“Hei, kau baik-baik saja?” penjahat kedua menghampiri penjahat pertama yang menerima pukulan lebih banyak di antara mereka bertiga. Bahkan, satu tulang rusuknya ada yang patah. “Ayo!”Penjahat ketiga pun menghampiri satu rekan mereka tersebut, membantunya berdiri, dan kemudian membawanya beristirahat di bawah sebuah pohon waru laut yang cukup besar dan rindang dengan bunganya yang kemerah-merahan.“Berengsek!” penjahat pertama mendengus, terduduk dengan bersandar ke batang pohon. Dia terbatuk lagi dan muntah darah lagi. “Sial! Kita tidak mendapatkan apa-apa, bagaimana aku akan bisa mengobati putriku?”Dua temannya hanya bisa mendesah halus.“Yah,” kata penjahat ketiga. “Sepertinya hari ini adalah hari sial bagi kita.”“Kupikir,” kata penjahat kedua. “Kita mungkin akan bisa mencari mangsa di pulau lain. Di sini masih terbilang cukup ramai dan pasti ada saja orang seperti pria yang tadi itu.”“Hei!” Penjahat ketiga melihat bayangan. Dia menunjuk ke arah tersebut. “Lihat dua orang itu!”
Setidaknya, ada tiga kapal yang melepas tali dan memulai pelayaran ketika Feng dan Huang tiba di sebuah dermaga yang ada di sisi barat Seri Kuala Tanjung. Kapal-kapal itu bukanlah jenis kapal besar yang memiliki banyak geladak.Hanya sebuah kapal kecil yang terlihat seperti sebuah perahu yang cukup panjang lalu diberi atap. Sedangkan para penumpangnya, duduk dengan sedikit berdesak-desakkan pada bangku-bangku papan yang bersekat.Masing-masing kapal memiliki sayap di kiri kanannya, atau sering juga disebut cadik. Dan sebuah layar terkembang di bagian sepertiga ke depan, dikendalikan oleh seorang awak yang duduk santai di atas atap kapal.Dua awak lainnya berdiri di bagian haluan sebagai penunjuk arah, dan awak terakhir berdiri di buritan sebagai pengatur arah kapal.“Di mana?” Huang berdiri di tepi dermaga, menelisik kapal-kapal yang ada. “Di mana bajingan itu?”“Di sana!” Feng menunjuk pada kapal yang di tengah di antara tiga kapal yang telah bergerak menjauh.Sementara itu, Hoaren m
Dengung ketakutan dari penumpang kapal di bawah atap yang ia pijak membuat Huang akhirnya menyadari jika memaksa untuk bertarung dengan Hoaren sekarang juga, maka orang-orang tang bersalah itu pasti akan ikut terkena imbasnya.“Adik,” bisik Feng. “Tahan dulu amarahmu. Ini bukan tempat yang bisa kita jadikan sebagai medan pertarungan.”Sang gadis menghela napas lebih dalam untuk menenangkan gejolak amarah di dalam dadanya. Akan tetapi, dia juga tidak menyarungkan pedangnya demi mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin saja akan dilakukan oleh Hoaren.“Baiklah!” ucapnya dengan tegas. “Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, penjahat!” tunjuknya pada Hoaren. “Akan tetapi, kau jangan senang dulu. Ini hanya sampai kapal berlabuh di pulau berikutnya!”Hoaren masih saja tertawa menanggapi dengan tangan berada di pinggang.“Aku semakin suka padamu, Nona Huang,” ujarnya tanpa memedulikan bahwa ada tunangan sang gadis di sana. “Selalu saja datang dengan mulut besar. Mungkin sifat pamanmu yang
Pada keesokan harinya, di siang hari, Feng dan Huang akhirnya juga tiba di Pulau Sugi. Dan setelah hampir seharian mengitari pulau tersebut tanpa lelah, keduanya mendapatkan informasi bahwa malam sebelumnya, Hoaren pernah menginap di salah satu pemukiman yang ada di selatan pulau.Sayangnya, si penjahat tersebut telah menghilang dari Pulau Sugi. Informasi tambahan yang didapat keduanya dari sebuah dermaga kecil di selatan itu, bahwa Hoaren telah pula menumpang sebuah kapal kecil menuju pulau berikutnya, Pulau Durian.Dengan tidak menghiraukan kondisi tubuhnya sendiri yang sudah kelelahan, Huang bersikeras untuk mengejar Hoaren. Dan mau tidak mau, Feng terpaksa menemani sang kekasih menuju Pulau Durian.“Keparat!”Brakk!Huang meluahkan kekesalannya pada sebuah batu besar di tepi laut hingga batu seukuran manusia itu hancur berantakan.Feng hanya bisa menyaksikan itu dengan helaan napas yang panjang. Dalam keadaan seperti ini, sang tunangan sudah sulit untuk diberi nasihat. Yaah, dia t
Pagi-pagi sekali, Feng dan Huang telah keluar dari penginapan, menyusuri pesisir timur Pulau Alai, dari utara bergerak ke selatan.Setiap keramaian yang mereka temukan, keduanya pasti bertanya pada penduduk tempatan tentang di mana letak kawasan Batu Limau. Dan mereka akan langsung bergerak begitu mendapatkan petunjuk arah.Sementara itu, di kawasan Batu Limau sendiri. Hoaren telah mendapat tahu tentang larangan apa saja yang tidak boleh dilakukan di lokasi yang dikeramatkan oleh warga lokal tersebut.“Jadi,” kata seorang tua kisaran 80 tahun. “Kau harus berhati-hati, Anak Muda. Mungkin di matamu kawasan ini tidak memiliki kekuatan mistis. Tapi percayalah, jika kau bertindak gegabah, maka hanya kesialan dan penyesalan yang akan kau dapatkan untuk sisa hidupmu.”Hoaren tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tentu saja, Tuk Gomo. Aku hanya berpelesir biasa saja. Lagi pula, siapa yang mau dikutuk seumur hidupnya?”Pria tua yang bergelar Datuk Gomo terkekeh. Gomo dalam bahasa Melayu Kuno adala
“Aku tak hendak menakut-nakuti kalian,” kata Datuk Gomo. “Akan tetapi, berhati-hatilah menghadapi pria itu. Hanya itu yang dapat aku katakan pada kalian berdua.”Feng saling pandang dengan Huang.“Dia memang seorang yang licik,” kata sang gadis kemudian. “Orang biasa mungkin mudah terkecoh dengan wajahnya yang manis dan pandai bertutur kata. Tapi Datuk Gomo jangan khawatir, kami berdua sudah cukup mengenal seorang Hoaren.”Pria tua mengangguk-angguk sembari mengelus jenggot panjangnya yang abu-abu.“Kalau begitu,” kata Feng pula. “Kami permisi, Datuk. Semakin cepat kami menemukan si Hoaren itu, maka akan semakin baik bagi orang-orang di Laut Melayu ini.”“Silakan!”Feng dan Huang akhirnya bergerak ke arah tenggara, bagian paling selatan dari Pulau Alai.Begitu mereka tiba di kawasan Batu Limau yang berada di pinggir pantai itu, keduanya terheran-heran demi melihat pelbagai batu kesar yang membentuk ragam benda seolah-olah, batu-batu besar di tepi laut itu sengaja diukir oleh seseorang
Huang telah lebih dahulu menyadari apa yang akan dilakukan oleh Hoaren sehingga dia dengan cepat menarik serangannya, dan melentingkan tubuhnya jauh ke belakang, berjumpalitan beberapa kali sebelum akhirnya menjejak di atas sebuah batu besar.Pasir-pasir berhamburan ke udara akibat ledakan tenaga dalam Hoaren, lalu turun kembali ke bumi laksana hujan.Haoren menepis-nepis bajunya sembari terkekeh dan melirik pada Huang. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentangku, Nona Huang yang cantik!”“Adik!” Feng tiba dan mendarat di samping sang kekasih di atas batu yang sama. “Kau baik-baik saja?”“Kakak,” ujar Huang dan segera menetralisir aliran tenaga dalamnya yang menjadi sedikit kacau. “Bajingan itu,” lanjutnya, “dia menguasai jurus-jurus tertinggi Shaolin. Tinju Baju Besi, aku sangat yakin!”“Aku tahu,” Feng menatap pada Hoaren. “Sebelumnya, dia menahan Cakar Naga Biru-ku dengan Cakar Naga Shaolin.”“Keparat,” Huang meludah ke samping. “Dari mana dia mempelajari semua itu?”“Siapa yang
Huang melepaskan lagi jurus Pedang Surga-nya, Cakar Phoenix Menghujani Bumi. Kilatan-kilatan dari bilah pedang bergagang merah yang terlihat menjadi sangat banyak, melesat ke arah Hoaren.Swiing!Crass! Crass!Kilauan-kilauan bilah pedang menghantam apa saja. Membuat satu titik di kawasan itu menjadi semakin menyedihkan dengan batu-batu besar yang tercacah menjadi kepingan-kepingan kecil. Atau lubang-lubang tipis memanjang yang terbentuk di permukaan tanah dna menguarkan asap tipis.Sayangnya, Hoaren telah mengantisipasi jurus mengerikan itu dengan melontarkan tubuhnya lebih tinggi ke arah belakang.Dia menyeringai sebab bagaimanapun, serangan brutal dari Nona Huang barusan justru menyebabkan satu tabung bambu seruas yang juga telah disembunyikan Hoaren di titik yang sama menjadi hancur dan mengepulkan asap.Huang tidak menyadari itu sebab kepulan asap dari tabung ketiga bercampur baur dengan debu dan pasir yang berhamburan ke udara akibat ledakan demi ledakan jurus pedangnya.Sementa