Aku melirik benda bulat yang menempel di diding, masih pukul empat sore. Aku beranjak, melangkah perlahan menuju dapur. Sebuah dapur sederhana yang terletak tak jauh dari kamar mandi.
Bukan dapur dengan berbagai jenis perabot yang ada. Namun hanya kompor dan beberapa alat masak. Itu pun sudah tak layak pakai. Segera kuambil sebuah tempe yang ada di atas meja. Tempe dengan bungkus plastik yang akan menemani buka puasa hari ini. Sesaat kutatap tempe itu, tak terasa sesak memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak sedih jika kami hanya berbuka dengan lauk seadanya. Jangankan kolak, kami berbuka hanya dengan nasi dan tempe goreng saja. Bukan aku pelit atau perhitungan. Namun uang yang diberikan Mas Bima tak cukup untuk membeli ayam apa lagi kurma. Sesak memang tapi itu kenyataan yang harus aku jalani. Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tepis rasa iri yang sempat menyelimuti hati. Harusnya aku bersyukur karena bisa makan dua kali sehari meski hanya dengan lauk seadanya. Sedang di luar sana banyak orang tak mampu makan. Satu tempe aku potong menjadi delapan bagian. Berbentuk persegi dan tipis, kemudian aku goreng dilapisi tepung agar lebih tebal. Itu kulakukan agar satu tempe cukup untuk berbuka dan sahur nanti. Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Tempe kembali kuletakkan di atas meja. Kemudian aku melangkah menuju depan Rumah ini hanya terdiri dari satu kamar tidur, kamar mandi dan ruang tamu. Kontrakan kecil yang mampu kami sewa. Setelah menikah aku dan Mas Bima memutuskan tinggal terpisah dari keluarga, meski hanya kontrakan sederhana yang kami tempati. "Assalamu'alaikum, Dek," salamnya seraya menerbitkan sebuah senyuman. Segera aku jawab, tak lupa kucium punggung tangannya dengan khitmad. "Capek, Mas?" "Sedikit, Dek. Mas mandi dulu, ya." Mas Bima segera melangkah menuju kemar mandi. Aku pun segera melanjutkan menggoreng tempe yang sempat tertunda beberapa saat. Aku dan Mas Bima duduk di depan televisi yang sudah mati. Teh hangat menemani buka puasa kami. Hangatnya teh menghapuskan dahaga yang sempat tercipta. "Kenapa senyum, Mas?" Mas Bima merogoh saku celana, mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. "Untuk belanja dan beli parcel lebaran," ucapnya sambil tersenyum. "Ini hanya cukup untuk membeli belanja dan membeli satu parcel, Mas," ucapku sedikit ragu. Mas Bima seorang buruh bangunan. Saat puasa tak banyak orang yang membutuhkan jasanya. Dua hari ini dia bekerja di rumah Haji Samsul untuk mengecat rumahnya. Beliau ingin rumahnya terlihat bagus saat lebaran dua hari lagi. Aku pun ikut andil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari pagi hingga sore aku bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah Bu Susan. Gaji bulan ini habis untuk membayar kontrakan karena bulan lalu menunggak. "Parcel untuk ibu saja, Dek. Untuk Mas Seno dan Mas Jaka tahun depan saja. Mereka pasti mengerti. Toh ekonomi mereka jauh lebih baik dari kita." Aku menghela napas, mengangguk meski hati berat. Tak ada pilihan lain karena kami tak memiliki uang untuk membeli pacel lebih banyak. *** Aku sudah bersiap mengenakan pakaian terbaik. Gamis lebaran tahun lalu telah menempel di tubuhku. Saatnya berangkat menuju rumah ibu di kampung sebelah. Motor butut keluaran tahun 90 melaju pelan. Sesekali kami berhenti saat berpapasan dengan orang. Momen lebaran sangat cocok untuk bermaaf-maafan dengan orang lain. Kembali Mas Bima menjalankan kendaraan roda dua. Suara motor berwarna biru begitu khas sehingga menarik perhatian orang lain. Ya, karena hanya kami yang masih memiliki motor jadul. Dua mobil telah terparkir rapi di halaman rumah ibu. Mendadak perasaanku tak enak saat mengingat parcel yang ada di tangan kananku. Apakah ibu menerima parcel lebaran pemberianku? "Ayo, Dek!" Ragu aku melangkah mengikuti Mas Bima. Beberapa kali kuatar napas, menghilangkan rasa takut yang menelusup dalam rongga dada. Aku takut terhina hanya karena sebuah parcel lebaran. Rumah ibu begitu ramai, ada Mas Seno dengan keluarganya, begitu pula dengan Mas Jaka. Lagi-lagi kami datang paling akhir. Ini yang aku takutkan tatapan hina dari keluargaku sendiri. "Baru datang kamu, Bim? Masih pakai motor butut?" tanya Mas Seno, lebih tepatnya sindiran dari seorang kakak iparnya. "Bima sudah cinta mati sama motornya, Mas. Hingga enggan berpisah. Mungkin sampai kita ganti mobil beberapa kali," sambung Mas Jaka kian menyayat hati. Andai aku punya nyali sudah kutarik tangan Mas Bima lalu pergi dari kerumunan tak punya hati. Apa ini yang namanya keluarga? Bukan mendukung tapi justru menyakiti. "Kamu bawa apa, Rat?" tanya Mbak Dita seraya menelisik apa yang ada di belakang punggung ini. Tatapan menghina begitu ketara di mata istri Mas Seno. Seolah aku dan Mas Bima hanya sebuah sampah yang layak dibuang di tong depan rumah. Menyakitkan. "Bawa apa, Rat?" tanyanya lagi. Mulut ini terasa kelu, seolah tak mampu mengeluarkan kata. Aku tatap dua parcel mewah uang ada di atas meja. Bagaimana denganku yang hanya membawa satu kantung plastik dengan isi sederhana ini? "Pasti hanya gula, mie instan dan teh kan, Rat?" sindir Mbak Dita. "Ya, karena cuman itu yang mereka mampu, Mbak." Tanpa sadar tangan kiri mengepal, dada bergemuruh. Marah."Coba lihat, Rat!" Mbak Dita menarik tanganku hingga kantung plastik yang aku genggam terlepas. Jatuh semua isinya di lantai. Untung saja gula masih utuh meski terbentur dengan lantai keramik. "Nah bener, kan, Pa." Mbak Dita tersenyum sinis. Tatapan mengejek ia layangkan padaku. Aku tahan air mata yang hendak berseluncur bebas lalu mendarat di pipi. Biarlah mereka berbicara sesuka hati. Toh memang benar hanya gula dan teh yang mampu kuberikan untuk ibu. Aku mengambil satu persatu isi kantung plastik dan meletakkannya di atas meja, tepat bersebelahan dengan hempers pemberian Mas Seno dan Mas Jaka. Langkah tanganku seketika berhenti kala melihat tiga hempers untuk ibuku. Dari sini aku paham, hanya aku yang tidak mampu memberikan hantaran lebaran terbaik. Aku anak yang belum bisa membahagiakan orang tua. "Kenapa, Rat? Baru sadar jika hantaran lebaran kamu yang terburuk? Harusnya sebagai anak perempuan satu-satunya kamu bisa memberi lebih baik, Ratna."Aku membisu, perkataan Mbak Di
"Kamu gak minum dulu? Pasti haus kan jauh-jauh ke sini. Nanti sekalian cuci piring ya."Dalam hitungan detik amarah sudah mencapai ubun-ubun. Aku hendak melangkah mendekati perempuan yang telah membesarkanku itu. Akan aku jelaskan perasaan kesal dan amarah yang kutahan sejak lama. Namun genggaman tangan Mas Bima seolah memintaku untuk diam dan mengalah. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Cacian dan makian hanya ia anggap sebagai angin lalu. Mungkin di dunia ini hanya ada satu lelaki seperti itu, dan dialah suamiku. "Maaf, Bu. Kami tidak haus. Kami permisi, Assalamualaikum," ucapku lalu kembali melangkah meninggalkan teras itu. "Sombong, awas jika kamu meminta minum pada kami. Ibu atau aku tak akan memberi!" pekik Mas Seno. "Sudah, ayo kita pulang," ucap Mas Bima seolah memintaku mengabaikan ucapan kakak sulungku. "Ayo, Mas!"Mas Salim segera memasukkan kunci dengan bandul tali tersebut. Sengaja bandulnya tali karena kunci terkadang lepas sendiri. Mungkin karena motor kami terla
Krucuk ... Krucuk.... "Lapar, Rat?" tanyanya seraya melirik ke arahku. "Bukannya kalian dari rumah ibu ... apa kalian belum makan di sana?"Aku dan Mas Bima saling pandang. Mendadak mulut kami terkunci rapat. Kenapa Budhe Salimah bisa mengetahui apa yang terjadi pada kami? "Kenapa diam? Apa yang Budhe katakan bener to?" Budhe Salimah menghela napas. "Gak usah kalian dengarkan omongan mereka. Watak mereka memang begitu.""Iya, Budhe," jawabku datar. Sebenarnya aku ingin diam, tak menceritakan apa yang kami alami di rumah ibu. Bagiku itu adalah aib yang seharusnya kututup rapat. Namun ternyata tanpa aku bicara, Budhe sudah mengetahui kenyataan yang ada. "Dimakan dulu, Rat."Sedikit ragu aku membuka toples berisi kacang mede. Aku memakan tiga buah. Rasa kacang made khas Wonogiri memang begitu lezat. Entah berapa lama aku tak menikmati kacang ini. Kami tak memiliki cukup uang untuk membelinya. Kalau pun ada uang, aku lebih memilih membeli beras dibanding membeli kacang. "Budhe mau bi
"Pakai itu lagi, Rat? Gak ada baju atau gimana?"Sindiran Mbak Dita mampu membuat semua pasang mata menatap ke arahku. Mereka menatap ujung kepala hingga ujung kakiku. Tatapan menelisik hingga membuatku merasa tak nyaman. Apa yang salah dengan penampilanku saat ini? Aku masih menutup aurat. Pakaianku masih sopan dan layak digunakan. Ya, meski sudah kupakai beberapa kali. "Suami kamu gak mampu membelikan pakaian baru, Rat? Sampai baju lebaran tahun lalu kamu pakai ke acara ini."Aku terdiam dengan amarah yang nyaris meledak. Namun sekuat tenaga kutahan karena aku tidak ingin menciptakan keributan di acara ini. "Memangnya kenapa kalau bajuku tak baru? Bukankah sama saja?""Memalukan kamu, Rat!"Aku tersenyum datar, "akan jauh lebih memalukan ketika Mbak Dita kebingungan saat pakaian yang menumpuk di lemari dihisab kelak. Belum lagi tanggung jawab karena menyakiti hati adik ipar sendiri.""Kamu!" Mbak Dita menatapku tajam, tangan kanannya pun mengepal. Seolah menunggu hitungan detik
Rintik hujan menyambutku pagi ini. Belum lagi awan hitam yang menutupi hangatnya sinar mentari. Dia seolah memintaku kembali merebahkan badan dan tenggelam dalam mimpi. Sayangnya baik cerah atau hujan, aku harus tetap bekerja. Aku bukan orang kaya, tinggal menengadahkan tangan lalu semuanya akan tersedia. Biar pun keluargaku kaya, tapi aku tak akan meminta. Sudah cukup penghinaan yang selalu aku dapatkan. Aku akan berusaha sekuat tanaga untuk membahagiakan keluarga kecilku, meski bukan dengan limpahan materi. "Sudah mau berangkat, Dek?" tanya Mas Bima yang baru saja keluar dari kamar. Sarung dan koko masih menempel di tubuhnya. Mas Bima baru saja selesai mengaji. Ini rutinitas yang selalu ia lakukan saat tak ada pekerjaan. Maklum kuli bangunan tak selalu dibutuhkan. Aku melangkah mendekat. "Iya, Mas.""Maaf ya, Dek."Aku mematung, menatap penuh tanda tanya. "Untuk apa, Mas?""Maaf belum bisa menjadi suami yang mampu membahagiakan kamu. Maaf kamu harus ikut bekerja untuk mencukupi
"Saudara saya akan menikah, Bu. Kalau boleh gaji minggu depan dibayar diawal."Aku menunduk seraya meremas jemari, sekuat tenaga menahan rasa takut yang sejak tadi menelusup dalam rongga dada. Ini kali pertama aku meminta hak sebelum menjalankan kewajiban. Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku bahkan merasa tak memiliki muka. "Owalah, itu to Mbak.""I--iya, Bu.""Boleh kok, Mbak."Aku mendongak, menatap lengkungan indah di bibir majikanku. Ternyata Bu Susan tak marah seperti yang kubayangkan sejak tadi pagi.Aku mendekat. "Makasih ya, Bu.""Iya sama-sama. Kamu boleh pulang, Mbak ... kasihan suami kamu sudah menunggu sejak tadi.""Makasih,Bu. Saya pamit pulang." Aku membalikkan badan, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang tamu."Mbak Ratna tunggu!"Aku menghentikan langkah kemudian membalikkan badan hingga dapat melihat Bu Susan yang tengah mengambil sebuah kantung plastik di atas meja. "Ini untuk kamu.""Makasih, Bu."Seketika bibir melengkung ke atas. Hari ini Al
"Jelas beda to yo. Seno dan Jaka itu anak kandung Bu Endang. Kalau Ratna kan bukan."DEG! Dalam sekejap jantung ini seolah berhenti berdetak. Perkataan orang-orang bagai ribuan pisau yang menghujam tubuhku. Bagaimana mungkin aku ini anak angkat. Tidak ... tidak, mereka pasti salah bicara. Aku juga anak kandung bapak dan ibu, toh wajahku mirip bapak. "Yang bener?""Ini sudah menjadi rahasia umum kalau Ratna bukan anak kandung Bu Endang. "Lalu Ratna anak siapa?" tanya sorang perempuan yang tengah memotong kubis. Aku diam seraya menahan sesuatu yang bergemuruh dalam rongga dada. Di sini aku mempertajam indra pendengaran. Aku ingin mengetahui kenyataan yang ada. Entah sepahit apa nanti, aku tak lagi peduli. Bukankah hidupku sudah teramat pahit? "Lho, Mbak Ratna kenapa berdiri di situ? Ayo ke sana!"Seketika semua orang menatap ke arahku. Mereka membisu. Hilang sudah kalimat hinaan yang sedari tadi terlontar untukku. Sialnya ... aku menjadi tak tahu kenyataan ini, siapa diriku seben
"Lalu siapa orang tuaku, Bu.""Wanita itu ....""Ratna anak pungut, Bu?"Seketika aku menoleh, Mas Seno dan Mbak Dita sudah berdiri di dekat pintu. Mereka melotot dengan mulut terbuka lebar. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut dengan kenyataan ini. Nyatanya mereka juga merasakan hal yang sama. "Pantas dari kecil dia berbeda dengan aku dan Jaka, anak angkat ternyata."Ada yang remuk saat mendengar perkataan Mas Jaka. Kalau pun aku anak angkat, bukankah sudah 26 tahun kami hidup bersama. Tak adakah kenangan indah di antara kami? Sesak, dadaku seolah terpenuhi oleh cairan hingga tak ada oksigen yang mampu mengalir ke seluruh tubuh. Aku tak bisa lagi bernapas dengan benar ketika cairan bening berlomba-lomba membasahi pipi. Tuhan, kenapa sakitnya sedalam ini? Padahal aku tahu, keberadaanku tak berarti bagi siapa pun di rumah ini. Ibu beranjak dari ranjang. Dia melangkah menuju lemari. Tumpukan pakaian bagian atas dia angkat perlahan. Ibu mengambil sebuah foto. Entah foto siapa, aku