“Kamu kenapa, sayang?”Bagas terjaga dari tidurnya karena Nilam bergerak gelisah di dalam tidurnya.“Punggungku sakit, Mas.”Mata Bagas yang awalnya berat untuk terbuka kini langsung melebar, “Kamu mau melahirkan sekarang?” Nilam menggeleng, “Tidak, Mas. Mungkin hanya kontraksi saja sebelum pembukaan, aku malas kalau ke rumah sakit nanti malah disuruh balik lagi. Maunya di rumah saja, di sana bau obat pula.”Meski merasakan sakit, Nilam masih tetap saja cerewet.“Ya sudah, sini biar Mas elus punggungnya.” Bagas mendekat, mengelus punggung sang istri dengan lembur.“Aku ngantuk, Mas.”“Tidur, sayang.”“Tapi sakit, mana bisa aku tidur. Kenapa kamu tidak mengerti sih.”Bagas meringis, apapun yang dikatakannya selalu salah di mata sang istri. Tapi jika ia diam maka lebih salah karena Nilam akan menganggapnya marah. Begitu berat menjadi suami siaga untuk istri yang sedang hamil apalagi mendekati persalinan.Harus siap untuk selalu disalahkan oleh istrinya. Setidaknya itu pengorbanan yang
“Sakit, Mas.”“Iya, tahan ya. Sebentar lagi kita sampai.”Bagas mencoba menenangkan Nilam yang tidak melepaskan tangannya dari rambut Bagas. Itu dilakukan untuk melampiaskan rasa sakit. Bagas pun tidak protes sama sekali, ia tahu sakit yang dirasakannya tidak seberapa dengan sang istri.Untung saja Rida menyetir jadi mereka tidak kesulitan di tengah malah harus ke rumah sakit. Ibunya Bagas ada di rumah bersama dengan anak-anak.“Tidak bisa ditahan,” pekik Nilam, keringat sudah membasahi pelipis wanita itu.Nilam bisa merasakan perbedaannya saat melahirkan Alin dan anak keduanya ini. Proses melahirkan anak kedua ini menurut Nilam lebih terasa sakitnya daripada anak pertama. Setiap wanita melahirkan beda merasakan hal yang berbeda meski tetap saja dinamakan rasa sakit.Sampai di rumah sakit pun tidak langsung melahirkan, menunggu berjam-jam sampai pembukaan lengkap. Bagas hampir meminta dokter untuk melakukan operasi caesar karena tidak sanggup melihat istrinya kesakitan namun Nilam yan
“Hm ... kalau tidak salah namanya Yuri. Dia tidak punya hubungan apa-apa ‘kan dengan Bagas?”“Tidak, Ma. Mama tenang saja.”“Memang tidak mungkin sih kalau dilihat soalnya dia depresi, mana mungkin Bagas selingkuh terus sama wanita yang depresi lagi atau jangan-jangan Yuri depresi karena Bagas?”“Ma, tidak usah bicara sembarangan begitu.”“Mama hanya takut saja kamu disakiti.”Wajar kalau memang Bu Risti menaruh curiga tapi cocoknya dilakukan pada Bagas dulu karena sekarang lelaki itu sangat setia pada istri nya itu.“Tidak usah kita membicarakan orang lain, Ma. Yang terpenting memang tidak ada hubungannya dengan kita.”Kening Bu Risti berkerut, “Kalau memang tidak ada urusannya kenapa banyak sekali foto Bagas di kamarnya coba?”Nilam menghela napas panjang, “Dia yang mengejar Mas Bagas dan sangat terobsesi jadi wajar kalau di kamarnya banyak foto Mas Bagas.”Bu Risti terbelalak, “A-apa? Jadi dia yang mengejar Bagas? Dia tahu kalau Bagas sudah memiliki istri?”“Meskipun dikasih tahu k
POV Langit“Mas, kepala aku pusing banget, badan juga lemes. Kamu bisa ‘kan antar aku ke rumah sakit?”Aku yang sedang memilih baju langsung menengok pada Alin yang duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya.“Sekarang?”“Iya.”“Ya sudah, siap-siap.”Kuraih kemeja biru muda yang tergantung. Biasanya memang Alin yang menyiapkannya tapi saat keluar kamar mandi malah tidak ada pakaian yang ada di atas ranjang.Mungkin dia memang sedang tidak enak badan. Wajahnya juga terlihat pucat, biasanya pagi hari dia sudah berceloteh apapun dia bicarakan tapi pagi ini tidak. Dia bahkan hanya menyediakan roti saja untuk sarapan.Selesai berpakaian, aku mendapat pesan dari Tania.[Mas, perut aku tiba-tiba sakit. Kamu bisa ‘kan temenin aku ke rumah sakit?]Tanpa berpikir lagi kukirim pesan balasan padanya.[Aku ke rumah kamu sekarang.]Kusambar kunci mobil lalu keluar dari kamar.“Mas, tunggu. Aku belum siap.” Suara Alin menahan langkahku.“Kamu pergi minta anter Bunda ya. Aku ada urusan darurat.”
POV Alinea (Anaknya Bagas dan Nilam)Tubuhku menegang saat melihat Mas Langit dan istri sahabatnya duduk di kursi tunggu depan ruangan dokter kandungan. Keduanya saling melempar senyum dan tampak begitu akrab, padahal kalau ada aku mereka tidak seakrab ini.Hatiku berdenyut nyeri, tubuh yang memang tak bertenaga kini semakin lemas. Genangan air mata coba kubendung agar tidak tumpah.Kenapa bisa Mas Langit yang katanya sedang sibuk malah menemani Tania ke dokter kandungan? Mas Langit bahkan menolak saat aku minta diantar ke rumah sakit dengan alasan pekerjaannya itu. Lalu kenapa dia mau mengantar istri sahabatnya dan mengabaikan istrinya sendiri?“Alin, kenapa nggak du-”Aku langsung menoleh pada mertuaku yang kini terbelalak saat mengikuti arah pandangku tadi.“Langit!” Suaranya melengking membuat sang empunya nama terperanjat.“Bunda.” Dia ternganga, tangannya yang tadi memegang pundak Tania kini terlepas.“Anak kurang ajar!” Bunda melangkah lebar mendekati Mas Langit.“Argh! Sakit,
“Langit, mau kemana?” Suara teriakan Bunda terdengar.Tapi Mas Langit tidak menyahut.Aku pun keluar dari kamar, tidak mau membuat suasana semakin kacau. Rasanya tidak pantas melibatkan mertua dan orang tua dalam masalah rumah tanggaku.Mas Langit memang sudah keterlaluan, tapi aku tidak mungkin mengambil keputusan gegabah dengan langsung berpisah. Selama dia tidak mendua, aku bisa terima. Kalaupun memang dia dan Tania selingkuh, aku harus cari tahu sendiri buktinya bahkan kalau bisa melihat secara langsung.Sakit? Jangan ditanya lagi. Tiga tahun menikah dan sekarang aku baru tahu kalau aku tidak dicintai suamiku sendiri. Menyedihkan sekali.Jadi kalau dia tidak mencintaiku, kenapa menikahiku? Pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi benak.“Langit mau kemana?”Aku tersentak. Bunda tiba-tiba ada di depanku. “Mungkin ada urusan penting, Bun.”“Urusan apa? Emang masalah kalian udah beres?”“Semua cuman salahpaham, Bunda. Bunda nggak usah khawatir.”Bunda tampak tidak terpercaya. “Meskipun Lang
“Kamu juga kemana aja seharian ini, nggak ada kabar.”“Suami pulang kerja, capek. Kita bisa ngobrol lagi besok ‘kan? Udahlah, nggak usah recokin aku. Lebih bagus kamu urus diri kamu sendiri, nggak usah peduliin aku, nggak usah ngurusin aku.”Dadaku sesak karena sikapnya berubah drastis. Tubuh membeku masih dengan posisi berdiri menghadapnya.Tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut Mas Langit. Tapi dari semua itu hanya ada satu kata yang menusuk hati. Dia yang hanya mengatakan ‘oh’ saat kuberitahu soal kehamilan ini.Apa dia benar-benar tidak peduli padaku? Bahkan pada kehamilanku? Aku ini hamil anaknya, darah dagingnya bukan anak orang lain.“Mas.”Malah suara dengkurannya yang terdengar membuatku tambah emosi. Kutarik napas dalam-dalam. Untuk saat ini aku akan mengalah, aku diam. Tapi bukan berarti aku menyerah. Dengan kondisi seperti ini mana mungkin aku rela melepasnya begitu saja.Apapun itu butuh perjuangan termasuk merebut hati suamiku sendiri. Dia bisa membuatku jatuh hati s
“Dia itu istri sahabat aku, bukan orang lain. Udah deh, kalo emang kamu nggak mau bantuin nggak usah merembet ngomong soal Tania segala.”“Ya udah.” Kuayunkan langkah meninggalkannya yang tampak semakin kesal.Butuh tapi gengsinya itu tinggi sekali. Terus saja bela Tania, maka kamu akan susah sendiri, Mas.Buru-buru aku mandi, biar habis itu langsung istirahat. Tadi aku sudah makan di rumah Bunda jadi perut masih kenyang. Mungkin akan merasa lapar nanti tengah malam.Aku selesai mandi, Mas Langit masih belum masuk ke dalam kamar. Mungkin dia benar-benar marah. Salah sendiri, dia yang mulai.Gerakan tanganku yang sedang mengancingkan piyama terhenti saat melihat sebuah kertas mengintip dari bawah meja. Perasaan tadi pagi saat membersihkan kamar rasanya sudah tidak ada sampah yang tertinggal.Tubuhku menunduk untuk meraih kertas itu.“Baby shop?” Tulisan paling atas dari kertas yang ternyata struk belanja.Mataku memanas melihat list panjang belanjaan perlengkapan bayi.Apa Mas Langit m