Share

bab 2

"Coba lihat, Rat!"

Mbak Dita menarik tanganku hingga kantung plastik yang aku genggam terlepas. Jatuh semua isinya di lantai. Untung saja gula masih utuh meski terbentur dengan lantai keramik.

"Nah bener, kan, Pa." Mbak Dita tersenyum sinis. Tatapan mengejek ia layangkan padaku.

Aku tahan air mata yang hendak berseluncur bebas lalu mendarat di pipi. Biarlah mereka berbicara sesuka hati. Toh memang benar hanya gula dan teh yang mampu kuberikan untuk ibu.

Aku mengambil satu persatu isi kantung plastik dan meletakkannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan hempers pemberian Mas Seno dan Mas Jaka. Langkah tanganku seketika berhenti kala melihat tiga hempers untuk ibuku.

Dari sini aku paham, hanya aku yang tidak mampu memberikan hantaran lebaran terbaik. Aku anak yang belum bisa membahagiakan orang tua.

"Kenapa, Rat? Baru sadar jika hantaran lebaran kamu yang terburuk? Harusnya sebagai anak perempuan satu-satunya kamu bisa memberi lebih baik, Ratna."

Aku membisu, perkataan Mbak Dita menampar telak diri ini. Sungguh aku tak sanggup memberikan yang terbaik.

"Ayo, Rat!"

Mas Bima mengangkat tubuhku, mengajakku duduk di kursi kayu dekat pintu. Dia mengelus pundak, mengatakan sabar berulang kali.

Aku mengangguk, meski batin remuk, tak berbentuk. Aku tak menyangka keluargaku sendiri yang menghina kami.

Apa kuli bangunan dan buruh cuci begitu hina di mata mereka?

Aku dan kedua kakakku memang berbeda. Dari dulu ibu selalu mementingkan mereka dibandingkan aku. Entah apa alasannya hingga ibu membedakan kasih sayangnya.

Baik Mas Seno dan Mas Jaka disekolahkan hingga sarjana. Sedangkan diriku hanya tamat SMA. Ibu bilang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena pekerjaannya hanya di rumah. Bukan seperti anak lelaki yang harus dituntut bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Ah, jangankan masalah sekolah. Masalah makan pun ibu sering kali membedakan. Entah aku ini anak kandung atau bukan?

"Kamu sudah datang, Rat?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Perempuan paruh baya itu melangkah seraya membawa nampan berisi lima gelas minuman berwarna merah.

"Kamu buat sendiri ya, Rat. Ibu gak tahu kalau kamu sudah datang."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Baru beberapa detik aku mengatakan dalam hati. Namun kini kalimat itu kembali terbukti, aku selalu dibedakan dari anak ibu yang lain.

"Itu yang kantung kresek dari kamu, Rat?" Ibu menunjuk kantung kresek berwarna hitam yang berjajar dengan parcel mewah milik Mas Seno dan Mas Jaka.

Ada yang berdenyut kala mendengar ibu mengatakan hal tersebut. Dari nada bicaranya, aku paham ... ibu tak menyukai hantaran lebaran yang aku berikan. Beginikah nasib anak yang tak pernah dianggap? Jangankan dipuji dan disuguhkan minuman, ucapan terima kasih saja tidak kudengar keluar dari bibir ibu.

"Aku buatkan minum dulu, Mas."

"Nanti dulu minumnya, Rat. Kita minta maaf dulu sama ibu. Kita kemari intinya untuk meminta maaf, kan? Bukan numpang makan apalagi gaya-gayaan," ucap Mas Bima.

"Siapa yang gaya-gayaan, Bim? Bilang saja kamu gak mampu belikan ibu parcel lebaran yang bagus. Kami tu gak gaya, tapi buktiin dengan nyata," jawab Mas Seno yang tersulut emosi mendengar perkataan suamiku.

Aku tahu Mas Bima tak bermaksud menyindir saudaraku. Tidak ada orang yang terus diam saja saat diinjak harga dirinya, termasuk suamiku.

Bertahun-tahun kami hanya diam ketika hinaan dan makian terdengar di telinga. Kami sadar ucapan mereka benar, aku tak mampu memberikan yang terbaik untuk perempuan bergelar ibu.

Aku dan Mas Bima menyalami ibu dan keempat saudaraku bergantian. Kami meminta maaf jika tanpa sengaja melakukan kesalahan. Namun bukannya senyuman yang kami dapatkan. Melainkan sebuah cacian karena kami dianggap mempermalukan keluarga.

Lebaran adalah momen yang tepat untuk saling memaafkan. Bukan justru menghina dan merendahkan.

"Kalian kapan kaya? Gak malu, selalu membuat ibu dan saudaramu menjadi terhina?"

Perih, teramat perih kata yang terdengar dari mulut kakak iparku. Ternyata aku tak lebih dari sampah di hadapan mereka. Harta lebih berarti dari darah yang mengalir di tubuh yang sama.

"Kita pulang yuk, Mas. Percuma datang kemari jika akhirnya kita tidak dihargai."

Aku melangkah mendekati Maa Bima. Aku tarik tangannya hingga ia beranjak dari kursi yang baru saja dia duduki. Untuk apa berlama-lama berada di rumah orang yang tidak menghargai cerih payah kami.

Mas Bima menghentikan langkah tepat di mulut pintu. "Katanya kamu rindu rumah, Dek? Mas gak papa kalau kamu masih mau di sini?"

"Enggak, Mas. Ini bukan lagi rumah yang aku rindukan. Rumah yang aku rindukan adalah tempat kita berteduh, bukan di sini."

Sejak bapak meninggal 1 tahun lalu. Rumah ini bukan lagi menjadi rumah yang kurindukan. Dulu hanya bapak yang selalu membelaku, lainnya hanya membisu dan mencaci sesuka hati. Apalagi yang harus aku rindukan? Tidak ada ... di sini aku hanya terluka.

"Jangan sombong kamu, Rat! Rumah kamu tidak lebih bagus dari gudang rumahku."

"Ayo pulang, Mas!" Aku tarik tangan suamiku.

"Tunggu, Ratna!" teriak ibu menghentikan langkah kaki kami. Kami pun menoleh ke belakang, menatap segerombolan orang yang tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status