Share

Hantaran Lebaran
Hantaran Lebaran
Author: Dyah Ayu Prabandari

bab 1

Aku melirik benda bulat yang menempel di diding, masih pukul empat sore. Aku beranjak, melangkah perlahan menuju dapur. Sebuah dapur sederhana yang terletak tak jauh dari kamar mandi.

Bukan dapur dengan berbagai jenis perabot yang ada. Namun hanya kompor dan beberapa alat masak. Itu pun sudah tak layak pakai.

Segera kuambil sebuah tempe yang ada di atas meja. Tempe dengan bungkus plastik yang akan menemani buka puasa hari ini.

Sesaat kutatap tempe itu, tak terasa sesak memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak sedih jika kami hanya berbuka dengan lauk seadanya. Jangankan kolak, kami berbuka hanya dengan nasi dan tempe goreng saja.

Bukan aku pelit atau perhitungan. Namun uang yang diberikan Mas Bima tak cukup untuk membeli ayam apa lagi kurma. Sesak memang tapi itu kenyataan yang harus aku jalani.

Segera aku hapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku tepis rasa iri yang sempat menyelimuti hati. Harusnya aku bersyukur karena bisa makan dua kali sehari meski hanya dengan lauk seadanya. Sedang di luar sana banyak orang tak mampu makan.

Satu tempe aku potong menjadi delapan bagian. Berbentuk persegi dan tipis, kemudian aku goreng dilapisi tepung agar lebih tebal. Itu kulakukan agar satu tempe cukup untuk berbuka dan sahur nanti.

Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Tempe kembali kuletakkan di atas meja. Kemudian aku melangkah menuju depan

Rumah ini hanya terdiri dari satu kamar tidur, kamar mandi dan ruang tamu. Kontrakan kecil yang mampu kami sewa. Setelah menikah aku dan Mas Bima memutuskan tinggal terpisah dari keluarga, meski hanya kontrakan sederhana yang kami tempati.

"Assalamu'alaikum, Dek," salamnya seraya menerbitkan sebuah senyuman.

Segera aku jawab, tak lupa kucium punggung tangannya dengan khitmad.

"Capek, Mas?"

"Sedikit, Dek. Mas mandi dulu, ya."

Mas Bima segera melangkah menuju kemar mandi. Aku pun segera melanjutkan menggoreng tempe yang sempat tertunda beberapa saat.

Aku dan Mas Bima duduk di depan televisi yang sudah mati. Teh hangat menemani buka puasa kami. Hangatnya teh menghapuskan dahaga yang sempat tercipta.

"Kenapa senyum, Mas?"

Mas Bima merogoh saku celana, mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. "Untuk belanja dan beli parcel lebaran," ucapnya sambil tersenyum.

"Ini hanya cukup untuk membeli belanja dan membeli satu parcel, Mas," ucapku sedikit ragu.

Mas Bima seorang buruh bangunan. Saat puasa tak banyak orang yang membutuhkan jasanya. Dua hari ini dia bekerja di rumah Haji Samsul untuk mengecat rumahnya. Beliau ingin rumahnya terlihat bagus saat lebaran dua hari lagi.

Aku pun ikut andil untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari pagi hingga sore aku bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah Bu Susan. Gaji bulan ini habis untuk membayar kontrakan karena bulan lalu menunggak.

"Parcel untuk ibu saja, Dek. Untuk Mas Seno dan Mas Jaka tahun depan saja. Mereka pasti mengerti. Toh ekonomi mereka jauh lebih baik dari kita."

Aku menghela napas, mengangguk meski hati berat. Tak ada pilihan lain karena kami tak memiliki uang untuk membeli pacel lebih banyak.

***

Aku sudah bersiap mengenakan pakaian terbaik. Gamis lebaran tahun lalu telah menempel di tubuhku. Saatnya berangkat menuju rumah ibu di kampung sebelah.

Motor butut keluaran tahun 90 melaju pelan. Sesekali kami berhenti saat berpapasan dengan orang. Momen lebaran sangat cocok untuk bermaaf-maafan dengan orang lain.

Kembali Mas Bima menjalankan kendaraan roda dua. Suara motor berwarna biru begitu khas sehingga menarik perhatian orang lain. Ya, karena hanya kami yang masih memiliki motor jadul.

Dua mobil telah terparkir rapi di halaman rumah ibu. Mendadak perasaanku tak enak saat mengingat parcel yang ada di tangan kananku. Apakah ibu menerima parcel lebaran pemberianku?

"Ayo, Dek!"

Ragu aku melangkah mengikuti Mas Bima. Beberapa kali kuatar napas, menghilangkan rasa takut yang menelusup dalam rongga dada. Aku takut terhina hanya karena sebuah parcel lebaran.

Rumah ibu begitu ramai, ada Mas Seno dengan keluarganya, begitu pula dengan Mas Jaka. Lagi-lagi kami datang paling akhir. Ini yang aku takutkan tatapan hina dari keluargaku sendiri.

"Baru datang kamu, Bim? Masih pakai motor butut?" tanya Mas Seno, lebih tepatnya sindiran dari seorang kakak iparnya.

"Bima sudah cinta mati sama motornya, Mas. Hingga enggan berpisah. Mungkin sampai kita ganti mobil beberapa kali," sambung Mas Jaka kian menyayat hati.

Andai aku punya nyali sudah kutarik tangan Mas Bima lalu pergi dari kerumunan tak punya hati. Apa ini yang namanya keluarga? Bukan mendukung tapi justru menyakiti.

"Kamu bawa apa, Rat?" tanya Mbak Dita seraya menelisik apa yang ada di belakang punggung ini.

Tatapan menghina begitu ketara di mata istri Mas Seno. Seolah aku dan Mas Bima hanya sebuah sampah yang layak dibuang di tong depan rumah. Menyakitkan.

"Bawa apa, Rat?" tanyanya lagi.

Mulut ini terasa kelu, seolah tak mampu mengeluarkan kata. Aku tatap dua parcel mewah uang ada di atas meja. Bagaimana denganku yang hanya membawa satu kantung plastik dengan isi sederhana ini?

"Pasti hanya gula, mie instan dan teh kan, Rat?" sindir Mbak Dita.

"Ya, karena cuman itu yang mereka mampu, Mbak."

Tanpa sadar tangan kiri mengepal, dada bergemuruh. Marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status