Krucuk ... Krucuk....
"Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?" Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami? "Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu." "Iya, Budhe," jawabku datar. Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada. "Dimakan dulu, Rat." Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang. "Budhe mau bilang minggu depan mengantar Sholeh menikah. Kalian ikut ya, rumah calonnya tidak jauh kok." "Iya, Budhe." "Kalau acara di sini kapan, Budhe?" tanya Mas Bima menimpali. "Satu minggu setelah mengantar ke tempat pengantin perempuan. Lebih tepatnya dua minggu dari sekarang." Aku dan Mas Bima mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Kami pun menikmati hidangan yang disuguhkan Budhe Salimah. Setelah itu kami berpamitan pulang. "Bisa gak, Mas?" tanyaku saat hendak memasukkan kunci motor. "Bentar Mas nyalain dulu." Mas Bima menyalakan kendaraan roda dua kami. Satu kali, dua kali distarter motor itu tak jua menyala. Hingga akhirnya setelah tiga kali mencoba, si biru pun menyala. Nampaknya ia tahu sang pemilik sudah kelelahan mendorongnya beberapa kilometer. Kendaraan yang kami naiki berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah Budhe Salimah. Ya, memang hanya perlahan karena motor ini tak bisa melaju kencang seperti kendaraan roda dua model terbaru. Namun aku tetap bersyukur meski hanya ini yang kumiliki saat ini. *** "Kamu mau ke mana, Rat? Bukannya masih libur ya?" Aku memang meminta libur lebaran selama 2 hari. Niat hati ingin menginap di rumah ibu. Bukan sambutan baik yang kuterima, tapi sebuah hinaan yang membuatku merasa tak berguna. Seperti inikah rasanya tak memiliki materi? Aku seolah tak memiliki harga diri. "Bosen di rumah, Mas. Mau cari tambahan buat acara Budhe Salimah minggu depan." "Hati-hati, Rat." Aku mengangguk, mencium punggung tangannya lalu berangkat ke rumah Bu Susan. Kediaman majikanku masih berada di kampung yang sama, hanya terletak di RT yang berbeda. Aku melangkah perlahan menuju rumah Bu Susan. Sesekali memberi salam pada tetangga yang berada di depan rumah. Aku tersenyum hambar saat melihat orang-orang bercengkrama dengan keluarganya. Tidak bisa dipungkiri ada rasa iri yang tiba-tiba menelusup dalam rongga dada. Kapan aku memiliki kehangatan keluarga seperti itu? "Assalamualaikum," ucapku saat membuka pintu gerbang dari besi itu. Pintu rumah dengan nuansa modern ini sudah terbuka lebar ketika aku datang. Beberapa gelas berceceran di teras rumah. Belum lagi kulit kacang, bungkus jeli yang tergeletak di samping tempat sampah yang sudah penuh. Aku menggeleng pelan melihat keadaan rumah ini. Baru ditinggal kemarin tapi sudah berantakan begini. Bu Niken adalah anak tunggal. Ibunya juga berada di rumah ini tapi jarang keluar karena sakit-sakitan. Itu dia alasan mereka tidak bisa mudik ke Lampung. "Lho, kamu masuk, Mbak Ratna? Ini baru lebaran hari kedua lho?" tanya Bu Susan ketika aku masuk ke dalam lewat pintu samping. Aku memang sering masuk lewat pintu samping. Takut menganggu jika aku berjalan lewat depan. Apalagi saat ada tamu. "Saya tidak jadi menginap, Bu." "Alhamdulillah kalau gitu, Mbak. Tolong bersihkan ruang tamu, ya. Semalam ada tamu belum sempat aku bereskan." Aku pun mengangguk. Kemudian berjalan ke belakang untuk mengambil sapu dan kemoceng. Ini ciri khas alat perang seorang asisten rumah tangga. Gelas-gelas yang berserakan aku bawa ke wastafel. Aku biarkan menumpuk di sana karena aku akan membersihkan rumah terlebih dahulu. Aku menyapu dari ruang makan hingga ke teras. Sesekali berdiri sejenak seraya mengamati bagian ruangan yang masih berdebu. Maklum rumah ini terbilang luas. Sering kali aku kelelahan saat membersihkannya. Sejak dulu aku tak pernah membayangkan akan berakhir menjadi asisten rumah tangga. Aku sering kali bermimpi memiliki perusahaan sendiri. Namun ternyata keadaan memaksaku menerima pekerjaan ini. Tak masalah, toh ini merupakan pekerjaan halal meski tak berkelas di mata orang-orang. Jangan dengarkan apa kata orang lain, Ratna. Teruslah maju hingga hinaan yang kamu terima berubah menjadi pujian. Tanpa sadar butiran hangat jatuh membasahi pipi. Perkataan bapak yang terlintas di kepala membuat rasa rindu datang dengan sendirinya. Andai bapak masih ada, mungkin hidupku tak akan menderita begini. Ah, sudahlah ... tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Kini aku harus terus berusaha agar mimpi tak sekedar bunga tidur semata. *** Pagi-pagi aku dan Mas Bima sudah siap untuk berangkat ke rumah Budhe Salimah. Kami sudah memakai pakaian terbaik yang kami punya. Lagi-lagi pakaian yang kupakai di hari raya. Pukul 07.30 kami berangkat dari rumah. Sengaja kami berangkat lebih awal karena motor yang tidak bisa berjalan cepat. Dari pada terlambat lebih baik datang lebih awal bukan? Rumah Budhe Salimah belum terlalu ramai saat kami tiba. Beberapa tetangga dan kerabat sudah duduk di kursi. Aku pun segera dan duduk si kursi yang telah disediakan. Halaman rumah Budhe Salimah memang ditata kursi untuk digunakan para saudara yang diajak ke rumah mempelai wanita, termasuk aku. "Assalamualaikum." Aku menoleh ketika mendengar suara perempuan yang begitu familiar di telingaku. Mendadak senyum yang sempat tercipta hilang dalam sekejap mata. Perasaan tak nyaman pun memenuhi rongga dada. Aku takut ibu menghinaku di depan umum. "Sudah datang kamu, Rat?" ucap Mbak Dita saat berdiri di samping kursi yang kududuki. "Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?""Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?""Memalukan kamu, Rat!"Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri.""Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik
Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi. Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi. "Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya. Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan. Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas.""Maaf ya, Dek."Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?""Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi
"Saudara saya akan menikah, Bu. Kalau boleh gaji minggu depan dibayar diawal."Aku menunduk seraya meremas jemari, sekuat tenaga menahan rasa takut yang sejak tadi menelusup dalam rongga dada. Ini kali pertama aku meminta hak sebelum menjalankan kewajiban. Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku bahkan merasa tak memiliki muka. "Owalah, itu to Mbak.""I--iya, Bu.""Boleh kok, Mbak."Aku mendongak, menatap lengkungan indah di bibir majikanku. Ternyata Bu Susan tak marah seperti yang kubayangkan sejak tadi pagi.Aku mendekat. "Makasih ya, Bu.""Iya sama-sama. Kamu boleh pulang, Mbak ... kasihan suami kamu sudah menunggu sejak tadi.""Makasih,Bu. Saya pamit pulang." Aku membalikkan badan, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu."Mbak Ratna tunggu!"Aku menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga dapat melihat Bu Susan yang tengah mengambil sebuah kantung plastik di atas meja. "Ini untuk kamu.""Makasih, Bu."Seketika bibir melengkung ke atas. Hari ini Al
"Jelas beda to yo. Seno dan Jaka itu anak kandung Bu Endang. Kalau Ratna kan bukan."DEG! Dalam sekejap jantung ini seolah berhenti berdetak. Perkataan orang-orang bagai ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Bagaimana mungkin aku ini anak angkat. Tidak ... tidak, mereka pasti salah bicara. Aku juga anak kandung bapak dan ibu, toh wajahku mirip bapak. "Yang bener?""Ini sudah menjadi rahasia umum kalau Ratna bukan anak kandung Bu Endang. "Lalu Ratna anak siapa?" tanya sorang perempuan yang tengah memotong kubis. Aku diam seraya menahan sesuatu yang bergemuruh dalam rongga dada. Di sini aku mempertajam indra pendengaran. Aku ingin mengetahui kenyataan yang ada. Entah sepahit apa nanti, aku tak lagi peduli. Bukankah hidupku sudah teramat pahit? "Lho, Mbak Ratna kenapa berdiri di situ? Ayo ke sana!"Seketika semua orang menatap ke arahku. Mereka membisu. Hilang sudah kalimat hinaan yang sedari tadi terlontar untukku. Sialnya ... aku menjadi tak tahu kenyataan ini, siapa diriku seben
"Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku
"Kenapa diam, Dek?" Lagi aku memilih bungkam. Tidak ada untaian kata yang mampu menggambarkan betapa hancur hatiku kini. Hingga aku memilih diam. "Diammu, aku artikan iya, Dek."Seketika Mas Bima menarik tubuhku hingga menempel di dada bidangnya. Aku hanya bisa diam, menangis sejadinya di pelukkan suamiku. "Rumah kamu bukan lagi di sana, Ratna. Melainkan di sini... di sisiku."Aku kian terisak saat mendengar perkataannya. Seolah beban yang baru saja kutanggung lepas dalam sekejap mata. Ya, rumahku memang dia... bukan mereka. Karena hanya Mas Bima yang mampu mengerti diri ini. "Ayo pulang! Malu dilihatin orang nanti."Aku mengangguk, kemudian menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Mas Bima duduk di jok kendaraan roda duanya. Aku pun mengikuti gerakannya. Kami pulang dengan motor antik ditengah gempuran motor metik. Kini aku mengerti arti bahagia meski dalam kesederhanaan. Sejatinya bukan karena limpahan harta atau materi. Namun bersama orang yang tepat, maka hidupmu akan
"Bapak siapa ya? Kenapa mencari suami saya?""Saya ayahnya Bima."Ayah... bukankah ayah Mas Bima sudah meninggal sejak dia masih bayi? "Ayah Mas Bima?" tanyaku memastikan. "Iya, saya ayah kandung Bima.""Maaf, ayah suami saya sudah lama meninggal. Mungkin bapak salah orang."Aku menjawab sepengatahuanku. Memang kenyataannya kedua orang tua Mas Bima sudah meninggal dunia. Ibu Mas Bima meninggal beberapa bulan setelah kami menikah, sedang ayahnya saat Mas Bima masih bayi. "Bima yang mengatakan ayahnya sudah meninggal, Nak?"Nak? Kata panggilan itu terdengar aneh di telingaku. Umumnya kata nak digunakan saat memanggil putri atau orang terdekat yang umurnya jauh lebih muda. Aku saja tak mengenal lelaki itu, tapi kenapa dia memanggilku dengan sebutan Nak? "Iya, Pak."Lelaki di hadapanku nampak begitu sedih. Gurat-gurat kekecewaan tak dapat ia sembunyikan. Entah karena ucapanku yang salah atau jawaban yang tidak memuaskannya. Lebih dari satu menit kami mematung. Tenggelam dalam kebisua
Aku tercengang melihat halaman rumah yang telah dipenuhi dengan barang-barang elektronik dan berbagai perabot rumah. Ada sofa, kulkas, mesin cuci dan lain sebagainya. Entah siapa yang membeli barang sebanyak itu? "Kembalikan pada orang itu. Saya tidak mau menerima semua ini!" pekik Mas Bima. Aku pun melangkah mendekati sumber suara. Mas Bima tengah berada di dekat pagar masuk, tatapannya tajam kepada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dapat kulihat kemarahan di sorot netranya. "Kamu kenapa, Mas?" Aku sentuh pundaknya yang bergerak naik dan turun. Sebisa mungkin aku hilangkan amarah yang bersemayam dalam rongga dadanya. Aku belum tahu pasti pokok permasalahan sehingga Mas Bima marah besar. Satu hal yang dapat kucerna, kemarahan Mas Bima ada sangkut pautnya dengan barang-barang ini. Sebenarnya siapa orang yang mengirim benda-benda mewah ini? "Sekali tolong masukkan barang-barang ini ke dalam mobil lalu bawa pergi.""Tapi, Mas... barang-barang ini sudah dibayar lunas. Bahkan tiap o