"Lha sudah sepantasnya to." Budhe Tinah melirik ke arah ibu. "Kamu sudah jenguk Bima to, Bu Endang?""Em... itu anu."Ibu terlihat gelagapan. Mendadak butiran kristal memenuhi kening dan mungkin sekujur tubuhnya. Nah, bingung kan, Bu mau jawab apa? Malu jika semua orang tahu bagaimana sikap ibu padaku? Jangankan menjenguk, aku meminjam uang untuk membayar biaya rumah sakit saja ibu tak mau memberi. "Jangan-jangan kamu belum jenguk Bima, ya?""Sudah kok." Ibu melirik ke arahku. "Iya, kan Rat? Kemarin ibu dari rumahmu?"Aku mencebik, bisa-bisanya ibu berkata demikian. Aku lupa, ibu hanya ingin nama baiknya tak tercoret meski kenyataan berkata lain. "Ini kembaliannya, Mbak."Aku bernapas lega. Kedatangan penjual ayam bagai angin di bawah terik mentari. Akhirnya aku terbebas dari pertanyaan yang penuh dengan jebakan. "Saya pulang dulu, Bu, Budhe," ucapku setelah mendapatkan uang kembalian. Segera aku melangkah meninggalkan mereka. Setelah selesai berbelanja aku segera pulang. Motor ke
"Terima kasih sudah meminjamkan uang untuk biaya rumah sakit tempo hari. Saya berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya, Bu.""Uang untuk biaya rumah sakit?""Iya, kata Ratna ibu yang meminjamkan uang."Ibu menatap ke arahku. Sejuta pertanyaan nampak jelas di sorot netranya. Aku mengedipkan mata, berharap kali ini ibu mengatakan iya. Ya... kali ini saja aku berharap dia mau membantuku. Selama ini bisa dihitung dengan jari ibu membantuku. Hanya bapak yang ada saat aku membutuhkan. Lainnya hanya mengganggapku beban. Kenyataannya memang benar, aku beban untuk mereka. "Eh... iya, Bim. Ibu kok lupa. Ibu yang meminjamkan uangnya. Pakai saja dulu, gak masalah kok."Seketika aku dapat bernapas lega. Meski ada kekecewaan dengan sikap ibu. Dia membanggakan apa yang sebenarnya tak ia lakukan. Tak ingatkan dia dengan penolakan dan pengusiran beberapa hari yang lalu. "Sekali lagi terima kasih, Bu."Ibu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah cukup puas berbincang dengan M
"Selingkuh?""Iya, kamu selingkuh, kan? Dari mana kamu mendapatkan uang banyak? Aku tadi ke rumah ibu, aku tidak sengaja mendengar dia berbicara dengan Mbak Dita di telepon. Dia bilang tidak pernah meminjamkan uang padamu."Aku menghirup oksigen lalu menghembuskannya perlahan. Sekuat tenaga aku atur emosi agar tak semakin tersulut dan menghancurkan segalanya. Selingkuh... bisa-bisanya dia menuduhku menduakan cintanya? "Apa benar, kamu memiliki pria idaman lain dan uang yang kamu gunakan untuk membayar rumah sakit itu dari dia?""Aku gak pernah selingkuh, Mas. Gak pernah!" "Lalu dari siapa uang itu, Ratna? Kenapa teman Mas melihat kamu berbicara dengan seorang lelaki di dekat warung Bu Arini?""Kamu ingin tahu siapa dia, Mas? Dia itu ayah kamu. Ayah kandung kamu, Mas Bima. Dia datang kemari untuk mendengar kabar tentang kamu. Dan uang yang aku gunakan ... uang itu dari ayah kamu, Mas!"Lepas semua beban yang menempel di pundak beberapa bulan ini. Memang lebih baik berkata jujur mesk
Aku menggeleng pelan setelah membaca pesan dari Mbak Dita. Entah apa alasan hingga ia begitu membenciku? Hingga selalu mendoakan hal buruk atas apa yang kami capai. Sejak ia masuk ke dalam keluarga kami, tak sekali pun Mbak Dita menganggapku ada. Dia hanya memanggilku saat membutuhkan tenagaku, selebihnya dia hanya membisu. Aku tak heran dan sadar diri, di dunia ini bukan persaudaraan yang dicari, melainkan banyaknya materi. "Udah salat belum, Dek?"Aku menoleh, menatap lelaki yang kini berdiri di mulut pintu. Seketika kenangan bersama mbak Dita lenyap begitu saja. "Eh, belum, Mas." Aku letakkan ponsel di atas meja. "Lihat apa sih? Kok sampai lupa belum salat ashar?" Mas Bima mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia menghela napas ketika membaca pesan dari Mbak Dita. Aku memang belum keluar dari aplikasi berwarna hijau itu, ponsel hanya kututup. "Mikirin omongan Mbak Dita?" tanyanya seraya menatap lekat netra ini. "Motornya dikembaliin ke ayah saja kalau begitu.""Jang
"Atas bukti apa, Bapak menuduh istri saya?" tanya Mas Bima penuh penekanan. Aku tahu, dia tengah berusaha menahan gejolak amarah dalam dada. "Kalau bukan Ratna siapa lagi? Hanya dia yang ada di rumah tadi?""Anda yakin jika kehilangan jam tangan hari ini? Bukan kemarin atau lusa?"Lelaki yang duduk di samping Bu Susan itu terdiam. Pasti dia tengah berpikir sejak kapan ia kehilangan benda berharga itu. "Papa yakin menaruhnya di laci? Jangan-jangan gak papa bawa pulang lagi?""Papa ingat kok, Ma. Em... aku taruh di laci.""Coba diingat-ingat lagi, Pa. Gak baik menuduh orang tanpa bukti."Suami Bu Susan kembali diam. Lagi-lagi dia berusaha mengingat benda penting yang menjadi perdebatan. "Papa yakin, Ma. Ada di dalam laci kok.""Sudah dicari di rumah, Bu? Barang kali terjatuh atau lupa menaruhnya." Aku mencoba memberi usul. Karena aku sendiri tak pernah melihat benda mahal yang baru saja lelaki itu katakan. Bagaimana aku mengambil jika barangnya saja tidak tahu. Tuduhan itu benar-ben
"Pa! Papa!" pekik Dita seraya berlari menuju teras. Perempuan yang mengenakan setelan rayon itu tengah mencari suaminya. Dia hendak memberikan kabar bahagia untuk mereka. Dia menoleh kanan dan kiri. Namun lelaki yang ia cari belum jua ia temukan. "Di mana sih?" Dita menghentakkan kaki, kesal karena tak menemukan seseorang yang dicari. "Papa!" panggil Dita untuk kesekian kalinya. Namun lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena Seno tak jua mendengar panggilannya. Dita melangkah meninggalkan teras depan. Sembari memanggil nama Seno, ia berjalan menuju teras belakang. Dia berharap dapat menemukan suaminya di sana. Perempuan itu tak sabar untuk menceritakan kabar bahagia pada suaminya. "Ya ampun, dari tadi aku manggil, tapi kamu gak denger?" Dita menyilangkan kedua tangan di dada. Netranya menetap tajam lelaki yang tengah duduk sambil membaca koran. Seno memang lebih menyukai membaca koran dari pada berselancar di media sosial. Baginya membaca koran sambil menikmati segelas kopi
"Ratna, ngapain kamu ke sini? Jadi pelayan kamu?" tanya Dita dengan mata menata tajam ke arahku. "Bu Dita, kenal dengan menantu saya?"Seketika kami menoleh ke arah yang sama. Ayah melangkah mendekat dengan senyum yang tak pernah pudar. Ya, semenjak kami tinggal di sini, ayah terlihat bahagia. Tidak ada sorot kekecewaan yang pernah nampak di netranya. "Me--menantu, maksud Bapak bagaimana ya?" tanya Mbak Dita terbata. Raut wajah kakak iparku mendadak pucat. Keangkuhan yang sejak tadi nampak hilang dalam sekejap. Kini hanya tersisa ketakutan. "Bima itu anak kandung saya. Dan Ratna menantu saya.""A--apa!"Mbak Dita terdiam seketika. Dia terus menatapku dan Mas Bima bergantian. Seolah tak percaya dengan ucapan ayah. "Bapak yakin? Setahu saya Bima itu yatim piatu?""Yakin. Itu hanya kesalahpahaman saja.""Pa ...." Mbak Dita menarik tangan Mas Seno yang sedari diam membisu. "Kenapa jadi begini?" Mas Seno diam, hanya gelengan kepala yang menggambarkan jawaban dari pertanyaan itu. Mbak
Aku melirik benda bulat yang menempel di diding, masih pukul empat sore. Aku beranjak, melangkah perlahan menuju dapur. Sebuah dapur sederhana yang terletak tak jauh dari kamar mandi. Bukan dapur dengan berbagai jenis perabot yang ada. Namun hanya kompor dan beberapa alat masak. Itu pun sudah tak layak pakai. Segera kuambil sebuah tempe yang ada di atas meja. Tempe dengan bungkus plastik yang akan menemani buka puasa hari ini. Sesaat kutatap tempe itu, tak terasa sesak memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak sedih jika kami hanya berbuka dengan lauk seadanya. Jangankan kolak, kami berbuka hanya dengan nasi dan tempe goreng saja. Bukan aku pelit atau perhitungan. Namun uang yang diberikan Mas Bima tak cukup untuk membeli ayam apa lagi kurma. Sesak memang tapi itu kenyataan yang harus aku jalani. Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tepis rasa iri yang sempat menyelimuti hati. Harusnya aku bersyukur karena bisa makan dua kali sehari meski hanya dengan lauk seada