"Sepertinya Mail sudah tidur. Aku harus segera menyanggupi persugihan itu. Aku nggak mau Mail, anakku menjadi korban atas keegoisanku," Gumam Atika.Atika segera pergi meninggalkan rumahnya, dan berjalan ditengah gelapnya jalan kearah pemakaman."Kira-kira ada yang berjaga nggak ya? apalagi kemarin udah ketauan kalau makam Karin aku bongkar. Ah, tapi aku nggak bisa menunda lagi. Aku harus nekat, dan harus tetap menjalankannya." Gumamnya.Setelah sampai tepat didepan makan Dini. Atika segera mencangkul tanah itu. Ia sudah membawa cangkul dari rumahnya sendiri. Ia juga sengaja hanya membawa senter mini agar cahayanya tidak begitu terang, dan tidak diketahui orang."Whusss!" Angin semilir lewat dari tengkuknya. Dan itu membuat bulukuduk Atika berdiri seketika. Dengan susah payah, dan dengan tenaga dalam Atika mencangkul tanah, yang begitu lembab. Karena Musim hujan."Sudah mati saja masih merepotkan. Kenapa kemarin kamu mati nggak ninggalin ari-ari bayimu." Gumam Atika."Ti!" Terdengar s
"Hduhhh! rasanya tulangku remuk semua,", Lirih Atika saat bangun pagi. Ia membuka pintu depan rumahnya. Matanya tertuju kepada bercak darah, yang tercecer dihalaman rumahnya."Darah!" Mata Atika seketika membulat. Menyaksikan darah, yang berceceran, namun sudah sedikit mengering. Warnanyapun sudah hampir memudar karena terkena air hujan tadi malam."Aku harus cepat-cepat menghilangkan darah itu. Malah arahnya mengarah kerumahku lagi. Untung saja aku melihatnya." Gumamnya. Ia segera menaburkan ceceran darah itu menggunakan pasir. Agar tidak terlihat lagi."Atika!" Panggil seseorang dari belakangnya. Saat ia sudah selesai. " Deg, jantungnya berdenyut ada rasa takut, saat ingin menoleh."Aku mau nempah baju. Katanya kamu pintar menjahit.""Bu Ambar!"Jawab Atika. Ternyata, yang datang Ambar istri kepala desa."Gimana bisa?" Tanya Ambar lagi."Bisa sih buk! tapi," "Tenang bahanya saya yang beli. Dan ini DP nya saya kasih," Ucap wanita itu. Sembari memberikan sebuah amplop putih berisi ua
"Kamu nggak ikut mandikan Dini?" Tanya Ningsih. "Nggak, ah. Jijik aku." Ucap Atika. Sebetulnya bukanya jijik. Ia hanya malas saja. Bila melihat zenazah Dini. "Jangan gitulah. Diakan sudah nggak ada. Kalau nggak kita, yang mandikan siapa lagi?" "Kalian sajalah! aku males." Jawab Atika. Ia malah pergi begitu saja."Atika! Kamu nggak ikut kedalam?" Tanya Diwan."Nggak," Jawab Atika datar. Ia berusaha mencoba menghindar dari Diwan."Tunggu!" Tangan Diwan menangkap lenganya."Kenapa?" Atika tidak menoleh. "Kamu kenapa berusaha terus menghindar?" Akhirnya Diwan buka mulut."Maaf Wan! jangan seperti ini. Malu dilihat orang." Akhirnya Atika berani menoleh, kearah Diwan."Aku cuma tanya! kenapa kamu menghindar? aku punya salah?" "Nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau menjadi perusak hubungan orang!""Sudahlah. Nanti aku jelaskan. Sekarang bukan waktu, yang tepat," Ucap Diwan. Atika berusaha menelan Salvianya. Ada perasaan, yang tidak dapat dibendung disana. Tapi ia sadar ia bukan tipe Diwan.
"Sebulan kemudian""Lihat Atika dia udah beli bahan bangunan. Uang dari mana ya?" Nyinyir Mirna. Tak sengaja melihat rumah Atika sudah dipenuhi bahan-bahan bangunan."Palingan warisan," Jawab Yuni. "Atau jangan-jangan dikasih sama Diwan, suami kamu!" Ketus Mirna."Apaan sih! kok suamiku. Mana mau suamiku sama dia." Pekik Yuni."Kan kamu, yang fitnah dia kalau dia ada main sama suamimu! bisa jadi kan memang benar," Ketus Mirna."Suamiku nggak seperti itu ya, Mir," Yuni mulai kesal. Dengan ucapan Mirna."Makanya Yun. Kalau suami udah bek, jangan difitnah. Lihat sekarang kayaknya jadi kenyataan deh." Tambah Mirna lagi."Kamu kok malah nyalahin aku?" Bentak Yuni."Kamu ngapain marah sama aku? emang benar kok, yang aku bilang. Kamu sudah fitnah mereka," Pekik Mirna. Tak terima dirinya dibentak Yuni."Tapi nggak usah nyalahin aku lah. Terserah ku Mail fitnah kayak mana. Nggak ada ruginya sama kamu kan?" "Sombong. Bentar lagi pun kamu bakal dicerai sama suamimu," Ucap Mirna lagi."Plak!" S
"Dasar, wanita penggoda," Pagi itu Yuni tiba-tiba datang, dan memaki Atika."Maksut kamu apa?" Pekik Atika. Ia, yang sedang mengawasi para tukang, yang sedang merenovasi rumahnya terkejut."Kamu kan, yang menghasut suamiku? sampai dia mau mencwraikanku!" Pekik Yuni. "Menggoda? aku ini cuma wanita lusuh, dan nggak cantik sepertimu. Ngapain aku menggoda?" Pekik Atika. Memang nyatanya Yuni lebih cantik dibanding dirinya, yang hanya wanita berdaster."Jelas aku memang cantik, dan kamu masih kalah jauh. Tapi aku yakin, kamu sudah menghasut suamiku.""Cukup ya, Yun. Selama ini kamu menghinaku aku diam, dan nggak pernah melawan. Kok kamu sekarang malah menuduhku lagi,""Jelas, lah! kamu kan dendam, denganku. Kamu marah kan karna aku sudah menghancurkanmu?" Pekiknya. "Aku memang marah! tapi aku nggak pernah menggoda suamimu. Sekarang aku mau tanya. Kenapa kamu sebenci, dan sedendam itu denganku?" Ucap Atika."Kamu mau tau kenapa Saya, dan keluarga saya membencimu?" Tiba-tiba Dela menyahut d
"Ibuk jadikan kerunah Dara?" Tanya Rasti. Ia Baru saja selesai dari pekerjaannya."Jadi. Kamu antar saya kesana ya!" Atika segera bersiap-siap. Mereka berjalan kaki. Karna Atika memang belum ada kendaraan. "Dirumah Dara ada siapa saja?" Tanya Atika basa-basi."Ada suami, dan ibu mertuanya saja sih Bu!" "Selain jalan ini ada jalan potongan lain nggak?" Tanya Atika lagi.Rasti agak binggung, dengan pertanyaan Atika sebenarnya. Seperti ada yang aneh."Nggak ada buk! inj jalan satu-satunya, menuju desa kami.""Begitu!" Atika terus ikut berjalan mengikuti langkah Rasti. Sampai disebuah persimpangan mereka bertemu, dengan suami Dara."Mas, Daranya dirumah ya?" Tanya Rasti."Ada dirumah. Dia mau lahiran, dan ini Mas, disuruh menjemput dukun bayi," Jawab Agus, suami Dara."Ini, Mas. Ibu ini bos kami dikerjaan. Ibu ini mau menjenguk Dara." Ucap Rasti."Ohh, kalau begitu kamu antarkan saja. Ma, mau mnyusul dukun beranak dulu." Ucap Agus. Merekapun langsung melanjutkan perjalanannya. Sampai me
"Kamu mau kemana?" Tanya Atika, saat Agus ingin masuk kedalam ruangan dimana Dara akan bersalin."Mau kedalam bu!" Jawab Agus."Kamu disini saja. Biarkan istrimu melahirkan sendiri didalam. Takutnya nanti malah nggak konsentrasi," Ucap Atika. Agus merasa aneh, saat Atika bilang seperti itu. Padahal ia hanya ingin menemani Dara istrinya, yang sedang bertaruh nyawa."Tapi saya mau menemani istri saya,""Istri kamu nggak akan kenapa-kenapa. Dia sudah ada bidan, yang menangani." Ucap Atika.Agus, hanya terdiam. Ia hanya mondar-mandir didepan pintu ruangan. Suara rintihan, serta jeritan Dara mulai terdengar, mungkin Dara akan segera lahiran.Beberapa saat menunggu, bayi dara telah lahir, dengan berjenis kelamin laki-laki. " Saya mau masuk dulu." Ucap Agus."Jangan dulu! Tunggu disini. Saya dulu, yang akan masuk," Cegah Atika."Tapi, saya mau lihat anak saya," Agus semakin dibuat binggung."Saya ada perlu sebentar," Ucap Atika lagi. Ia segera masuk kedalam, dan menanyakan soal, ari-ari it
"Mulai hari ini kamu saya pecat," Ucap Atika kepada Dara, yang masih terbaring diruang persalinan. Atika sengaja datang lagi, dan mengatakan hal mengejutkan itu, kepada Dara."Tapi buk! kenapa saya dipecat?" Seketika mata Dara membulat. Ia tidak habis fikir kenapa sampai dipecat, oleh Atika. Padahal sama sekali ia tidak pernah membuat kesalahan."Saya cuma nggak mau nanti setelah suamimu tau, dan kalaupun ada apa-apa dengan anakmu kamu malah menyalahkan saya." Ketus Atika sombong. Wajah Atika terlihat serius dan, sedang tidak bercanda. Ia memang tidak ingin lagi berurusan dengan Dara, atupun Suaminya."Tapi buk! saya kan sudah melakukan apa, yang ibu minta. Kenapa ibu bisa memecat saya? apa nggak bisa saya ibu pertahankan? saya masih butuh pekerjaan itu Bu!" Lirih Dara. Wajahnya terlihat kecewa, dan khawatir. Tidak disangka ternyata ia telah dijebak, oleh Atika."Kamu nggak bisa mengatur saya! Ingat ya kamu itu sudah saya kasih uang banyak. Dan ari-ari anakmu itu nggak berarti apa-ap