"Coba lihat, Rat!"
Mbak Dita menarik tanganku hingga kantung plastik yang aku genggam terlepas. Jatuh semua isinya di lantai. Untung saja gula masih utuh meski terbentur dengan lantai keramik. "Nah bener, kan, Pa." Mbak Dita tersenyum sinis. Tatapan mengejek ia layangkan padaku. Aku tahan air mata yang hendak berseluncur bebas lalu mendarat di pipi. Biarlah mereka berbicara sesuka hati. Toh memang benar hanya gula dan teh yang mampu kuberikan untuk ibu. Aku mengambil satu persatu isi kantung plastik dan meletakkannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan hempers pemberian Mas Seno dan Mas Jaka. Langkah tanganku seketika berhenti kala melihat tiga hempers untuk ibuku. Dari sini aku paham, hanya aku yang tidak mampu memberikan hantaran lebaran terbaik. Aku anak yang belum bisa membahagiakan orang tua. "Kenapa, Rat? Baru sadar jika hantaran lebaran kamu yang terburuk? Harusnya sebagai anak perempuan satu-satunya kamu bisa memberi lebih baik, Ratna." Aku membisu, perkataan Mbak Dita menampar telak diri ini. Sungguh aku tak sanggup memberikan yang terbaik. "Ayo, Rat!" Mas Bima mengangkat tubuhku, mengajakku duduk di kursi kayu dekat pintu. Dia mengelus pundak, mengatakan sabar berulang kali. Aku mengangguk, meski batin remuk, tak berbentuk. Aku tak menyangka keluargaku sendiri yang menghina kami. Apa kuli bangunan dan buruh cuci begitu hina di mata mereka? Aku dan kedua kakakku memang berbeda. Dari dulu ibu selalu mementingkan mereka dibandingkan aku. Entah apa alasannya hingga ibu membedakan kasih sayangnya. Baik Mas Seno dan Mas Jaka disekolahkan hingga sarjana. Sedangkan diriku hanya tamat SMA. Ibu bilang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena pekerjaannya hanya di rumah. Bukan seperti anak lelaki yang harus dituntut bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ah, jangankan masalah sekolah. Masalah makan pun ibu sering kali membedakan. Entah aku ini anak kandung atau bukan? "Kamu sudah datang, Rat?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Perempuan paruh baya itu melangkah seraya membawa nampan berisi lima gelas minuman berwarna merah. "Kamu buat sendiri ya, Rat. Ibu gak tahu kalau kamu sudah datang." Aku menelan ludah dengan susah payah. Baru beberapa detik aku mengatakan dalam hati. Namun kini kalimat itu kembali terbukti, aku selalu dibedakan dari anak ibu yang lain. "Itu yang kantung kresek dari kamu, Rat?" Ibu menunjuk kantung kresek berwarna hitam yang berjajar dengan parcel mewah milik Mas Seno dan Mas Jaka. Ada yang berdenyut kala mendengar ibu mengatakan hal tersebut. Dari nada bicaranya, aku paham ... ibu tak menyukai hantaran lebaran yang aku berikan. Beginikah nasib anak yang tak pernah dianggap? Jangankan dipuji dan disuguhkan minuman, ucapan terima kasih saja tidak kudengar keluar dari bibir ibu. "Aku buatkan minum dulu, Mas." "Nanti dulu minumnya, Rat. Kita minta maaf dulu sama ibu. Kita kemari intinya untuk meminta maaf, kan? Bukan numpang makan apalagi gaya-gayaan," ucap Mas Bima. "Siapa yang gaya-gayaan, Bim? Bilang saja kamu gak mampu belikan ibu parcel lebaran yang bagus. Kami tu gak gaya, tapi buktiin dengan nyata," jawab Mas Seno yang tersulut emosi mendengar perkataan suamiku. Aku tahu Mas Bima tak bermaksud menyindir saudaraku. Tidak ada orang yang terus diam saja saat diinjak harga dirinya, termasuk suamiku. Bertahun-tahun kami hanya diam ketika hinaan dan makian terdengar di telinga. Kami sadar ucapan mereka benar, aku tak mampu memberikan yang terbaik untuk perempuan bergelar ibu. Aku dan Mas Bima menyalami ibu dan keempat saudaraku bergantian. Kami meminta maaf jika tanpa sengaja melakukan kesalahan. Namun bukannya senyuman yang kami dapatkan. Melainkan sebuah cacian karena kami dianggap mempermalukan keluarga. Lebaran adalah momen yang tepat untuk saling memaafkan. Bukan justru menghina dan merendahkan. "Kalian kapan kaya? Gak malu, selalu membuat ibu dan saudaramu menjadi terhina?" Perih, teramat perih kata yang terdengar dari mulut kakak iparku. Ternyata aku tak lebih dari sampah di hadapan mereka. Harta lebih berarti dari darah yang mengalir di tubuh yang sama. "Kita pulang yuk, Mas. Percuma datang kemari jika akhirnya kita tidak dihargai." Aku melangkah mendekati Maa Bima. Aku tarik tangannya hingga ia beranjak dari kursi yang baru saja dia duduki. Untuk apa berlama-lama berada di rumah orang yang tidak menghargai cerih payah kami. Mas Bima menghentikan langkah tepat di mulut pintu. "Katanya kamu rindu rumah, Dek? Mas gak papa kalau kamu masih mau di sini?" "Enggak, Mas. Ini bukan lagi rumah yang aku rindukan. Rumah yang aku rindukan adalah tempat kita berteduh, bukan di sini." Sejak bapak meninggal 1 tahun lalu. Rumah ini bukan lagi menjadi rumah yang kurindukan. Dulu hanya bapak yang selalu membelaku, lainnya hanya membisu dan mencaci sesuka hati. Apalagi yang harus aku rindukan? Tidak ada ... di sini aku hanya terluka. "Jangan sombong kamu, Rat! Rumah kamu tidak lebih bagus dari gudang rumahku." "Ayo pulang, Mas!" Aku tarik tangan suamiku. "Tunggu, Ratna!" teriak ibu menghentikan langkah kaki kami. Kami pun menoleh ke belakang, menatap segerombolan orang yang tersenyum penuh kemenangan. "Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya.""Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku. "Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu. "Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno. "Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku. "Ayo, Mas!"Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terla
Krucuk ... Krucuk.... "Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami? "Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu.""Iya, Budhe," jawabku datar. Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada. "Dimakan dulu, Rat."Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang. "Budhe mau bi
"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?""Memalukan kamu, Rat!"Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri.""Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik
Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi. Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi. "Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya. Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan. Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas.""Maaf ya, Dek."Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?""Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi
"Saudara saya akan menikah, Bu. Kalau boleh gaji minggu depan dibayar diawal."Aku menunduk seraya meremas jemari, sekuat tenaga menahan rasa takut yang sejak tadi menelusup dalam rongga dada. Ini kali pertama aku meminta hak sebelum menjalankan kewajiban. Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku bahkan merasa tak memiliki muka. "Owalah, itu to Mbak.""I--iya, Bu.""Boleh kok, Mbak."Aku mendongak, menatap lengkungan indah di bibir majikanku. Ternyata Bu Susan tak marah seperti yang kubayangkan sejak tadi pagi.Aku mendekat. "Makasih ya, Bu.""Iya sama-sama. Kamu boleh pulang, Mbak ... kasihan suami kamu sudah menunggu sejak tadi.""Makasih,Bu. Saya pamit pulang." Aku membalikkan badan, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu."Mbak Ratna tunggu!"Aku menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga dapat melihat Bu Susan yang tengah mengambil sebuah kantung plastik di atas meja. "Ini untuk kamu.""Makasih, Bu."Seketika bibir melengkung ke atas. Hari ini Al
"Jelas beda to yo. Seno dan Jaka itu anak kandung Bu Endang. Kalau Ratna kan bukan."DEG! Dalam sekejap jantung ini seolah berhenti berdetak. Perkataan orang-orang bagai ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Bagaimana mungkin aku ini anak angkat. Tidak ... tidak, mereka pasti salah bicara. Aku juga anak kandung bapak dan ibu, toh wajahku mirip bapak. "Yang bener?""Ini sudah menjadi rahasia umum kalau Ratna bukan anak kandung Bu Endang. "Lalu Ratna anak siapa?" tanya sorang perempuan yang tengah memotong kubis. Aku diam seraya menahan sesuatu yang bergemuruh dalam rongga dada. Di sini aku mempertajam indra pendengaran. Aku ingin mengetahui kenyataan yang ada. Entah sepahit apa nanti, aku tak lagi peduli. Bukankah hidupku sudah teramat pahit? "Lho, Mbak Ratna kenapa berdiri di situ? Ayo ke sana!"Seketika semua orang menatap ke arahku. Mereka membisu. Hilang sudah kalimat hinaan yang sedari tadi terlontar untukku. Sialnya ... aku menjadi tak tahu kenyataan ini, siapa diriku seben
"Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku
"Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan