"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."
Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku. "Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu. "Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno. "Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku. "Ayo, Mas!" Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terlalu antik. Dia pun menyalakan motor tersebut. Namun hingga peluh membanjiri kening motor kami tak dapat menyala. "Gimana, Bim? Gak bisa ya?" sindir Mas Jaka. Kakak keduaku itu melangkah mendekat ke arah kami. "Sepertinya mogok lagi, Dek." Aku tidak heran jika kendaraan roda dua ini berhenti begitu saja. Ini bukan kali pertama si biru merajuk. Terkadang masalah busi, ban bocor atau kehabisan bensin. Namanya motor tua, ada saja masalahnya. "Makannya beli motor baru, Bim. Kalau bisa beli mobil." "Aamiin, Mas. Makasih doa-nya. Siapa tahu kami segera membeli mobil." "Kalau ngimpi mah jangan ketinggian, Bim. Nanti kalau jatuh sakit rasanya." Aku dan Mas Bima hanya diam. Kami enggan menanggapi sindiran kakakku. Terlalu melelahkan jika beradu mulut dengan mereka. Mereka hanya bisa berbicara tanpa mengerti penderitaan yang kami rasakan. "Sudah ayo, Dek! Kita tuntun saja motornya." Aku mengangguk lalu melangkah di samping kiri Mas Bima. Kami berjalan beriringan meninggalkan halaman rumah ibu. "Dibantu dorong gak nih!" Tawa menggema di rumah itu. Mereka begitu bahagia saat kami ditimpa musibah. Seperti itukah arti sebuah keluarga? "Kenapa mengerucut begitu, Dek? Itu bibir, kan ... bukan tutup dandang?" ledek Mas Bima. Lelaki yang telah hidup bersamaku selama 2 tahun ini tersenyum tipis. Dia berusaha menghibur saat amarah sudah memenuhi rongga dada. "Mas gak kesel atau marah dengan hinaan keluargaku? Mereka keterlaluan, Mas!" Aku menyilangkan kedua tangan di dada. Bayang mereka tertawa puas kembali menari di pelupuk mata . Entah apa kesalahanku hingga mereka memperlakukan kami serendah itu. Aku kira darah lebih kuat dari segalanya. Rupanya aku salah, harta dan tahta jauh lebih utama dari ikatan apa pun. "Marah tentu, Dek. Siapa yang tidak marah jika harga dirinya diinjak-injak. Namun apa marah dapat membuat mereka sadar atas perbuatan mereka?" Mas Bima diam, dia kembali menatap diriku lekat. Sebuah tatapan yang mampu menyihirku. "Iya Mas, tapi kan kesel." Mas Bima mengalihkan pandangan, menatap depan sambil terus menuntun sepeda motornya. Ada sendu yang nampak di sana. Entah karena apa, aku tak tahu apa yang ia pikirkan kini. Karena suamiku tidak pernah menceritakan keluh kesahnya. "Ayo jalan lagi, Dek. Keburu panas ini." Kami berjalan perlahan sambil berbincang. Sepanjang kaki melangkah kulihat orang-orang berkumpul di rumah sanak saudara. Mereka tertawa bahagia di hari penuh kemenangan ini. Namun lihatlah, kebahagiaan itu tidak menyelimuti kami. Nyatanya justru keluarga yang menghina keterbatasan kami. Tidak ada orang yang mau hidup susah, begitu pula kami. Hanya satu yang membuatku kesal, kenapa aku selalu dibedakan dan dikucilkan. "Ratna ... Bima, mampir sini!" teriak seorang perempuan yang suaranya sangat familiar di telingaku. Tanpa dikomando aku dan Mas Bima berhenti bersamaan. Kami menoleh ke sebuah rumah di kanan jalan. Seorang perempuan paruh baya melambaikan tangan ke arah kami. Kami membalikkan badan, menyeberang jalan kemudian berhenti di rumah Budhe Salimah. Dia adalah sepupu bapak. "Motornya kenapa kok dituntun, Rat?" tanyanya sambil melirikku yang kelelahan berjalan. Peluh sudah membanjiri sekujur tubuhku. Entah bagaimana aroma tubuhku saat ini ... pasti sangat sedap. "Biasa budhe mogok. Namanya juga motor antik," jawab Mas Bima sambil melengkungkan senyum. "Pasti capek, sini istirahat dulu." Budhe Salimah mempersilakan kami masuk ke rumahnya. Dengan sedikit ragu aku dan Mas Bima berjalan mengikutinya. "Duduk dulu, Budhe buatin minum." Aku dan Mas Bima duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati. Ukiran yang ada di kursi terlihat begitu indah. Ini kursi yang terbuat asli dari kota Jepara. Sambil menunggu budhe, mataku tak henti memandangi ruang tamu ini. Beberapa pernak-pernik terpasang rapi di sudut ruangan dan dinding. Meski terlihat sederhana tapi bagus dan elegant. "Diminum, Rat, Bim!" Budhe Salimah meletakkan dua buah cangkir berisi teh hangat di atas meja. Tepat di sebelah makanan ringan yang berjajar rapi Sudah menjadi tradisi setiap lebaran selalu ada berbagai makanan ringan di atas meja. Sayangnya hanya di rumahku saja yang meja kosong tanpa makanan apa pun. "Kok diem, diminum dulu. Pasti kalian haus. Dimakan juga yang ada di atas meja." Aku dan Mas Bima segera menyeruput teh hangat tersebut. Dalam hitungan detik minuman itu telah habis tak tersisa. Bagaimana tidak habis, kami belum minum dari rumah hingga di sini. Sejak tadi kami menahan haus karena tak kami temui warung kelontong yang buka di hari raya begini. "Kehausan atau gimana to, Rat?" Aku hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun. Krucuk ... Krucuk.... "Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"Krucuk ... Krucuk.... "Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami? "Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu.""Iya, Budhe," jawabku datar. Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada. "Dimakan dulu, Rat."Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang. "Budhe mau bi
"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?""Memalukan kamu, Rat!"Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri.""Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik
Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi. Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi. "Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya. Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan. Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas.""Maaf ya, Dek."Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?""Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi
"Saudara saya akan menikah, Bu. Kalau boleh gaji minggu depan dibayar diawal."Aku menunduk seraya meremas jemari, sekuat tenaga menahan rasa takut yang sejak tadi menelusup dalam rongga dada. Ini kali pertama aku meminta hak sebelum menjalankan kewajiban. Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku bahkan merasa tak memiliki muka. "Owalah, itu to Mbak.""I--iya, Bu.""Boleh kok, Mbak."Aku mendongak, menatap lengkungan indah di bibir majikanku. Ternyata Bu Susan tak marah seperti yang kubayangkan sejak tadi pagi.Aku mendekat. "Makasih ya, Bu.""Iya sama-sama. Kamu boleh pulang, Mbak ... kasihan suami kamu sudah menunggu sejak tadi.""Makasih,Bu. Saya pamit pulang." Aku membalikkan badan, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu."Mbak Ratna tunggu!"Aku menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga dapat melihat Bu Susan yang tengah mengambil sebuah kantung plastik di atas meja. "Ini untuk kamu.""Makasih, Bu."Seketika bibir melengkung ke atas. Hari ini Al
"Jelas beda to yo. Seno dan Jaka itu anak kandung Bu Endang. Kalau Ratna kan bukan."DEG! Dalam sekejap jantung ini seolah berhenti berdetak. Perkataan orang-orang bagai ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Bagaimana mungkin aku ini anak angkat. Tidak ... tidak, mereka pasti salah bicara. Aku juga anak kandung bapak dan ibu, toh wajahku mirip bapak. "Yang bener?""Ini sudah menjadi rahasia umum kalau Ratna bukan anak kandung Bu Endang. "Lalu Ratna anak siapa?" tanya sorang perempuan yang tengah memotong kubis. Aku diam seraya menahan sesuatu yang bergemuruh dalam rongga dada. Di sini aku mempertajam indra pendengaran. Aku ingin mengetahui kenyataan yang ada. Entah sepahit apa nanti, aku tak lagi peduli. Bukankah hidupku sudah teramat pahit? "Lho, Mbak Ratna kenapa berdiri di situ? Ayo ke sana!"Seketika semua orang menatap ke arahku. Mereka membisu. Hilang sudah kalimat hinaan yang sedari tadi terlontar untukku. Sialnya ... aku menjadi tak tahu kenyataan ini, siapa diriku seben
"Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku
"Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan
"Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua