"Lah, emang bos gak tau Anna di mana?" sahut Coki terheran-heran. Melihatnya tampak tersenyum usil saya tahu dia sedang merendahkan martabat saya sebagai seorang suami."Anna sedang main petak umpet!" jawab saya lantas menyaut ponsel Coki. "Saya pinjam sebentar!""Ehâehâeh, untuk apa bos? Yahâyahâyah, hilang privasi gue..."Saya meninggalkan Coki ke ruang teman saya yang lebih ada privasinya. Saya membaca semua chat yang mereka lakukan, tak ada bocoran Anna ingin pergi ke mana, atau indikasi keterlibatan Coki atas kejadian hari ini. Coki clear, saya pun juga mengecek emailnya. MarryAnne, nama istri saya memang ada di barisan paling atas email-nya. Hanya saja isinya cuma kerjaan. "Sebenarnya ada apa, bos? Istri elo kabur, atau pada gak mau berbagi cinta?" tanya bos Jaff Film yang kursinya saya duduki. "Saya tidak tau, Anna hanya pamit keluar untuk jalan kaki, tapi sampai jam sekarang dia belum pulang. Nomernya mati, tolong, kamu juga hubungi dia. Tanyakan keberadaannya." pinta saya
Perjalanan yang penuh dengan berbagai rasa dalam jiwa sudah saya lalui sampai ke alamat pemilik mobil yang Anna sewa."Saya sendiri yang akan menemuinya, kalian hanya perlu mengawasi." kata saya seraya turun dari mobil. Saya berdehem, sumpah, baru pertama kali ini saya harus turun langsung ke target sasaran. Biasanya saya hanya terima bersih, tanda tangan dan terima hasil. Sekarang, risiko affair yang memeriahkan hidup saya ini benar-benar membuat saya harus down to earth."Bapak Pujianto." panggil saya ketika beliau melihat ponsel dan bersandar di badan mobil."Maaf..., Mas Ardi?" tanyanya sambil tersenyum sopan. Saya mengangguk sambil memastikan bapak ini bukan seseorang yang bisa Anna ajak berbuat cerdik. "Silahkan masuk, mas." Bapak Pujianto membuka pintu mobil. Saya yang benar-benar ingin segera tahu Anna dia antar ke mana langsung masuk, tidak di bangku penumpang. Tapi di samping kursi kemudi.Bapak Pujianto hanya tersenyum saat melihat saya membetulkan posisi duduk."Langsun
Mama dan ibu langsung berhamburan keluar rumah sewaktu saya baru masuk ke dalam rumah. "Bagaimana, Ar? Anna belum ketemu?" Saya memandang mama dan ibu lalu menghela napas. Satu kemungkinan besar kalau saya bilang Anna kabur ke Bandara nenek dan calon nenek ini pasti ikut panik. "Anna ngumpet, Ma. Belum ketemu. Entahlah dia ngumpet dimana. Saya belum bisa menemukannya." jawab saya sambil menghela napas bersamaan dengan suara derit mesin kursi roda. "Lagian kamu gimana sih, punya istri kok ngumpet aja gak tau di mana. Di cari terus dong, Ar. Tanggung jawabmu mana?" Mama menggeram, "pokoknya cari, mama mau semuanya kumpul di sini. Akur-akur! Dan itu adalah tugasmu. Menyatukan kedua istrimu." Mama beralih menatap Farah, dan saya langsung memegang tangannya"Aku pasti cari, Ma. Mama dan ibu tenang saja, Anna pasti ketemu." kata saya meredam rasa kesalnya."Ini berat mama tau, mama juga tidak memaksa kamu bisa menerima Anna menjadi madu kamu. Tapi yang harus kamu tau, Anna slalu bilang
Saya terus mengelus rambut Farah sampai ia tertidur pulas. Saya tersenyum lantas mengecup keningnya. Dengan hati-hati, saya turun dari ranjang. Saya berjalan ke ruang pakaian, mengambil tas besar sambil memasukkan pakaian sekenanya.Saya berharap, sejauh mana Anna pergi, saya tetap akan menemukannya. Dan saya percaya sekalipun dia ngumpet, dia hanya ingin sejenak menepi, bukan karena membenci saya, menghormati Farah, atau membuat semuanya memburuk di hari yang seharusnya menjadi arti bagi kami. Saya menggendong tas, memandang Farah sekilas di depan ranjang. "Saya pergi sebentar, Fa. Ini saya lakukan demi ketentraman hati saya!" Saya mendorong pintu, asisten pribadi Farah yang memang slalu menunggu di ruangan santai depan kamar saya menghampiri. "Bapak mau keluar?" tanyanya rikuh. "Titip Farah seperti biasa. Pastikan slalu makan, kalo dia marah. Minta tolong mama.""Baik, pak." Asisten pribadi Farah ini langsung masuk ke kamar, sementara saya langsung mencari keberadaan mama dan
Kami berhenti di wilayah taman nasional ujung kulon di hari yang sangat gelap dan dingin.Saya mendesah lelah, perjalanan penuh prasangka ini membuat saya benar-benar ingin segera bertemu kasur. Mencium seprai rumah. "Polisi meminta pencarian di lakukan besok pagi, bos. Risiko mengganggu warga setempat akan menjadi bumerang bagi anda sendiri dan juga ibu Anna. Lebih baik kita menurut!" kata pengawal saya.Saya mengangguk, benar, semesta sudah menata cerita dan penuh kejutan, lagipula pencarian ini bukanlah pencarian orang hilang yang mempunyai surat tugas atau surat perintah. Pencarian ini hanya mencari kekasih hati yang kabur saja dari rumah. Risiko mengganggu warga setempat karena harus menanyakan keberadaan wanita hamil di waktu malam akan menimbulkan keriuhan dan yang saya takutkan jika nanti malah jadi peluang jahat. "Cari tempat penginapan!" pinta saya."Baik, bos." Saya membuang muka ke pemandangan luar. Semua memang tak sama, Anna dan Farah berbeda. Kecupan dan sentuhannya
Saya bangkit dari mimpi buruk semalam yang terasa segala beban masih berada di pundak. Membebani pagi ini hingga rasanya berjalan pun malas sekali. Satu hari sudah berlalu, tapi rasanya sudah seperti membiarkan beberapa kesempatan berbisnis tidak membuahkan hasil.Hancur dan resah.Saya keluar dari kamar, merasakan udara pagi di tempat asing. Tempat yang baru pertama saya menginjakkan kaki di sini. "Gimana bos, enak?" Si botak menyapa sambil membawa segelas kopi hitam di tangannya. "Tidak!" jawab saya jujur, semalam tidak enak. Pelepasan hormon testosteron yang tidak menyenangkan, saya bahkan harus mandi malam dan berakhir sepi sendiri di ranjang."Gelisah galau merana ya bos?" urai si botak, entah mengejek saya atau muka saya benar-benar terlihat merana, saya hanya mengangguk sambil mengikutinya bergabung dengan polisi-polisi dan pengawal saya.Sepiring pisang goreng dan kopi nampaknya sudah di nikmati mereka di gubuk bambu tempat di area parkir."Bagaimana, sudah ada titik terang
Tengah hari pun menjelang, setumpuk perdebatan yang saya lakukan dengan diri saya sendiri ternyata sangat mudah di tebak oleh si botak. Dia menawarkan diri ke kota mengambil uang, saya setuju, saya butuh uang tunai, bukan malah membeli logistik sebanyak-banyaknya yang ternyata sama sekali tidak saya minati.Saya bergeming di pinggir warung, merasakan tetesan air hujan yang turun dari atap seng. Tangan saya basah, tapi tidak sebasah air mata Farah dan Anna.Didesak kebutuhan hasrat yang menggelora, saya benar-benar tidak sanggup jika hanya memiliki Farah. Tapi Anna juga bukan hanya pelampiasan nafsu ini. Anna adalah variasi. "Apa gerimis begini masih aman untuk menyebrang?" tanya saya kepada awak kapal yang ikut berteduh waktu hujan meluluh lantakkan segala kelegaan saya. Si awak kapal menaruh tangannya di depan kedua alisnya yang melengkung sambil menyipitkan mata seakan memantau kondisi perairan. Saya memasang muka datar, tolonglah kali ini sejalan, jangan sampai dia bilang tidak
Mengalahkan gengsi yang mati-matian saya lakukan, si botak benar-benar memapah saya tanpa sungkan menuju resort terdekat dari bibir pantai. Resort itu berdinding bambu, ada yang berbentuk segitiga atau lingkaran yang seperti rumah-rumah jaman dulu. Terlihat asri dan sejuknya nuansa menjadi Sejenak, saya tertegun sewaktu berdiri di atas pasir putih yang menggelitik kaki saya. Saya membisu memandang rusa, monyet, bahkan babi hutan berkeliaran dengan santai di atas pasir putih yang sama.Anna, masih kurang ramai apa hidup kamu? Kau benar-benar mengambil risiko yang meminta saya untuk menekuk lutut di hadapanmu atau saya kurang memahami mu? Saya bergidik ngeri membayangkan kamu tergesa di kejar babi hutan, kesusahan membawa barang-barangmu, apalagi anak kita yang sudah membuat punggungmu ngilu, atau kamu sedang membohongi diri saya? Saya mengembuskan napas lelah. "Ayo, bos. Lihat-lihatnya nanti lagi ajalah keburu di samperin monyet! Aku males ribut sama hewan liar, ribet urusannya." c