi goreng di meja dekat ranjang, lengkap dengan dua gelas air dingin. Mario tampak duduk di pinggiran ranjang, fokus melihat pertandingan bola di televisi. Dia lantas menoleh begitu mencium aroma enak. Senyum tersungging di bibirnya. "Kamu beneran masak nasi goreng, Sayang? Padahal kita bisa pakai layanan kamar," katanya. "Kan aku bilang mumpung ada dapur, ada bahan makanan juga di kulkas. Mending aku masak buat kamu. Aku sebenarnya pengen banget terus masak buat kamu, tapi di rumah ada koki, belum lagi kalau ketahuan Tante Ruth, nanti aku dimaki-maki lagi karena seperti pembantu." "Maaf, ya ..." Mario tergelak. "Mau bagaimana lagi, di keluargaku dari dulu, anak perempuan atau menantu wanita nggak boleh sibuk di dapur." "Nggak apa." "Maaf juga karena kita malah di hotel bukan di Villa, aku takut dikeroyok wartawan lagi." "Mau di hotel atau di
Daniel tidak bisa diam saja setelah diabaikan terus menerus oleh Vena. Dia sampai kurang tidur karena kepikiran. Bahkan, dia baru ingat kalau sudah ditinggal sendirian di rumah.Iya, ibunya sibuk dengan urusan keluarga, istrinya pun meminta ijin pulang ke rumah. Setelah mengurus dokumen perusahaannya, dia mengundang beberapa wartawan untuk ke rumah. Dia memberi kesempatan wawancara tentang pertengkaran di Hotel Winata saat itu.Apapun yang dia katakan, langsung dimunculkan di portal-portal berita online. Pengakuan Daniel malah memperburuk suasana karena dia juga mengungkit rumah tangganya saat masih bersama Vena. Dia menyalahkan wanita itu atas kematian anak mereka, lalu meninggalkannya demi pria lain alias Mario.Gossip itu menyebar bak daun diterpa angin di media sosial. Iya, sampai-sampai Tante Ruth membaca salah satu portal berita tersebut.Dia kaget dengan judul berita 'ISTRI BARU OWNER JARINGAN HOTEL WINATA MENELANTARKAN ANAK'Terdapat foto jepretan Vena dan Mario saat peresmia
"Kamu lagi!" Suara Mario terdengar marah saat menanggapi seseorang yang bicara di balik sambungan telepon. Dia berkata keras lagi, "kenapa kamu bisa telpon saya pakai nomor asisten saya, hah?" Vena memperhatikan ekspresi wajah Mario dengan seksama. Dia sudah bisa menebak kemungkinan siapa yang menelpon. Tetapi, bagaimana bisa? Di balik sambungan telepon itu suara pria sedang berbicara, "... akhirnya diangkat juga. Maaf saya harus menganggu waktu bulan madu kamu." Suara Daniel seperti lagu kematian di telinga Mario. Suami Vena ini begitu resah. "Mau apa?" "Saya sebenarnya nggak sudi juga nelpon kamu. Tapi, mau bagaimana lagi, telepon saya nggak diangkat sama Vena. Saya ada perlu sama dia." "Jangan macam-macam kamu. Mau apalagi kamu sama istri saya?" "Mengenai uang Tiga Milyar yang kamu kasih ke saya, itu kebanyakan— jadi saya berencana untuk mengajak mantan istri saya mengadakan doa bersama untuk anak kami yang sudah meninggal dunia." Mendengar itu, amarah Mario perlahan naik
Vena dan suaminya terpaksa pulang ke kota kembali. Semua itu karena harus mendatangi panti asuhan yang dimaksud oleh Daniel di hari Rabu.Sialnya, Mario harus bertemu tim pengacara dahulu, dan sekarang sudah hampir jam sembilan, tapi belum pulang juga.Vena agak resah menunggu di teras rumah. Dia bisa saja berangkat dengan taksi atau meminta salah satu satpam jadi sopir, tapi mana mungkin pergi tanpa suaminya?"Mana sih kamu, Mas ... udah jam sembilan, loh. Takutnya telat dan malah jadi masalah nanti di panti asuhan," katanya sembari melihat jam di ponsel. Dia menunggu balasan pesan dari Mario, tapi tak ada pemberitahuan apapun.Di saat bertepatan, masuklah sebuah mobil ke dalam sini. Itu kendaraan yang asing. Dia heran— kalau dibiarkan masuk oleh satpam, artinya pasti dikenal.Seseorang keluar dari dalam mobil tersebut. Tanpa diduga, itu adalah wanita asing yang dulu pernah memanggil nama suaminya saat di Bali. Iya, itu adalah Sarah.Wanita itu berpenampilan bak seorang model, tubuh
Begitu sampai di tempat tujuan, mobil yang ditumpangi Vena dikerumuni oleh wartawan.Vena keluar mobil dengan waspada. Dia tidak pernah menghadapi semua ini sebelumnya. Iya, dia hanyalah ibu rumah tangga, tapi sekarang mendadak sudah seperti artis.Tetapi, dia sadar harus terbiasa. Bagaimana pun, sang suami adalah salah satu orang terkaya di negara ini. Pria itu pasti dapat perhatian hebat jika terlibat masalah di tempat umum.Beberapa wartawan mengambil foto Vena, lalu salah satu di antaranya bertanya, "Ibu Vena, Ibu Vena, kenapa bisa terlambat menghadiri acara doa untuk mendiang anak Ibu dan Pak Daniel Adinata?""Terlambat?" ulang Vena bingung. Dia mulai tidak nyaman dikelilingi wartawan sampai tak bisa bergerak. "Maksudnya apa ini? Saya tepat waktu, kok.""Acaranya jam delapan tadi, Bu, sekarang sudah selesai, Pak Daniel Adinata sudah pergi."Vena kaget. Belum sempat dia menjawab apa-apa, para wartawan malah melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang menyudutkan. Dia pun masuk ke
Vena menaiki taksi untuk sampai di taman yang diminta. Dia duduk di kursi yang kelilingi oleh pepohonan cemara. Beberapa orang tampak jalan kaki atau jogging di area ini.Angin siang hari mengembus ke wajahnya. Suasana seperti ini mengingatkan akan masa lalu. Iya, di saat dia masih berpacaran dengan Daniel.Dahulu, dia sangat membanggakan pria itu. Nyatanya, semua sikap baik itu hanya kepalsuan. Semua sudah dia lihat ketika beberapa bulan silam, saat dia diusir dari rumah, di depan wanita selingkuhan.Harga diri Vena terasa hancur jika teringat hal tersebut. Dia masih tidak percaya, setelah enam bulan, dia harus bertemu dengan orang-orang yang membuat mentalnya jatuh.Tetapi, hidup harus terus berjalan, tidak boleh terus menerus melihat ke belakang. Dia sadar bukan lagi Vena yang dahulu. Jodohnya bersama Daniel sudah berakhir. Kini, dia adalah Vena yang baru, Vena yang sudah punya hidup baru, yang sudah menjadi istri pria lain.Memikirkan Mario membuat hatinya tentram. Tanpa sadar, b
Mario tidak menemukan siapapun saat sampai di panti asuhan. Dia mendapatkan informasi kalau acaranya justru selesai jam sepuluh pagi.Sekarang, dia bersandar di samping mobilnya dengan kondisi resah. Dia berulang kali menelpon sang bibi, ingin menanyakan tentang Sarah, tapi tidak diangkat."Mana Tante ini ..." Mario berusaha untuk tenang, tapi tidak bisa juga. "Masih di sekolah?"Nomor sang istri juga tak bisa dihubungi. Ini sangat aneh, kenapa mendadak semua orang menghilang?"Kamu juga Vena ... ke mana kamu? Kenapa nomor kamu nggak bisa dihubungi, Sayang?" Pria itu gelisah melihat layar ponselnya yang terus dalam kondisi memanggil Vena. Namun, sebanyak apapun dia melakukannya, selalu berakhir dengan pesan suara yang menjawab kalau nomor tidak dalam jangkauan. Entah karena tidak ada sinyal atau memang mati."Nggak mungkin dia mematikan HP, terus kenapa ..." gumamnya.Dia beralih menelpon nomor yang beberapa hari silam meneror sang istri alias Daniel. Tetapi, nomor pria itu juga di l