"Atas bukti apa, Bapak menuduh istri saya?" tanya Mas Bima penuh penekanan. Aku tahu, dia tengah berusaha menahan gejolak amarah dalam dada. "Kalau bukan Ratna siapa lagi? Hanya dia yang ada di rumah tadi?""Anda yakin jika kehilangan jam tangan hari ini? Bukan kemarin atau lusa?"Lelaki yang duduk di samping Bu Susan itu terdiam. Pasti dia tengah berpikir sejak kapan ia kehilangan benda berharga itu. "Papa yakin menaruhnya di laci? Jangan-jangan gak papa bawa pulang lagi?""Papa ingat kok, Ma. Em... aku taruh di laci.""Coba diingat-ingat lagi, Pa. Gak baik menuduh orang tanpa bukti."Suami Bu Susan kembali diam. Lagi-lagi dia berusaha mengingat benda penting yang menjadi perdebatan. "Papa yakin, Ma. Ada di dalam laci kok.""Sudah dicari di rumah, Bu? Barang kali terjatuh atau lupa menaruhnya." Aku mencoba memberi usul. Karena aku sendiri tak pernah melihat benda mahal yang baru saja lelaki itu katakan. Bagaimana aku mengambil jika barangnya saja tidak tahu. Tuduhan itu benar-ben
"Pa! Papa!" pekik Dita seraya berlari menuju teras. Perempuan yang mengenakan setelan rayon itu tengah mencari suaminya. Dia hendak memberikan kabar bahagia untuk mereka. Dia menoleh kanan dan kiri. Namun lelaki yang ia cari belum jua ia temukan. "Di mana sih?" Dita menghentakkan kaki, kesal karena tak menemukan seseorang yang dicari. "Papa!" panggil Dita untuk kesekian kalinya. Namun lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan karena Seno tak jua mendengar panggilannya. Dita melangkah meninggalkan teras depan. Sembari memanggil nama Seno, ia berjalan menuju teras belakang. Dia berharap dapat menemukan suaminya di sana. Perempuan itu tak sabar untuk menceritakan kabar bahagia pada suaminya. "Ya ampun, dari tadi aku manggil, tapi kamu gak denger?" Dita menyilangkan kedua tangan di dada. Netranya menetap tajam lelaki yang tengah duduk sambil membaca koran. Seno memang lebih menyukai membaca koran dari pada berselancar di media sosial. Baginya membaca koran sambil menikmati segelas kopi
"Ratna, ngapain kamu ke sini? Jadi pelayan kamu?" tanya Dita dengan mata menata tajam ke arahku. "Bu Dita, kenal dengan menantu saya?"Seketika kami menoleh ke arah yang sama. Ayah melangkah mendekat dengan senyum yang tak pernah pudar. Ya, semenjak kami tinggal di sini, ayah terlihat bahagia. Tidak ada sorot kekecewaan yang pernah nampak di netranya. "Me--menantu, maksud Bapak bagaimana ya?" tanya Mbak Dita terbata. Raut wajah kakak iparku mendadak pucat. Keangkuhan yang sejak tadi nampak hilang dalam sekejap. Kini hanya tersisa ketakutan. "Bima itu anak kandung saya. Dan Ratna menantu saya.""A--apa!"Mbak Dita terdiam seketika. Dia terus menatapku dan Mas Bima bergantian. Seolah tak percaya dengan ucapan ayah. "Bapak yakin? Setahu saya Bima itu yatim piatu?""Yakin. Itu hanya kesalahpahaman saja.""Pa ...." Mbak Dita menarik tangan Mas Seno yang sedari diam membisu. "Kenapa jadi begini?" Mas Seno diam, hanya gelengan kepala yang menggambarkan jawaban dari pertanyaan itu. Mbak
Aku melirik benda bulat yang menempel di diding, masih pukul empat sore. Aku beranjak, melangkah perlahan menuju dapur. Sebuah dapur sederhana yang terletak tak jauh dari kamar mandi. Bukan dapur dengan berbagai jenis perabot yang ada. Namun hanya kompor dan beberapa alat masak. Itu pun sudah tak layak pakai. Segera kuambil sebuah tempe yang ada di atas meja. Tempe dengan bungkus plastik yang akan menemani buka puasa hari ini. Sesaat kutatap tempe itu, tak terasa sesak memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak sedih jika kami hanya berbuka dengan lauk seadanya. Jangankan kolak, kami berbuka hanya dengan nasi dan tempe goreng saja. Bukan aku pelit atau perhitungan. Namun uang yang diberikan Mas Bima tak cukup untuk membeli ayam apa lagi kurma. Sesak memang tapi itu kenyataan yang harus aku jalani. Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tepis rasa iri yang sempat menyelimuti hati. Harusnya aku bersyukur karena bisa makan dua kali sehari meski hanya dengan lauk seada
"Coba lihat, Rat!" Mbak Dita menarik tanganku hingga kantung plastik yang aku genggam terlepas. Jatuh semua isinya di lantai. Untung saja gula masih utuh meski terbentur dengan lantai keramik. "Nah bener, kan, Pa." Mbak Dita tersenyum sinis. Tatapan mengejek ia layangkan padaku. Aku tahan air mata yang hendak berseluncur bebas lalu mendarat di pipi. Biarlah mereka berbicara sesuka hati. Toh memang benar hanya gula dan teh yang mampu kuberikan untuk ibu. Aku mengambil satu persatu isi kantung plastik dan meletakkannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan hempers pemberian Mas Seno dan Mas Jaka. Langkah tanganku seketika berhenti kala melihat tiga hempers untuk ibuku. Dari sini aku paham, hanya aku yang tidak mampu memberikan hantaran lebaran terbaik. Aku anak yang belum bisa membahagiakan orang tua. "Kenapa, Rat? Baru sadar jika hantaran lebaran kamu yang terburuk? Harusnya sebagai anak perempuan satu-satunya kamu bisa memberi lebih baik, Ratna."Aku membisu, perkataan Mbak Di
"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku. "Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu. "Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno. "Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku. "Ayo, Mas!"Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terla
Krucuk ... Krucuk.... "Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami? "Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu.""Iya, Budhe," jawabku datar. Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada. "Dimakan dulu, Rat."Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang. "Budhe mau bi
"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?""Memalukan kamu, Rat!"Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri.""Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik