Satu hari menjadi seorang istri, hari itu pula awal mula menjadi seorang janda. Hal itulah yang dirasakan oleh Indriana, putri tunggal dari seseorang yang sangat terpandang di kampungnya. Namun setelah sang Ayah meninggal dunia setelah Indri melakukan akad nikah secara dadakan dengan Andi, kekasihnya. Saat itulah kehidupan Indri berubah 180 derajat. Sebuah pengkhianatan dan perselingkuhan terjadi di kehidupannya, dan menjadi momok menakutkan, yang membuat Indri tak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Indri bertekad untuk melakukan pembalasan atas semua pengkhianatan yang berhasil membuatnya hancur. Akankah Indri akan kuat menghadapi semua ujian berat ini? Simak selengkapnya.
Lihat lebih banyakPOV IndriBruk!Tubuhku ambruk terlempar ke pinggir jalan. Badanku terasa sakit, dan aku mulai membuka mataku."Sakit," gumamku.Aku mencoba bangun walaupun punggungku terasa sakit."Bibi," panggilku.Tak ada sahutan sama sekali dari Bi Ratmi.Aku menoleh ke belakang dan mendapati tubuh yang terbaring dengan kepala berlumuran darah."Bibiiii!" teriakku histeris.Aku bangkit dan berlari tergopoh-gopoh ke arah Bibi. Terlebih dahulu aku melihat satu mobil yang melaju kencang, yang sempat hampir menabrakku.Aku melihat pita panjang melambai-lambai terbawa angin, di depan mobil yang sudah menjauh. Tapi aku tidak bisa membaca nomor polisi mobil itu, karena mobil itu melaju sangat kencang dan sudah menjauh."Bibi, apa yang terjadi, Bi? Kenapa Bibi bisa seperti ini?" tanyaku dengan perasaan panik."Indri, kamu selamat. Syukurlah …." lirih Bi Ratmi dengan suara yang hampir hilang."Apa maksud Bibi? Jangan bilang yang mendorongku itu adalah Bibi. Kenapa Bi? Kenapa Bibi mengorbankan diri Bibi un
POV IndriSebulan sudah aku menempati rumah bi Ratmi. Aku mulai merasa nyaman, perlahan aku bisa bangkit lagi.Hampir sebulan juga aku dan bi Ratmi berjualan jajanan makanan anak-anak. Alhamdulillah … anak-anak di kampung sini suka sama makanan buatanku. Tepatnya buatan Bi Ratmi. Aku hanya membantu mengiris dan menyiapkan wadahnya saja. Bahkan orang dewasa pun tak jarang mampir kesini, sekedar untuk membeli cemilan."Alhamdulillah ya, Bi. Uang kita sudah terkumpul lumayan banyak. Kalau begini terus, bisa-bisa kita punya warung beneran, Bi. Aku senang sekali, bisa usaha seperti ini bersama Bibi," ujarku, sambil menghitung sejumlah uang hasil berjualan kami."Iya, Bibi juga senang. Dengan begitu, Bibi tidak perlu jadi art lagi. Ini semua karena kamu yang sudah memberi semangat Bibi. Bahwa menjadi pengusaha sekecil apapun, lebih enak daripada kerja di tempat orang," sahut Bi Ratmi."Oh iya, tadi Bibi berpapasan sama lelaki warga kampung sini, namanya Yusuf. Dia titip salam buat kamu. Dia
POV HanaCetrek brus!Kobaran api melahap semua benda yang ada di dalam tong kecil, tempat membakar sampah."Habis kau Indri, sekalian mati saja kau!" gumamku.Aku membakar semua benda-benda kesayangan Indri. Seperti foto-foto dirinya, dan foto kebersamaannya dengan Pak Yudha.Aku puas melakukan semua ini. Entah kenapa, ada rasa bangga pada diriku sendiri, setelah mendapatkan segalanya yang aku mau. Mas Andi, dan harta kekayaan Indri. Aku bangga akan pencapaian terbesarku ini. Tapi sayang, ibuku tidak mendukung keberhasilanku ini. Ibu memilih pergi meninggalkanku. Aku sangat menyesalkan keputusan ibu."Sayang, lagi apa?" Aku menoleh dan mendapati Mas Andi sedang berdiri di belakangku."Aku habis membakar semua kenangan mantan istri kamu," jawabku santai.Mas Andi mendekatiku dan memelukku dari belakang."Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Andai aku tidak pernah bertemu kamu, mungkin sekarang aku masih menjadi karyawan biasa di pabrik itu. Atau lebih parahnya lagi, mungkin aku sa
POV Indri "Siapa? Siapa itu?"Aku mengedarkan pandangan, mencari siapa yang baru saja memanggil namaku."Aku … aku ada dimana?" Aku melihat sekeliling. Tempat yang kupijak begitu asing, aku tidak tahu aku sedang dimana. Aku seperti berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Langit berwarnakan jingga, menandakan waktu sudah sangat sore dan akan beranjak malam."Indri!"Sekali lagi aku mendengar seseorang tengah memanggil namaku.Aku berjalan menyusuri tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar."Indri, kesini, Nak!"Lagi-lagi suara itu menggema di telingaku. Tapi setelah didengar secara seksama. Aku baru sadar, bahwa itu adalah suara ayahku."Ayah! Ayahkah itu?" tanyaku.Air mataku berlinang, aku akan bertemu dengan ayah. Benarkah itu?Aku terus berjalan mencari keberadaan ayahku.Lama aku berjalan, sampai langkahku terhenti di sebuah bangunan seperti sebuah rumah. Terlihat bagus tapi terlihat suram dan sepi."Di tengah hutan ada rumah?" batinku berbicara.Aku berjalan mendekati rumah itu. P
POV Indri "Bi, rencana Bibi sekarang apa? Apakah Bibi mau mencari kerja lagi?" tanyaku saat kami berdua duduk di belakang rumah."Bibi belum tahu, sepertinya iya, Bibi akan mencari pekerjaan lagi, demi kelangsungan hidup," jawab Bi Ratmi.Aku langsung merangkul Bi Ratmi dari samping."Sebenarnya aku ada rencana, semoga Bibi suka dan tidak keberatan," ujarku."Rencana apa? Dan keberatan kenapa?" tanya Bi Ratmi."Aku punya rencana, bagaimana kalau kita buka usaha kecil-kecilan? Aku ingin memanfaatkan uangku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin aku dan Bibi bisa mengelola uang yang aku bawa dari rumah. Kita jualan jajanan makanan anak-anak. Gimana, Bi, ide aku?" imbuhku."Menurut Bibi sih itu pemikiran yang bagus. Boleh, kamu buka warung disini. Bibi sangat mendukung niatan kamu," sahut Bi Ratmi."Tapi aku mau Bibi temani aku jualan. Sekalian ajari aku membuat makanan enak seperti yang suka Bibi masakin makanan buat aku," pintaku penuh harap."Em … mau nggak ya?" imbuh Bi Ratmi."Mau dong …
POV Andi"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Hana.Aku mendekati Hana dan memperhatikan sebelah kakinya."Berdarah, kenapa kamu nggak bilang kalau kaki kamu berdarah? Pasti rasanya sakit kan?" tanyaku."Nggak apa-apa, Mas, ini cuma luka kecil. Dipasang plester sudah cukup, nanti juga sembuh," jawab Hana."Ayo ikut aku," ajakku.Aku menarik tangan Hana, dan menyuruhnya naik ke atas motorku. Tak ada penolakan sama sekali dari Hana. Dia hanya berjalan menurutiku."Kita mau kemana, Mas?" tanya Hana, saat dirinya sudah berada di atas motorku. Posisi kami saat ini sedang berboncengan."Ke suatu tempat," jawabku simpel.Aku melakukan motorku ke jalan raya. Hana hanya diam menatap jalanan tanpa banyak bicara.Beberapa menit kemudian, aku menghentikan motorku di depan sebuah apotek."Kita mau ngapain kesini, Mas?" tanya Hana."Aku mau beli obat, kasihan kamu. Kalau dibiarkan, takutnya infeksi," jawabku.Aku dan Hana turun dari motor. Aku menyuruh Hana menunggu di dekat motorku.Setelah obat didapat
POV Andi"Tenang, Bu, aku baik-baik saja disini. Aku pastikan, aku akan segera pulang membawa kebahagiaan buat Ibu dan Bapak. Kalian jaga kesehatan, jangan pikirin aku yang tidak-tidak. Pokoknya jangan khawatir, aku bisa jaga diri baik-baik. Aku ini cerdas, Bu, Pak. Kalian juga tahu itu! Tidak seperti anak culun itu, yang sama sekali nggak ada gunanya. Cuma nasib saja yang belum membuatku mujur. Tapi sekarang, kalian berdua pasti akan terkejut. Tapi aku tidak bisa memberitahunya sekarang. Ini bakalan menjadi kejutan besar buat kalian berdua. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mau istirahat dulu." Aku memutuskan sambungan telepon setelah melakukan panggilan telepon dengan kedua orang tuaku di kampung.Sebentar lagi aku akan memberikan kejutan besar untuk kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka pasti akan bangga dan bahagia melihat anaknya bisa sesukses ini. Aku akan memboyong kedua orang tuaku untuk tinggal di rumah baruku ini.Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa."Indri … Indri. Haih … senang se
Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah.Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi.'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku.Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi."Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu."Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku.Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek"Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang
"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya."Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu.Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik."Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana."Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tol
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.