Share

bab 3

"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."

Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah.

Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku.

"Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu.

"Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno.

"Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku.

"Ayo, Mas!"

Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terlalu antik. Dia pun menyalakan motor tersebut. Namun hingga peluh membanjiri kening motor kami tak dapat menyala.

"Gimana, Bim? Gak bisa ya?" sindir Mas Jaka. Kakak keduaku itu melangkah mendekat ke arah kami.

"Sepertinya mogok lagi, Dek."

Aku tidak heran jika kendaraan roda dua ini berhenti begitu saja. Ini bukan kali pertama si biru merajuk. Terkadang masalah busi, ban bocor atau kehabisan bensin. Namanya motor tua, ada saja masalahnya.

"Makannya beli motor baru, Bim. Kalau bisa beli mobil."

"Aamiin, Mas. Makasih doa-nya. Siapa tahu kami segera membeli mobil."

"Kalau ngimpi mah jangan ketinggian, Bim. Nanti kalau jatuh sakit rasanya."

Aku dan Mas Bima hanya diam. Kami enggan menanggapi sindiran kakakku. Terlalu melelahkan jika beradu mulut dengan mereka. Mereka hanya bisa berbicara tanpa mengerti penderitaan yang kami rasakan.

"Sudah ayo, Dek! Kita tuntun saja motornya."

Aku mengangguk lalu melangkah di samping kiri Mas Bima. Kami berjalan beriringan meninggalkan halaman rumah ibu.

"Dibantu dorong gak nih!"

Tawa menggema di rumah itu. Mereka begitu bahagia saat kami ditimpa musibah. Seperti itukah arti sebuah keluarga?

"Kenapa mengerucut begitu, Dek? Itu bibir, kan ... bukan tutup dandang?" ledek Mas Bima. Lelaki yang telah hidup bersamaku selama 2 tahun ini tersenyum tipis. Dia berusaha menghibur saat amarah sudah memenuhi rongga dada.

"Mas gak kesel atau marah dengan hinaan keluargaku? Mereka keterlaluan, Mas!" Aku menyilangkan kedua tangan di dada. Bayang mereka tertawa puas kembali menari di pelupuk mata .

Entah apa kesalahanku hingga mereka memperlakukan kami serendah itu. Aku kira darah lebih kuat dari segalanya. Rupanya aku salah, harta dan tahta jauh lebih utama dari ikatan apa pun.

"Marah tentu, Dek. Siapa yang tidak marah jika harga dirinya diinjak-injak. Namun apa marah dapat membuat mereka sadar atas perbuatan mereka?" Mas Bima diam, dia kembali menatap diriku lekat. Sebuah tatapan yang mampu menyihirku.

"Iya Mas, tapi kan kesel."

Mas Bima mengalihkan pandangan, menatap depan sambil terus menuntun sepeda motornya. Ada sendu yang nampak di sana. Entah karena apa, aku tak tahu apa yang ia pikirkan kini. Karena suamiku tidak pernah menceritakan keluh kesahnya.

"Ayo jalan lagi, Dek. Keburu panas ini."

Kami berjalan perlahan sambil berbincang. Sepanjang kaki melangkah kulihat orang-orang berkumpul di rumah sanak saudara. Mereka tertawa bahagia di hari penuh kemenangan ini. Namun lihatlah, kebahagiaan itu tidak menyelimuti kami. Nyatanya justru keluarga yang menghina keterbatasan kami.

Tidak ada orang yang mau hidup susah, begitu pula kami. Hanya satu yang membuatku kesal, kenapa aku selalu dibedakan dan dikucilkan.

"Ratna ... Bima, mampir sini!" teriak seorang perempuan yang suaranya sangat familiar di telingaku.

Tanpa dikomando aku dan Mas Bima berhenti bersamaan. Kami menoleh ke sebuah rumah di kanan jalan. Seorang perempuan paruh baya melambaikan tangan ke arah kami. Kami membalikkan badan, menyeberang jalan kemudian berhenti di rumah Budhe Salimah. Dia adalah sepupu bapak.

"Motornya kenapa kok dituntun, Rat?" tanyanya sambil melirikku yang kelelahan berjalan. Peluh sudah membanjiri sekujur tubuhku. Entah bagaimana aroma tubuhku saat ini ... pasti sangat sedap.

"Biasa budhe mogok. Namanya juga motor antik," jawab Mas Bima sambil melengkungkan senyum.

"Pasti capek, sini istirahat dulu."

Budhe Salimah mempersilakan kami masuk ke rumahnya. Dengan sedikit ragu aku dan Mas Bima berjalan mengikutinya.

"Duduk dulu, Budhe buatin minum."

Aku dan Mas Bima duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati. Ukiran yang ada di kursi terlihat begitu indah. Ini kursi yang terbuat asli dari kota Jepara.

Sambil menunggu budhe, mataku tak henti memandangi ruang tamu ini. Beberapa pernak-pernik terpasang rapi di sudut ruangan dan dinding. Meski terlihat sederhana tapi bagus dan elegant.

"Diminum, Rat, Bim!" Budhe Salimah meletakkan dua buah cangkir berisi teh hangat di atas meja. Tepat di sebelah makanan ringan yang berjajar rapi

Sudah menjadi tradisi setiap lebaran selalu ada berbagai makanan ringan di atas meja. Sayangnya hanya di rumahku saja yang meja kosong tanpa makanan apa pun.

"Kok diem, diminum dulu. Pasti kalian haus. Dimakan juga yang ada di atas meja."

Aku dan Mas Bima segera menyeruput teh hangat tersebut. Dalam hitungan detik minuman itu telah habis tak tersisa. Bagaimana tidak habis, kami belum minum dari rumah hingga di sini. Sejak tadi kami menahan haus karena tak kami temui warung kelontong yang buka di hari raya begini.

"Kehausan atau gimana to, Rat?"

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun.

Krucuk ... Krucuk....

"Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status