"Terima kasih penjelasannya, Mbak," ucap Mina, siapapun pasti mengira kalau Mina adalah ibu dari Santi, termasuk perawat tersebut."Iya, sama-sama, Bu." Selepas kepergian perawat, Mina kembali termenung sambil menatap majikannya. "Sungguh, karma itu sangat kejam. Ini baru di dunia. Lalu seperti apa pembalasan di akhirat kelak?" gumamnya sambil bergidik ngeri.Santi yang mendengar gumaman Mina menjadi kesal, bisa-bisanya pembantunya itu berkata seperti itu. Secara kesadaran, Santi sudah mulai bisa mengingat hal terakhir yang terjadi padanya. Namun, perempuan itu masih belum bisa mengingat apa yang terjadi padanya hingga bisa berada di rumah sakit. Ingin sekali dia bertanya pada Mina. Namun, dia masih belum bisa bicara dengan jelas."Bagaimana dengan mobilku?" batin Santi cemas. Dia benar-benar khawatir dengan harta bendanya. Santi semakin gelisah saat teringat hutang bapaknya yang akan terus berbunga sebelum dilunasi. Karena jaminannya tak main-main, rumah yang selama ini dia impikan
Lorong rumah sakit itu terlihat ramai dangan lalu lalang orang. Berbagai ekspresi nampak dari raut wajah-wajah itu. Ada yang terlihat lelah, kesakitan dan sedih, hanya anak-anak kecil yang bisa tertawa lepas di sepanjang lorong tempat Vina dan keluarganya duduk di sebuah bangku panjang dari besi. Semua terlihat tegang, sementara Miranti masih menangis tersedu sejak dari rumah."Apa yang terjadi?" tanya Iyan yang baru saja sampai, napasnya ngos-ngosan karena terlalu tergesa-gesa. "Kinan ... dia mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya," sahut Vina. Gadis itu menatap lekat pada abangnya."Ini semua gara-gara kamu, Yan! Andai kamu tidak mengingkari janji, pasti semua ini tak kan terjadi!" Dengan emosional Miranti mencecar lelaki bermata elang itu.Handoko memegang tangan istrinya ketika wanita itu hendak membalas ucapan Miranti, lelaki itu mengisyaratkan agar wanita yang sangat dicintainya itu diam sama seperti yang dilakukan putranya, lelaki jangkung itu tak membela dir
Sejak kesadarannya Miranti menangis tak kunjung henti, dia begitu terpukul dengan apa yang menimpa putrinya, rasa kecewa dan malu kini menjadi satu.Setelah mendapatkan perawatan, malam harinya Kinan sudah diperbolehkan pulang. dan semenjak sadar Miranti belum mengajaknya bicara. Wanita baya itu terlalu kecewa dengan putri yang sangat dibanggakan dan disayanginya.Sesampainya di rumah, Vina memapah Kinan ke kamar belakang, keduanya melangkah tanpa sepatah kata. Vina pun tak ingin banyak bertanya. Biar itu menjadi urusan Kinan."Istirahatlah dulu," ucap Vina setelah mereka sudah berada di dalam kamar. Adiknya Iyan itu tak tega melihat kondisi Kinan yang sangat lemah apalagi sejak tadi Kinan didiamkan oleh ibunya, tentu itu sangat menyakitkan. Di saat seperti ini, orang yang seharusnya memberi dukungan mala bersikap cuek."Bagaimana ini, Da?" tanya Miranti sambil terisak. Wanita yang biasanya terlihat tegas itu nampak tak berdaya. Mereka saat ini tengah duduk di ruang tengah."Bagaimana
Rahayu menatap heran pada Kinan ketika pintu terbuka dengan sempurna. Mata senjanya langsung bisa melihat ada yang tak beres dengan wanita yang berdiri sangat dekat dengan calon suami Ambar itu."Assalamualaikum, Bu," ucap Iyan, lelaki jangkung itu memperlihatkan giginya yang rapi dan putih, setelah mendapat balasan salam, Iyan segera menunduk dan meraih tangan Rahayu kemudian menciumnya dengan takzim. Melihat ekspresi keheranan dari sorot mata senja Rahayu, Iyan langsung sadar dan memperkenalkan wanita yang bersamanya. "Ini Kinan, Bu. Saudara jauhku," imbuhnya.Rahayu tersenyum mendengar penuturan Iyan. "Vina ndak ikut, Yan?" tanyanya setelah menunggu uluran tangan Kinan yang tak kunjung dilakukan wanita muda itu, bahkan sedari tadi wanita itu kebanyakan menunduk."Tidak, Bu. Dia lagi sibuk di rumah, persiapan untuk acara besok."Rahayu mempersilahkan Iyan dan Kinan masuk, keduanya beriringan menuju sofa sedangkan Rahayu melangkah di belakang mereka. "Bagaimana keadaan Alif?" tanya I
"Sumi, apa semua baik-baik saja? Rumahku?" tanya Santi tiba-tiba. "Rumah itu masih menjadi milikku kan?" imbuhnya sambil melangkah mendekati adiknya."Rumahnya sudah dijual, Mbak," sahut Sumi takut-takut. Saat ini Santi terlihat seperti seorang monster, sorot matanya tajam dengan bekas luka dan tubuhnya, benar-benar menakutkan. "Bagaimanapun mungkin kamu bisa melakukannya? Kamu tidak berhak melakukan itu Sumi!" bentaknya."Mbak, semua itu kulakukan demi kamu! Kamu terluka parah dan butuh biaya untuk semua ini! Lalu ...." Sumi mendekati kakaknya. "Kakak ingat dengan orang-orang yang selalu datang untuk menagih hutang bapak? Mereka meminta untuk segera dibayar, Kak. Kalau tidak, rumah akan beralih menjadi milik mereka. Lalu, hutang kakak di kafe itu, dari mana aku punya uang untuk membayarnya kalau tidak menjual rumah, Kak?!" Sumi ikut emosi melihat kemarahan kakaknya, perhatiannya selama ini ternyata tidak berarti sama sekali bagi Santi. "Untung Om Haris mau membantu mencarikan pembel
Melihat calon istrinya tertunduk malu, ingin sekali Iyan menggodanya. Namun, sayang mereka belum sah secara hukum dan agama, jadi Iyan belum bisa mengekspresikan keinginannya tersebu, lelaki jangkung itu hanya bisa mengulum senyum karena gemas."Ini Ibu bawain tahu bulat," ucap Rahayu sambil meletakkan tas kresek yang sedari tadi ditentengnya ke meja. Alif segera membuka tas kresek tersebut dan mengambil satu buah makanan yang digoreng dadakan di mobil tersebut."Ini buat Bunda." Bocah yang semakin tinggi itu menghampiri lalu menyuapi Ambar. "Bismillah," ucap Ambar sebelum membuka mulutnya. "Enak, Bunda?" tanyanya sambil memperhatikan Ambar menguyah makanan tersebut. Tanpa sadar Alif ikut mengunyah dan menelan ludahnya."Masyaallah ... sedap sekali, Kak. Kak, Kakak tahu nggak? Apapun makanannya kalau Kakak yang nyuapin rasanya jadi enak loh," ujar Ambar membuat Alif tersenyum saat mendengarnya. Alif kembali mengambil makanan tersebut, kali ini bocah dengan rambut ikal itu mendekati
"Mau kemana kamu Kinan? Duduk di sini," titah seseorang. Mendengar seseorang menyebut namanya wanita itu menghentikan langkahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, ketika menyadari siapa pemilik suara berat itu. Wanita itu menutup mata untuk mengurangi debaran di dalam dada karena takut. "Om, sudah lama?" tanya Iyan yang baru masuk. Abangnya Vina itu mendekat lalu mengulurkan tangannya."Lumayan, dari mana kamu, Yan?" balas Ayahnya Kinan sambil menyambut uluran Iyan."Dari rumah calon istri," sahut Iyan tanpa ragu. Lelaki itu ingin menegaskan jika dirinya sudah ada yang memiliki. Ayahnya Kinan mengangguk."Kinan, duduklah di sini," titah kelaki berbadan agak berisi itu. Kinan menurut, perlahan dia melangkah ke sofa di mana ibunya duduk. Tanpa diminta, Miranti mengeser bokongnya, memberikan sedikit ruang untuk putrinya."Sekarang katakan semuanya, sejujur-jujurnya. Siapa ayah anak yang kadung itu?" Suami Miranti itu bertanya dengan suara tertahan, terlihat jelas kalau dia sedang menaha
Santi terkulai tak berdaya ketika beberapa perawat menolongnya. Wanita itu berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan, sehingga membuat ranjang tempatnya berbaring berwarna merah penuh dengan darah. Mantan istri Rudi itu benar-benar mengalami depresi hebat semenjak mengetahui kalau sekarang dia sudah tidak punya apa-apa, ditambah dengan kondisi fisiknya saat ini. Santi benar-benar tidak bisa menerima kenyataan. Ini adalah kali kedua dia melakukannya. Namun, Allah masih belum mengizinkannya meninggalkan dunia ini, hingga setiap usahanya yang ingin mengakhiri hidupnya selalu gagal."Tolong, pasiennya jangan ditinggal sendirian ya, Mbak. Dia benar-benar depresi. Kalau hal ini masih terjadi lagi, kami akan mengikatnya di ranjang," ucap perawat itu. Sambil melilit pergelangan tangan Santi menggunakan perban.Sumi hanya mengangguk, lidahnya seakan keluh untuk sekedar mengucapkan kata 'iya'. Gadis yang tak lagi perawan itu terlihat sangat terpukul mengetahui keadaan kaka