Share

42. Pengakuan Abah

Aku menghela napas panjang. Jadi di rumah sudah ada pembantu? Entah kenapa aku rasanya tak rela kalau harus kembali ke rumah itu. Berkumpul dengan Mas Andra dan juga Mama, sudah tak lagi menjadi prioritasku saat ini.

Kira-kira seperti apa pembantu yang ada di rumah sekarang? Apakah rajin dan telaten? Apakah bisa dipercaya dan jujur? Huft. Kupandangi wajah Fadil yang sudah tertidur pulas. Dadanya naik turun dengan teratur. Untungnya dia tak lagi merasakan nyeri dada. Beberapa hari ke depan ia harus kontrol ulang serta melepas jahitan di kepala.

Aku beranjak turun dari ranjang. Meskipun merasa lelah, mata tak ingin diajak kerjasama untuk terpejam. Terdengar suara Abah dan Umi masih mengobrol di ruang keluarga. Aku mendekat, lantas membaringkan kepala di pangkuan Umi.

“Umi sama Abah ngomongin apa?” tanyaku sambil melihat ke arah TV.

“Abah besok mau lihat-lihat sapi di tempat Juragan Toyib, Nai,” ujar Abah mantap.

“Gak usah beli yang terlalu mahal, Bah. Soalnya Naira belum bisa bantu uang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Dia pengennya mereka ndak drg bkn berharap dtg
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status