"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"
Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini." Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?" "Memalukan kamu, Rat!" Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri." "Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik tangan itu melayang di pipiku. "Ayo, Dit! Tak usah didengarkan ucapan Ratna. Dia banyak ngomong karena mampu beli." Ibu mengajak Mbak Dita masuk ke dalam rumah. Sebenarnya yang anak kandung itu aku atau Mbak Dita. Kenapa ibu lebih membela menantu dari pada aku, putri kandungnya. Tanpa sadar bulir bening nan hangat jatuh membasahi pipi. "Sudahlah, tak udah kamu pedulikan sikap ibu dan iparmu, Rat!" Seorang perempuan paruh baya mengelus pundakku yang sedikit bergetar. Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lagi-lagi aku terluka karena ucapan keluargaku sendiri. Tepat pukul 08.30 kami berangkat menuju rumah mempelai wanita. Kami berangkat menggunakan bus yang sudah disiapkan oleh keluarga mempelai lelaki. Aku dan Mas Bima merupakan salah satu orang yang memilih berangkat menggunakan bus. "Nak Ratna ndak ikut ibunya naik mobil toh?" "Enggak Budhe, naik mobil bagus takut mabok," jawabku sekenanya. "Sabar," bisik Mas Bima seraya menggenggam tangan kiriku. Aku tersenyum meski hati tercabik, remuk. Bukankah sudah biasa pura-pura bahagia, Ratna? Kenapa kamu terluka? Sesampainya di kediaman mempelai wanita, kami pun keluar dan menunggu tak jauh dari tempat resepsi. Rombongan pengantin lelaki belum boleh masuk hingga saatnya tiba. Saat pengantin pria dibawa masuk ke dalam pelaminan. Entah apa nama tradisi ini, aku sendiri kurang paham. Setelah diberi aba-aba, kami pun masuk ke dalam. Kami berjalan berbaris dua-dua, tidak ada yang berjalan mendahului seperti kendaraan di jalan raya. Kursi-kursi plastik telah tertata rapi di halaman rumah yang lumayan luas. Ada pula kursi yang ditata di jalan depan rumah. Namanya juga resepsi pernikahan di kampung, depan rumah tetangga dan jalan pun bisa digunakan untuk tempat resepsi pernikahan. Aku berjalan menuju kursi yang telah disediakan oleh pihak mempelai perempuan. Biasanya rombongan besan berada di dekat panggung pengantin. Benar saja, kami pun diarahkan untuk duduk di sebelah kiri dan depan panggung pengantin. Hanya saja antara lelaki dan perempuan tak duduk dalam tempat yang sama. "Sini saja, Rat!" Budhe Sulastri menarik tanganku. Aku pun duduk tepat di sebelah perempuan paruh baya tersebut. Kami duduk di barisan kedua dari depan. Aku sendiri duduk di paling ujung, samping jalan kecil. Satu persatu rombongan pengantin lelaki telah duduk di kursi masing-masing. "Lah, kok deketan sama kamu terus tho, Rat! Aku sampai bosan. Tiap ketemu kamu lagi ... kamu lagi," seru Mbak Dita ketika menoleh ke belakang. Ibu dan Mbak Dita memang duduk di barisan pertama, tepat di depanku. Sebenarnya aku sendiri enggan duduk berdekatan dengan mereka. Namun Budhe Sulastri yang memaksaku duduk di dekatnya. Bukan hanya dia yang bosan, aku sendiri juga bosan selalu berdebat dengan ibu dan Mbak Dita. Aku lelah, biarlah mereka tak menganggapku asal hidupku dapat tenang. "Aku juga males, Mbak. Tiap ketemu selalu mendengar suara tak mengenakan dari kamu." "Gak mengenakan gimana? Selama ini ucapanku selalu benar. Memang kamu dan suamimu itu kismin, beli baju 100 ribu saja gak bisa. Lha bisamu ki ngapain?" Aku diam, tak ada kata yang mampu keluar dari bibir ini. Perasaan sesak kian memenuhi rongga dada. Mungkin baginya uang 100.000 tidaklah berarti. Namun bagi kami uang itu mampu memenuhi isi perut dalam beberapa hari. Andai dia berada di posisiku, aku yakin kata itu tak akan keluar dari bibirnya. Namun kenyataannya akulah yang hidup serba kekurangan. "Diam to? Memang apa yang aku ucapkan itu benar, kalian hanya keluarga miskin!" "Dita, gak usah didengerin. Lebih baik kita lihat pengantinnya yang cantik dan ganteng itu." Ibu menyenggol lengan perempuan di sebelahnya. Dia mengisyaratkan Mbak Dita untuk menyudahi perdebatan ini. Dua perempuan yang duduk di depanku itu menatap ke panggung. Mereka kembali mengabaikan aku setelah berhasil menggoreskan lukas di relung hati. "Sabar, ndak usah dipikirkan, Rat. Mereka sedang di atas angin hingga melupakan pohon tempat berteduh. Mereka akan menyesal saat pohon itu telah digunakan orang lain." Aku mengangguk mesti hati berkemelut. Ini bukan soal pohon, melainkan soal hati yang tidak lagi dihargai. Acara demi acara telah terselenggara dengan baik. Namun aku sama sekali tidak memperhatikan pernikahan ini. Aku terlalu sibuk berusaha menyembuhkan luka seorang diri. Hingga mengabaikan keadaan sekitar. "Mbak tolong digeser minumannya," ucap seorang pemuda menyentak lamunanku. Aku pun segera menggeser minuman dan makanan yang ia berikan hingga semua orang mendapatkan jatah masing-masing. Sambil menikmati acara kami menikmati hidangan yang diberikan. Namun fokusku terusik oleh gerakan dua perempuan di hadapanku. "Tadi kamu ambil dobel to, Dit?" bisik ibu tapi masih mampu tertangkap indra pendengaranku. "Dobel aku, Bu. Ini dibawah meja." "Masukkan dalam tas, Dit! Sebelum orang lain lihat!" Aku menggelengkan kepala melihat sikap mereka. Katanya mampu bahkan kaya tapi rela mempermalukan diri sendiri demi sepiring makanan ringan.Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi. Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi. "Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya. Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan. Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas.""Maaf ya, Dek."Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?""Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi
"Saudara saya akan menikah, Bu. Kalau boleh gaji minggu depan dibayar diawal."Aku menunduk seraya meremas jemari, sekuat tenaga menahan rasa takut yang sejak tadi menelusup dalam rongga dada. Ini kali pertama aku meminta hak sebelum menjalankan kewajiban. Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku bahkan merasa tak memiliki muka. "Owalah, itu to Mbak.""I--iya, Bu.""Boleh kok, Mbak."Aku mendongak, menatap lengkungan indah di bibir majikanku. Ternyata Bu Susan tak marah seperti yang kubayangkan sejak tadi pagi.Aku mendekat. "Makasih ya, Bu.""Iya sama-sama. Kamu boleh pulang, Mbak ... kasihan suami kamu sudah menunggu sejak tadi.""Makasih,Bu. Saya pamit pulang." Aku membalikkan badan, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu."Mbak Ratna tunggu!"Aku menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga dapat melihat Bu Susan yang tengah mengambil sebuah kantung plastik di atas meja. "Ini untuk kamu.""Makasih, Bu."Seketika bibir melengkung ke atas. Hari ini Al
"Jelas beda to yo. Seno dan Jaka itu anak kandung Bu Endang. Kalau Ratna kan bukan."DEG! Dalam sekejap jantung ini seolah berhenti berdetak. Perkataan orang-orang bagai ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Bagaimana mungkin aku ini anak angkat. Tidak ... tidak, mereka pasti salah bicara. Aku juga anak kandung bapak dan ibu, toh wajahku mirip bapak. "Yang bener?""Ini sudah menjadi rahasia umum kalau Ratna bukan anak kandung Bu Endang. "Lalu Ratna anak siapa?" tanya sorang perempuan yang tengah memotong kubis. Aku diam seraya menahan sesuatu yang bergemuruh dalam rongga dada. Di sini aku mempertajam indra pendengaran. Aku ingin mengetahui kenyataan yang ada. Entah sepahit apa nanti, aku tak lagi peduli. Bukankah hidupku sudah teramat pahit? "Lho, Mbak Ratna kenapa berdiri di situ? Ayo ke sana!"Seketika semua orang menatap ke arahku. Mereka membisu. Hilang sudah kalimat hinaan yang sedari tadi terlontar untukku. Sialnya ... aku menjadi tak tahu kenyataan ini, siapa diriku seben
"Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku
"Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan
"Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua
Aku tercengang melihat halaman rumah yang telah dipenuhi dengan barang-barang elektronik dan berbagai perabot rumah. Ada sofa, kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Entah siapa yang membeli barang sebanyak itu? "Kembalikan pada orang itu. Saya tidak mau menerima semua ini!" pekik Mas Bima. Aku pun melangkah mendekati sumber suara. Mas Bima tengah berada di dekat pagar masuk, tatapannya tajam kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dapat kulihat kemarahan di sorot netranya. "Kamu kenapa, Mas?" Aku sentuh pundaknya yang bergerak naik dan turun. Sebisa mungkin aku hilangkan amarah yang bersemayam dalam rongga dadanya. Aku belum tahu pasti pokok permasalahan sehingga Mas Bima marah besar. Satu hal yang dapat kucerna, kemarahan Mas Bima ada sangkut pautnya dengan barang-barang ini. Sebenarnya siapa orang yang mengirim benda-benda mewah ini? "Sekali tolong masukkan barang-barang ini ke dalam mobil lalu bawa pergi.""Tapi, Mas... barang-barang ini sudah dibayar lunas. Bahkan tiap o
"Kamu ke sini mau ngapain, Ratna? Di sini tidak bisa ngutang lho, Rat!" ucapnya dengan suara sedikit keras. Seketika semua mata tertuju padaku. Bisik-bisik tak terelakkan. Semua orang yang ada di sekitarku menatap ke arahku. Lagi-lagi tatapan mengejek dan menghina mereka layangkan padaku. Apa orang sepertiku tak boleh berada di sini? Seketika tangan mengepal ke samping. Bahkan amarah mulai naik hingga ke pucuk kepala. Namun untuk kesekian kali aku memilih diam. Aku tidak ingin terjadi pertengkaran. "Kenapa diem, Rat? Bener ya, kamu mau ngutang?" Mbak Dita menutup mulutnya, ada tawa di balik telapak tangannya. "Mbaknya tahu saja di sini gak bisa ngutang. Jangan-jangan Mbak sudah pernah nyoba ngutang, ya?"Seketika wajah Mbak Dita memerah, tangannya mengepal, dan pundaknya naik turun. Tanpa mengatakan sesuatu dia pergi meninggalkan tempat ini. Ucapan Bu Susan mampu membungkam mulut julid Mbak Dita. "Makasih, Bu.""Sama-sama,Mbak. Sekali-kali lawan jika ada yang menyakiti kamu. Gak