Share

Bab 12

Paula berbalik, lalu berucap dengan ekspresi dingin, "Kalian nggak perlu ikut campur urusanku dengan Aurel."

"Aku ibumu, kamu seharusnya menurutiku!" bentak Yuni langsung.

Paula merasa pusing menghadapi wanita ini. Dia sampai tidak tahu harus mengatakan apa sehingga hanya berujar, "Kita bicarakan lagi setelah hasil tes DNA keluar. Kuharap kita nggak bertemu untuk beberapa hari ini."

....

Setelah memesan kamar hotel untuk Yuni dan Kamil, uang Paula pun berkurang lagi. Dia menghela napas dan bertekad untuk segera mencari pekerjaan. Jika tidak, dia bisa mati kelaparan.

Sebenarnya, Paula mendapatkan beberapa tawaran pekerjaan sebelumnya. Namun, tekanan dari Keluarga Ignasius dan Keluarga Antoro membuat mereka mengurungkan niat. Perusahaan kecil tidak berani menyinggung kedua keluarga itu, sedangkan perusahaan besar tidak mempekerjakan lulusan baru yang tidak berpengalaman.

Sampai sekarang, Paula masih belum tahu apakah dirinya akan menerima tawaran dari Darwin atau tidak. Dia juga tidak tahu berapa banyak uang yang harus dihabiskannya lagi kalau Yuni dan Kamil benar-benar orang tuanya. Dia tidak ingin merepotkan siapa pun sehingga tidak memberi tahu Rhea tentang masalah ini.

Setelah mempertimbangkannya, Paula merasa prioritas utamanya untuk sekarang adalah makan dan tempat tinggal. Berhubung pendapatan kurir makanan cukup baik, dia memutuskan untuk membeli motor listrik dengan sisa uangnya.

Pesanan pertama yang didapatkannya adalah mengantar belasan kotak nasi ke gedung kantor pusat kota. Paula mengangkatnya dengan susah payah sambil memasuki lift. Lift pun berhenti di lantai 15. Meskipun hanya sesaat, tangannya sudah merah, jadi dia menggunakan tangan yang satu lagi untuk mengangkat.

Begitu keluar dari lift, Paula langsung bertemu Darwin. Dia buru-buru menunduk karena merasa penampilannya sangat berantakan dan tidak ingin Darwin melihatnya seperti ini.

Namun, Darwin sudah memperhatikannya sejak tadi. Dia langsung memahami apa yang terjadi saat melihat Paula mengenakan jaket kurir dan mengangkat begitu banyak kotak nasi.

Darwin segera menghampiri untuk mengambil bawaan Paula. "Kenapa meninggalkan rumah sakit? Kamu juga nggak menjawab panggilanku."

Paula menunduk sambil mengelus tangannya, seperti anak kecil yang membuat kesalahan. Sesudah itu, dia menjelaskan dengan lirih, "Maaf, Pak. Aku mengurus sesuatu tadi. Aku bukan sengaja nggak menjawab panggilanmu."

Paula tidak ingin merepotkan Darwin dengan urusan pribadinya. Itu sebabnya, dia tidak berencana memberi tahu Darwin tentang orang tuanya.

Darwin menatapnya dan tidak jadi berkata-kata. Dia bahkan tidak mengerti mengapa dirinya merasa tidak tega untuk melontarkan perkataan kasar kepada Paula.

"Pekerjaan ini nggak cocok untukmu," ujar Darwin.

Paula lemah lembut. Bahkan saat memohon padanya malam itu, wanita ini berderai air mata seperti anak kecil tak berdosa.

"Aku kebetulan sedang nganggur," jelas Paula yang berniat mengambil bawaannya kembali. Dia tidak mungkin berani menyuruh Darwin mencarikannya pekerjaan.

Darwin mengernyit sambil mengangkat bawaannya tinggi-tinggi. Paula pun tidak punya kesempatan untuk merebutnya lagi. Karena mencoba untuk menggapainya, Paula tidak sengaja menabrak dada Darwin sehingga wajahnya memerah.

"Pak, bisa tolong kembalikan kepadaku? Kalau terlambat, gajiku akan dipotong ...," mohon Paula.

Darwin merasa lucu sekaligus kesal melihatnya. Dia membawanya ke meja resepsionis dan berucap, "Suruh mereka ambil sendiri."

Resepsionis itu tentu tercengang mendengarnya. Bos mereka yang tampan dan berkarisma malah mengantarkan makanan karyawan. Staf mana yang begitu hebat sampai bisa menginstruksi bos?

"Baik, aku akan mengabari mereka di grup," balas resepsionis itu sembari mengirim pesan ke grup. Ketika menengadah, dia melihat seorang wanita cantik bertubuh mungil di belakang bosnya. Wanita itu mengenakan jaket kurir.

Ternyata begitu! Bos mereka membantunya mengantarkan makanan. Resepsionis itu pun menatap dengan penasaran, berharap bisa mendapatkan informasi.

Darwin menatap Paula sambil berkata, "Ikut aku."

Paula meremas ujung jaketnya dan membalas lirih, "Nggak bisa, aku belum selesai mengantar semua makanan ...."

Darwin mengernyit sambil menahan amarahnya, lalu berkata lagi, "Kemari!"

"Oh." Paula tidak berani berbicara banyak lagi. Dia buru-buru berlari di belakang Darwin.

Begitu pintu ditutup, resepsionis itu menjulurkan lehernya untuk mengintip, tetapi tidak bisa melihat apa pun.

Saat ini, Darwin bertanya, "Kenapa jadi kurir makanan?"

Paula tidak berani menatap mata Darwin. Dia menjelaskan dengan lirih, "Aku baru tamat kuliah, jadi harus mencari pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri ...."

"Begini caranya? Kalau begitu, apa gunanya kamu kuliah?" tanya Darwin dengan ketus.

Paula pun tidak tahan lagi. Matanya berkaca-kaca saat membalas, "Aku awalnya ingin bekerja di perusahaan animasi, tapi nggak ada perusahaan yang berani merekrutku karena Keluarga Antoro dan Keluarga Ignasius."

Paula tidak bisa memberikan kontribusi di industri yang dicintainya dan kini ditegur oleh Darwin. Dia merasa sangat sedih sehingga air matanya akhirnya berlinang.

Darwin tentu melihatnya. Dia sontak mengangkat tangan untuk menyeka air mata Paula, lalu berujar, "Jangan menangis, beri tahu aku apa yang terjadi."

Mata Paula tampak merah saat bercerita, "Waktu hari pertunanganku, Aurel tahu aku hamil. Orang tuaku ... maksudku, ayah dan ibu Aurel mengusirku dari rumah."

Kalau bukan karena masalah ini, Paula tidak mungkin menumpang di kediaman Keluarga Sasongko. Ketika menceritakan ini, niat awal Paula kembali muncul di benaknya sehingga dia berkata, "Aku bahkan kesulitan untuk menghidupi diri sendiri sekarang, apalagi membesarkan anak. Pak, kumohon, biarkan aku menggugurkan kandunganku!"

"Jangan harap!" Ekspresi Darwin seketika menjadi sangat dingin.

Meskipun merasa takut, Paula tetap berucap, "Ini sudah hasil terbaik bagiku."

Darwin menahan bahu Paula, lalu mengangkat dagunya supaya Paula menatapnya. Sesudahnya, dia berucap, "Menikahlah denganku, lahirkan anak itu. Nggak akan ada yang berani menindasmu lagi nanti."

Paula sontak termangu. Dia tidak salah dengar? Darwin memintanya menikah dengannya? Bukankah pria ini hanya menginginkan anak di kandungannya?

Pikiran Paula menjadi kacau balau. Sesaat kemudian, dia menarik napas dalam-dalam dan membalas, "Pak, aku nggak mungkin menikah denganmu. Aku sudah sangat merepotkanmu selama ini. Lagian, pernikahan harus didasari oleh cinta. Kalau nggak, kita nggak akan bahagia, begitu juga anak kita."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status