Share

bab 5

"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"

Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman.

Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali.

"Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."

Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini.

"Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?"

"Memalukan kamu, Rat!"

Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri."

"Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik tangan itu melayang di pipiku.

"Ayo, Dit! Tak usah didengarkan ucapan Ratna. Dia banyak ngomong karena mampu beli." Ibu mengajak Mbak Dita masuk ke dalam rumah.

Sebenarnya yang anak kandung itu aku atau Mbak Dita. Kenapa ibu lebih membela menantu dari pada aku, putri kandungnya. Tanpa sadar bulir bening nan hangat jatuh membasahi pipi.

"Sudahlah, tak udah kamu pedulikan sikap ibu dan iparmu, Rat!"

Seorang perempuan paruh baya mengelus pundakku yang sedikit bergetar. Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lagi-lagi aku terluka karena ucapan keluargaku sendiri.

Tepat pukul 08.30 kami berangkat menuju rumah mempelai wanita. Kami berangkat menggunakan bus yang sudah disiapkan oleh keluarga mempelai lelaki. Aku dan Mas Bima merupakan salah satu orang yang memilih berangkat menggunakan bus.

"Nak Ratna ndak ikut ibunya naik mobil toh?"

"Enggak Budhe, naik mobil bagus takut mabok," jawabku sekenanya.

"Sabar," bisik Mas Bima seraya menggenggam tangan kiriku.

Aku tersenyum meski hati tercabik, remuk. Bukankah sudah biasa pura-pura bahagia, Ratna? Kenapa kamu terluka?

Sesampainya di kediaman mempelai wanita, kami pun keluar dan menunggu tak jauh dari tempat resepsi. Rombongan pengantin lelaki belum boleh masuk hingga saatnya tiba. Saat pengantin pria dibawa masuk ke dalam pelaminan. Entah apa nama tradisi ini, aku sendiri kurang paham.

Setelah diberi aba-aba, kami pun masuk ke dalam. Kami berjalan berbaris dua-dua, tidak ada yang berjalan mendahului seperti kendaraan di jalan raya.

Kursi-kursi plastik telah tertata rapi di halaman rumah yang lumayan luas. Ada pula kursi yang ditata di jalan depan rumah. Namanya juga resepsi pernikahan di kampung, depan rumah tetangga dan jalan pun bisa digunakan untuk tempat resepsi pernikahan.

Aku berjalan menuju kursi yang telah disediakan oleh pihak mempelai perempuan. Biasanya rombongan besan berada di dekat panggung pengantin. Benar saja, kami pun diarahkan untuk duduk di sebelah kiri dan depan panggung pengantin. Hanya saja antara lelaki dan perempuan tak duduk dalam tempat yang sama.

"Sini saja, Rat!" Budhe Sulastri menarik tanganku. Aku pun duduk tepat di sebelah perempuan paruh baya tersebut. Kami duduk di barisan kedua dari depan. Aku sendiri duduk di paling ujung, samping jalan kecil.

Satu persatu rombongan pengantin lelaki telah duduk di kursi masing-masing.

"Lah, kok deketan sama kamu terus tho, Rat! Aku sampai bosan. Tiap ketemu kamu lagi ... kamu lagi," seru Mbak Dita ketika menoleh ke belakang.

Ibu dan Mbak Dita memang duduk di barisan pertama, tepat di depanku. Sebenarnya aku sendiri enggan duduk berdekatan dengan mereka. Namun Budhe Sulastri yang memaksaku duduk di dekatnya.

Bukan hanya dia yang bosan, aku sendiri juga bosan selalu berdebat dengan ibu dan Mbak Dita. Aku lelah, biarlah mereka tak menganggapku asal hidupku dapat tenang.

"Aku juga males, Mbak. Tiap ketemu selalu mendengar suara tak mengenakan dari kamu."

"Gak mengenakan gimana? Selama ini ucapanku selalu benar. Memang kamu dan suamimu itu kismin, beli baju 100 ribu saja gak bisa. Lha bisamu ki ngapain?"

Aku diam, tak ada kata yang mampu keluar dari bibir ini. Perasaan sesak kian memenuhi rongga dada. Mungkin baginya uang 100.000 tidaklah berarti. Namun bagi kami uang itu mampu memenuhi isi perut dalam beberapa hari.

Andai dia berada di posisiku, aku yakin kata itu tak akan keluar dari bibirnya. Namun kenyataannya akulah yang hidup serba kekurangan.

"Diam to? Memang apa yang aku ucapkan itu benar, kalian hanya keluarga miskin!"

"Dita, gak usah didengerin. Lebih baik kita lihat pengantinnya yang cantik dan ganteng itu." Ibu menyenggol lengan perempuan di sebelahnya. Dia mengisyaratkan Mbak Dita untuk menyudahi perdebatan ini.

Dua perempuan yang duduk di depanku itu menatap ke panggung. Mereka kembali mengabaikan aku setelah berhasil menggoreskan lukas di relung hati.

"Sabar, ndak usah dipikirkan, Rat. Mereka sedang di atas angin hingga melupakan pohon tempat berteduh. Mereka akan menyesal saat pohon itu telah digunakan orang lain."

Aku mengangguk mesti hati berkemelut. Ini bukan soal pohon, melainkan soal hati yang tidak lagi dihargai.

Acara demi acara telah terselenggara dengan baik. Namun aku sama sekali tidak memperhatikan pernikahan ini. Aku terlalu sibuk berusaha menyembuhkan luka seorang diri. Hingga mengabaikan keadaan sekitar.

"Mbak tolong digeser minumannya," ucap seorang pemuda menyentak lamunanku.

Aku pun segera menggeser minuman dan makanan yang ia berikan hingga semua orang mendapatkan jatah masing-masing.

Sambil menikmati acara kami menikmati hidangan yang diberikan. Namun fokusku terusik oleh gerakan dua perempuan di hadapanku.

"Tadi kamu ambil dobel to, Dit?" bisik ibu tapi masih mampu tertangkap indra pendengaranku.

"Dobel aku, Bu. Ini dibawah meja."

"Masukkan dalam tas, Dit! Sebelum orang lain lihat!"

Aku menggelengkan kepala melihat sikap mereka. Katanya mampu bahkan kaya tapi rela mempermalukan diri sendiri demi sepiring makanan ringan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status