"Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan
"Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua
Aku tercengang melihat halaman rumah yang telah dipenuhi dengan barang-barang elektronik dan berbagai perabot rumah. Ada sofa, kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Entah siapa yang membeli barang sebanyak itu? "Kembalikan pada orang itu. Saya tidak mau menerima semua ini!" pekik Mas Bima. Aku pun melangkah mendekati sumber suara. Mas Bima tengah berada di dekat pagar masuk, tatapannya tajam kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dapat kulihat kemarahan di sorot netranya. "Kamu kenapa, Mas?" Aku sentuh pundaknya yang bergerak naik dan turun. Sebisa mungkin aku hilangkan amarah yang bersemayam dalam rongga dadanya. Aku belum tahu pasti pokok permasalahan sehingga Mas Bima marah besar. Satu hal yang dapat kucerna, kemarahan Mas Bima ada sangkut pautnya dengan barang-barang ini. Sebenarnya siapa orang yang mengirim benda-benda mewah ini? "Sekali tolong masukkan barang-barang ini ke dalam mobil lalu bawa pergi.""Tapi, Mas... barang-barang ini sudah dibayar lunas. Bahkan tiap o
"Kamu ke sini mau ngapain, Ratna? Di sini tidak bisa ngutang lho, Rat!" ucapnya dengan suara sedikit keras. Seketika semua mata tertuju padaku. Bisik-bisik tak terelakkan. Semua orang yang ada di sekitarku menatap ke arahku. Lagi-lagi tatapan mengejek dan menghina mereka layangkan padaku. Apa orang sepertiku tak boleh berada di sini? Seketika tangan mengepal ke samping. Bahkan amarah mulai naik hingga ke pucuk kepala. Namun untuk kesekian kali aku memilih diam. Aku tidak ingin terjadi pertengkaran. "Kenapa diem, Rat? Bener ya, kamu mau ngutang?" Mbak Dita menutup mulutnya, ada tawa di balik telapak tangannya. "Mbaknya tahu saja di sini gak bisa ngutang. Jangan-jangan Mbak sudah pernah nyoba ngutang, ya?"Seketika wajah Mbak Dita memerah, tangannya mengepal, dan pundaknya naik turun. Tanpa mengatakan sesuatu dia pergi meninggalkan tempat ini. Ucapan Bu Susan mampu membungkam mulut julid Mbak Dita. "Makasih, Bu.""Sama-sama,Mbak. Sekali-kali lawan jika ada yang menyakiti kamu. Gak
"Kami antar, Mas Bima dan Mbak Ratna," ucap seorang lelaki yang mengantar suamiku ke klinik. Aku dan Mas Bima saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Meski ada keraguan karena terhalang biaya. Namun kesehatan Mas Bima jauh lebih penting. Dengan sepeda motor kami menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan aku terus menatap Mas Bima yang terus menahan tangan kirinya. Terlihat jelas ia berusaha menahan rasa sakit. Dari klinik ke rumah sakit membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Maklum klinik berada di perbatasan kampung sementara rumah sakit sedikit ke pusat kabupaten. Rumah sakit dipenuhi para pasien yang hendak berobat. Karena kebanyakan praktek dokter spesialis sore hati. Entah rumah sakit lain. "Saya hanya bisa mengantar sampai sini, Mas. Untuk biaya kami tidak bisa membantu.""Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah mengantar kami."Dua lelaki itu pun pergi meninggalkan aku dan Mas Bima di lobi rumah sakit. Sedikit ragu kami melangkah masuk. Setibanya di depan pendaftaran sem
"Saya tidak bisa memakai uang ini, Pak." Aku kembali memberikan amplop uang tersebut. "Karena Bima melarang kamu memakai atau menerima pemberianku?"Aku mengangguk pelan. Mas Bima memang kekeh melarangku menerima apa pun pemberian ayahnya. Sebagai istri aku harus mematuhi perintah suami. Meski aku berharap hubungan mereka membaik seiring berjalannya waktu. "Kalau kamu gak mau terima, dengan apa kamu membayar biaya rumah sakit Bima? Bukankah uang ini sudah ditunggu suami kamu, Ratna?"Aku membisu, tak ada kata yang mampu menjawab runtutan pertanyaan ayah Mas Bima. Bagaimana caranya aku membayar biaya rumah sakit, sedang uang dalam dompet hanya tersisa Rp. 200.000,-.Apa aku ambil saja amplop itu? Tapi kalau Mas Bima tahu bagaimana? Dia pasti akan marah dan kecewa karena aku melanggar perintahnya. Dua pilihan yang membuatku kebingungan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Dan aku tidak tahu harus memilih apa. "Ambilan Ratna, jangan bilang uang ini dariku.""Tapi ...."
"Lha sudah sepantasnya to." Budhe Tinah melirik ke arah ibu. "Kamu sudah jenguk Bima to, Bu Endang?""Em... itu anu."Ibu terlihat gelagapan. Mendadak butiran kristal memenuhi kening dan mungkin sekujur tubuhnya. Nah, bingung kan, Bu mau jawab apa? Malu jika semua orang tahu bagaimana sikap ibu padaku? Jangankan menjenguk, aku meminjam uang untuk membayar biaya rumah sakit saja ibu tak mau memberi. "Jangan-jangan kamu belum jenguk Bima, ya?""Sudah kok." Ibu melirik ke arahku. "Iya, kan Rat? Kemarin ibu dari rumahmu?"Aku mencebik, bisa-bisanya ibu berkata demikian. Aku lupa, ibu hanya ingin nama baiknya tak tercoret meski kenyataan berkata lain. "Ini kembaliannya, Mbak."Aku bernapas lega. Kedatangan penjual ayam bagai angin di bawah terik mentari. Akhirnya aku terbebas dari pertanyaan yang penuh dengan jebakan. "Saya pulang dulu, Bu, Budhe," ucapku setelah mendapatkan uang kembalian. Segera aku melangkah meninggalkan mereka. Setelah selesai berbelanja aku segera pulang. Motor ke
"Terima kasih sudah meminjamkan uang untuk biaya rumah sakit tempo hari. Saya berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya, Bu.""Uang untuk biaya rumah sakit?""Iya, kata Ratna ibu yang meminjamkan uang."Ibu menatap ke arahku. Sejuta pertanyaan nampak jelas di sorot netranya. Aku mengedipkan mata, berharap kali ini ibu mengatakan iya. Ya... kali ini saja aku berharap dia mau membantuku. Selama ini bisa dihitung dengan jari ibu membantuku. Hanya bapak yang ada saat aku membutuhkan. Lainnya hanya mengganggapku beban. Kenyataannya memang benar, aku beban untuk mereka. "Eh... iya, Bim. Ibu kok lupa. Ibu yang meminjamkan uangnya. Pakai saja dulu, gak masalah kok."Seketika aku dapat bernapas lega. Meski ada kekecewaan dengan sikap ibu. Dia membanggakan apa yang sebenarnya tak ia lakukan. Tak ingatkan dia dengan penolakan dan pengusiran beberapa hari yang lalu. "Sekali lagi terima kasih, Bu."Ibu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah cukup puas berbincang dengan M