Share

Bab 6

Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi.

Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi.

"Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya.

Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan.

Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas."

"Maaf ya, Dek."

Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?"

"Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita."

"Definisi bahagia bukan karena banyaknya harta atau tingginya sebuah tahta. Kalau bahagia diukur dari materi ... lalu kenapa banyak orang kaya bunuh diri, Mas? Bukankah harusnya mereka bahagia karena telah memiliki segalanya?"

Mas Bima membisu. Dia mengangguk perlahan, meski wajahnya tetap saja sendu.

"Bahagia letaknya di sini, Mas." Aku meletakkan tangan kanan tepat di dadanya."

"Makasih ya, Dek." Mas Bima mendekap erat tubuhku.

"Aku mau berangkat lho, Mas!" ucapku membuat Mas Bima melonggarkan pelukannya. Namun tiba-tiba ia kecup kening ini.

"Hati-hati ya, Dek."

Aku mengangguk kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim. Sentuhan lembut di pucuk kepala ini menggambarkan doa, meski tak diucapkan dengan kata.

Kakiku melangkah perlahan, sesekali aku angkat sedikit rok agar air tak mengenai ujungnya. Maklum jalan sering kali banjir ketika hujan turun. Mungkin karena saluran air yang tersumbat.

Bu Susan sudah ada di dapur kala aku sampai. Ibu satu anak itu menyambutku dengan ramah. Bu Susan memang majikan yang baik.

"Saya pulang agak telat, Mbak. Titip ibu, ya."

"Baik, Bu."

Bu Susan bekerja di salah satu bank di kota ini. Dia selalu pulang pukul 17.00 lebih. Jika Bu Susan bekerja, maka aku yang akan menunggu ibu dan anaknya. Ya, karena suaminya bekerja di luar kota.

"Makanan buat Nino sudah saya siapkan. Nanti siang tinggal di panaskan saja, Mbak."

"Baik, Bu."

Perempuan yang memakai kemeja batik itu berjalan meninggalkan ruang makan.

"Bu."

Seketika Bu Susan menghentikan langkah. Dia kembali menoleh ke arahku dengan sorot penuh tanda tanya.

"Ada apa, Mbak?"

Aku terdiam, untaian kata yang telah kusiapkan hilang dalam sekejam. Aku kehilangan keberanian untuk meminta gaji lebih awal.

Ada rasa berat untuk meminta hak padahal aku belum mengerjakan kewajiban. Namun kalau bukan Bu Susan, pada siapa lagi aku meminta tolong?

"Sa-saya ..."

"Nanti sepulang kerja saja ya, Mbak. Saya buru-buru ini," ucapnya setalah melirik jam yang menempel di pergelangan tangan kirinya.

Bu Susan pun pergi meninggalkan ruangan ini. Tidak begitu lama deru mobil terdengar menjauh dari halaman rumah.

Segera aku membersihkan rumah yang sudah berantakan. Belum lagi tumpukan piring dan peralatan masakan yang ada di wastafel. Bu Susan memang suka memasak sendiri, tapi enggan mencuci perlengkapan yang habis dipakai.

"Mbak ... Mbak Ratna!" panggil Bu Sri.

Aku letakkan sapu dan kemoceng yang ada di tangan. Sedikit berlari aku menuju kamar Bu Sri yang berada tepat di samping ruang keluarga.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku seraya mengatur napas yang tersengal.

"Saya pengen pukis, Mbak. Bisa tolong belikan ke pasar?"

"Bisa, Bu."

Bu Sri memberikan selembar uang berwarna hijau. "Bawa sepeda saja, Mbak. Capek kalau jalan kaki."

"Iya, Bu. Saya permisi dulu."

Aku segera mengeluarkan sepeda dari garasi. Perlahan aku kayuh kendaraan roda dua ini. Sesekali memberi salam kepada warga yang kutemui. Di kampung mengucapkan salam adalah salah satu hal penting.

"Mbak Ratna mau ke mana?" tanya seorang perempuan yang berjalan berlawanan arah denganku.

"Mau beli pukis, Bu."

Aku kembali mengayuh sepeda ini menuju pasar. Pasar terletak agak jauh dari kediaman kami. Arahnya sama seperti arah menuju rumah ibu. Ya, karena pasar menjadi pembatas dua kampung.

Pasar tradisonal yang ramai karena hanya ini satu-satunya pasar terdekat. Setelah sampai aku pun memarkirkan sepeda di depan pasar. Ada dua tukang parkir yang menata kendaraan dan sepeda kami.

Aku melangkah menuju penjual pukis yang ada di dekat pintu masuk. Seorang perempuan tengah sibuk membuat pukis. Aroma harum adonan kian membuat cacing dalam perut meronta meminta haknya. Andai cacing di dalam tahu kalau pukis ini bukan haknya, mungkin mereka akan diam, tak bersuara.

"Pukisnya 15ribu, Mbak."

"Tunggu sebentar ya, Mbak."

Aku mengangguk, lalu berdiri tak jauh darinya. Sambil menunggu pesananku siap, aku mengamati ramainya pasar di pagi hari.

"Pukisnya 20ribu ya, Mbak."

Sontak aku menoleh ke arah sumber suara. Perempuan yang tak ingin kutemui justru berada di depan mata. Aku tahu pasar ini berada di tengah-tengah dua kampung, tapi kenapa harus dipertemukan juga?

"Sendirian, Bu."

Diam, perempuan yang kupanggil justru pura-pura tak mendengar.

"Masih lama ya, Mbak?"

"Iya, Bu."

"Saya belanja dulu kalau begitu."

Ibu melangkah pergi setelah memberikan uang 20ribu kepada penjual pukis. Dia mengabaikanku di muka umum. Apa aku begitu memalukan hingga ia enggan menjawab salamku?

Tetes demi tetes jatuh tanpa bisa kubendung. Sakit, saat ibu tak mengakui keberadaanku. Rasa sakitnya melebihi sebuah sembilu yang tertancap di tubuh.

***

Deru mobil kian terdengar jelas bersamaan dengan azan isya berkumandang. Bu Susan turun seraya membawa beberapa kantung plastik, entah apa isinya aku pun tak tahu.

"Mau dibuatkan minum, Bu?" tanyaku saat perempuan itu menjatuhkan bobot di sofa ruang tamu. Bu Susan menyandarkan tubuh di sofa, terlihat jelas dia begitu kelelahan.

"Teh hangat saja, Mbak. Jangan terlalu manis ya."

"Baik, Bu."

Dengan cepat aku memuatkan teh dengan sedikit gula pesanannya. Bu Susan memang tak terlalu menyukai minuman manis. Namun anehnya, semua jenis makanan manis dia suka.

"Ini, Bu."

Aku meletakkan cangkir berisi teh hangat di atas meja. Kemudian aku berdiri tak jauh darinya.

"Kamu boleh pulang, Mbak."

Tubuhku masih mematung, ada kata yang hendak aku sampaikan. Namun entah kenapa keberanian seolah hilang di telan malam. Mungkin lebih baik besok saja.

"O, iya ... tadi pagi Mbak Ratna ingin mengatakan sesuatu. Apa itu? Maaf saya lupa."

Aku diam satu menit, tapi dalam kepala berusaha merangkai kata agar tak membuat majikanku marah.

"Em, sabtu minggu saya izin libur, ya, Bu. Dan ..."

"Dan apa, Mbak?"

"Kalau boleh saya minta gaji lebih awal, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status