Share

bab 4

Krucuk ... Krucuk....

"Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"

Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami?

"Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu."

"Iya, Budhe," jawabku datar.

Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada.

"Dimakan dulu, Rat."

Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang.

"Budhe mau bilang minggu depan mengantar Sholeh menikah. Kalian ikut ya, rumah calonnya tidak jauh kok."

"Iya, Budhe."

"Kalau acara di sini kapan, Budhe?" tanya Mas Bima menimpali.

"Satu minggu setelah mengantar ke tempat pengantin perempuan. Lebih tepatnya dua minggu dari sekarang."

Aku dan Mas Bima mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Kami pun menikmati hidangan yang disuguhkan Budhe Salimah. Setelah itu kami berpamitan pulang.

"Bisa gak, Mas?" tanyaku saat hendak memasukkan kunci motor.

"Bentar Mas nyalain dulu."

Mas Bima menyalakan kendaraan roda dua kami. Satu kali, dua kali distarter motor itu tak jua menyala. Hingga akhirnya setelah tiga kali mencoba, si biru pun menyala. Nampaknya ia tahu sang pemilik sudah kelelahan mendorongnya beberapa kilometer.

Kendaraan yang kami naiki berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah Budhe Salimah. Ya, memang hanya perlahan karena motor ini tak bisa melaju kencang seperti kendaraan roda dua model terbaru. Namun aku tetap bersyukur meski hanya ini yang kumiliki saat ini.

***

"Kamu mau ke mana, Rat? Bukannya masih libur ya?"

Aku memang meminta libur lebaran selama 2 hari. Niat hati ingin menginap di rumah ibu. Bukan sambutan baik yang kuterima, tapi sebuah hinaan yang membuatku merasa tak berguna. Seperti inikah rasanya tak memiliki materi? Aku seolah tak memiliki harga diri.

"Bosen di rumah, Mas. Mau cari tambahan buat acara Budhe Salimah minggu depan."

"Hati-hati, Rat."

Aku mengangguk, mencium punggung tangannya lalu berangkat ke rumah Bu Susan. Kediaman majikanku masih berada di kampung yang sama, hanya terletak di RT yang berbeda.

Aku melangkah perlahan menuju rumah Bu Susan. Sesekali memberi salam pada tetangga yang berada di depan rumah. Aku tersenyum hambar saat melihat orang-orang bercengkrama dengan keluarganya. Tidak bisa dipungkiri ada rasa iri yang tiba-tiba menelusup dalam rongga dada. Kapan aku memiliki kehangatan keluarga seperti itu?

"Assalamualaikum," ucapku saat membuka pintu gerbang dari besi itu.

Pintu rumah dengan nuansa modern ini sudah terbuka lebar ketika aku datang. Beberapa gelas berceceran di teras rumah. Belum lagi kulit kacang, bungkus jeli yang tergeletak di samping tempat sampah yang sudah penuh.

Aku menggeleng pelan melihat keadaan rumah ini. Baru ditinggal kemarin tapi sudah berantakan begini. Bu Niken adalah anak tunggal. Ibunya juga berada di rumah ini tapi jarang keluar karena sakit-sakitan. Itu dia alasan mereka tidak bisa mudik ke Lampung.

"Lho, kamu masuk, Mbak Ratna? Ini baru lebaran hari kedua lho?" tanya Bu Susan ketika aku masuk ke dalam lewat pintu samping.

Aku memang sering masuk lewat pintu samping. Takut menganggu jika aku berjalan lewat depan. Apalagi saat ada tamu.

"Saya tidak jadi menginap, Bu."

"Alhamdulillah kalau gitu, Mbak. Tolong bersihkan ruang tamu, ya. Semalam ada tamu belum sempat aku bereskan."

Aku pun mengangguk. Kemudian berjalan ke belakang untuk mengambil sapu dan kemoceng. Ini ciri khas alat perang seorang asisten rumah tangga.

Gelas-gelas yang berserakan aku bawa ke wastafel. Aku biarkan menumpuk di sana karena aku akan membersihkan rumah terlebih dahulu. Aku menyapu dari ruang makan hingga ke teras. Sesekali berdiri sejenak seraya mengamati bagian ruangan yang masih berdebu. Maklum rumah ini terbilang luas. Sering kali aku kelelahan saat membersihkannya.

Sejak dulu aku tak pernah membayangkan akan berakhir menjadi asisten rumah tangga. Aku sering kali bermimpi memiliki perusahaan sendiri. Namun ternyata keadaan memaksaku menerima pekerjaan ini. Tak masalah, toh ini merupakan pekerjaan halal meski tak berkelas di mata orang-orang.

Jangan dengarkan apa kata orang lain, Ratna. Teruslah maju hingga hinaan yang kamu terima berubah menjadi pujian.

Tanpa sadar butiran hangat jatuh membasahi pipi. Perkataan bapak yang terlintas di kepala membuat rasa rindu datang dengan sendirinya. Andai bapak masih ada, mungkin hidupku tak akan menderita begini.

Ah, sudahlah ... tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Kini aku harus terus berusaha agar mimpi tak sekedar bunga tidur semata.

***

Pagi-pagi aku dan Mas Bima sudah siap untuk berangkat ke rumah Budhe Salimah. Kami sudah memakai pakaian terbaik yang kami punya. Lagi-lagi pakaian yang kupakai di hari raya.

Pukul 07.30 kami berangkat dari rumah. Sengaja kami berangkat lebih awal karena motor yang tidak bisa berjalan cepat. Dari pada terlambat lebih baik datang lebih awal bukan?

Rumah Budhe Salimah belum terlalu ramai saat kami tiba. Beberapa tetangga dan kerabat sudah duduk di kursi. Aku pun segera dan duduk si kursi yang telah disediakan. Halaman rumah Budhe Salimah memang ditata kursi untuk digunakan para saudara yang diajak ke rumah mempelai wanita, termasuk aku.

"Assalamualaikum."

Aku menoleh ketika mendengar suara perempuan yang begitu familiar di telingaku. Mendadak senyum yang sempat tercipta hilang dalam sekejap mata. Perasaan tak nyaman pun memenuhi rongga dada. Aku takut ibu menghinaku di depan umum.

"Sudah datang kamu, Rat?" ucap Mbak Dita saat berdiri di samping kursi yang kududuki.

"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status