Hidup disini membuatku tambah tak betah. Padahal aku sudah berusaha untuk disini. Semua sudah kukorbankan. Bahkan sampai aku jauh dari keluargaku. Namun, tak sedikitpun mereka yang menghargai. Hanya ibu mertuaku yang kadang mengerti. Mas Hakim pun tak menghargaiku. Apalagi semenjak aku keguguran. Aku merasa tak ada artinya disini. Pekerjaan pun tak kunjung kudapatkan. Aku juga telah kehilangan anak. Aktivitasku disini hanya membantu di rumah. Sekarang juga mengasuh anak mbak Namira. Ia masih belum kembali ke rumahnya. Kondisinya belum begitu pulih. "Melamun saja kau ini.""Aku tak ada kerjaan lain, Mas Hakim. Mau cari tak kunjung dapat.""Mangkanya kalau diinterview itu harus bisa.""Aku sudah berusaha semampuku. Ini kenyataannya. Kadang mereka butuh pengalaman yang lebih.""Kalau kamu masih susah cari kerja, tak usah lagi interview. Hanya buang-buang waktu saja!""Tapi Mas..""Sudah, kamu di rumah saja. Bantu apa yang bisa kamu bantu. Daripada mencari sesuatu yang tak jelas."Aku m
"Aku tidak bisa kesana. Ada banyak pekerjaan. Walaupun libur sekolah, aku masih sibuk.""Yah, sudah. Biar aku sendirian saja.""Kau yakin?"Mas Hakim akhirnya memberitahukan kepada ibunya. Ia menyampaikan keinginanku untuk pulang. Jelas mertuaku tak setuju. Terlebih lagi aku ingin pulang sendirian. "Jangan dulu, Hakim. Pulang sendirian juga nanti di jalan gak baik. Dia itu bukan asli sini!" Ujar Ibu Mertuaku."Mau bagaimana lagi, Bu? Dia sendiri yang mau pulang." "Kasih tahu Tazkiyah. Jangan pulang sendirian. Pulang bareng kamu juga gak bisa. Kamu mau kerja kan?""Ya. Aku sudah bilang begitu. Tapi dia tetap kekeh ingin pulang sendiri.""Biar nanti Ibu yang ngomong ke dia."Besoknya aku memang diajak mertuaku bicara. Ia bicara banyak padaku. Termasuk menyinggung rencana kepulanganku. "Kamu mau pulang ke Sulawesi?""Rencananya iya, Bu.""Disini saja. Disini rame, banyak keluarga. Tempatmu sepi kan? Hanya ada ibu dan ayahmu.""Iya, Bu.""Disini saja. Hakim juga sibuk bekerja. Kasihan
"Mas!""Apa lagi?""Kamu kok langsung sensitif gitu jawabnya? Aku mau tanya, kamu tadi janji besok maraton kan?""Ya. Aku lupa.""Baru sebentar kok lupa, Mas? Besok gimana?""Ibuku minta diantar ke rumah mbak Namira besok. Bagaimana kalau lusa saja maratonnya?""Kamu ini." Aku langsung pergi meninggalkannya. Teramat kecewa sekali. Aku tidak menyalahkan mertuaku. Ia juga tak tahu besok akan maraton. Aku pasrah, tak mungkin marah. Namun Mas Hakim bisa segitunya melupakanku. Apa aku tak ada dalam pikirannya lagi? "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Tiba-tiba Zaky meneleponku. Di tengah aku yang sedang sedih. "Ada apa Zaky?""Aku sekarang ada di Jakarta.""Kamu gak kerja?""Sedang libur, kusempatkan ke tempat temanku. Sekalian aku ingin bertemu denganmu. Bagaimana kabarmu?""Alhamdulillah baik, Zaky.""Kalau boleh, aku mampir ke rumahmu. Ada suamimu kan disana? Sekalian kenalkan aku dengannya.""Aku di rumah mertuaku. Kalau kau tak sungkan mainlah. Kadang suamiku ada di rumah. Kalau
Ada saja yang diributkan mas Hakim. Ia merasa cemburu dengan sepupuku sendiri. Walau Zaky sepupu tiri, namun aku sadar. Aku cukup tahu diri untuk memiliki hubungan dengannya. Mas Hakim sama sekali tak memikirkan perasaanku. Padahal sudah kujelaskan dengan benar. Sedangkan dia dengan muridnya saja kudiamkan selama ini. Dia bahkan hampir setiap hari mengajarnya privat. Mas Hakim tampak akan pergi. Kurasa dia akan mengajar privat. Tampak sangat rapi sekali dia. Bau parfumnya sangat menyengat. Dia seperti salah tingkah. Apa semenjak ia mendugaku selingkuh dengan Zaky?Jangan sampai membuat dia semakin bebas. Tak mau ia melampiaskan dengan perempuan lain."Mau berangkat ngajar, Mas?""Ya.""Kamu di rumah sama ibu. Jangan pergi tanpa izin. Kalau tak izin lagi, tahu sanksinya.""Ya."Mas Hakim pergi siang ini. Ia berpesan denganku agar di rumah saja. Aku tak boleh pergi tanpa izin. Sementara aku sangat ingin pergi dengannya. Setidaknya ada waktu satu hari saja. "Hakim sudah pergi, Tazkiyah
Mas Hakim telah bicara pada ibunya. Kemudian pintu kamar mandi pun diperbaiki. Aku sedikit lega. Jadi aku tak perlu takut lagi. Namun, tetap saja canggung. Selama ini aku menjaga auratku. Namun harus mengalami kejadian ini. Mas Hakim masih belum mau berusaha punya anak. Aku selalu bilang ingin punya keturunan. Namun ia masih menundanya. Setiap melihat orang tua bersama anaknya, aku merasa sedih. Mas Hakim kemana yah? Aku mencarinya tak ada. Suasana rumah tampak sepi. Sehabis mengerjakan tugas rumah, aku tak melihatnya dari tadi. Saat itu ada yang datang. Mungkin mas Hakim. Lalu kulihat ke arah pintu depan. Bukan, ternyata itu Zulfi. Perasaanku menjadi canggung. Di rumah hanya ada kami berdua. Sehingga aku memutuskan untuk keluar rumah. Tidak baik rasanya hanya berdua. Walaupun ipar, Zulfi tetap bukan mahramku. Aku keluar dari rumah, saat itu berpapasan pula dengan tetangga. "Eh, Mbak Tazkiyah." "Bu Retno.""Lagi apa, Mbak?""Duduk-duduk saja. Gerah di dalam rumah.""Main saja ke ru
Selama menjalani hubungan ini, aku selalu merasakan sakit. Mas Hakim seolah tak memikirkan perasaanku. Aku bingung harus mengambil sikap. Setiap merasa goyah, kudengarkan kajian. Supaya hatiku bertambah kuat. Aku harus tetap tegar dan ikhlas. Alhamdulillah aku masih bisa melihat kajian online. Hingga perasaan emosiku bisa kubendung. Namun, sanggupkah aku melihat suamiku di sosmed. Sementara itu tidak denganku. Melainkan dengan wanita lain. "Mas. Setidaknya hargai aku. Jangan sering upload foto sama wanita lain.""Apaan sih kamu ini. foto juga rame-rame.""Tapi ada bagian Mas mengupload dekat wanita lain. Apalagi perempuan itu sangatlah seksi. Aku malu, Mas.""Kamu ini memang tak mengerti suamimu yah. Aku ini kerja!""Yah sudah. Cuma aku malu, aku ini berkerudung besar. Aku sedih lihat kamu menempel dengan wanita seksi itu.""Kamu ini, aku foto sama muridku berhijab tak boleh. Ini perempuan seksi juga dipermasalahkan.""Bukan itu, Mas. Kuakui, wajar bila aku cemburu. Aku ini istrimu.
Aku tak bisa lagi menahannya. Keyakinanku seakan runtuh menghadapi mas Hakim. Lama-kelamaan aku mulai tak nyaman. Mas Hakim sama sekali tak memikirkanku. Aku laksana debu di matanya. Tak dihiraukan. Ia pulang kerja sore. Setelah itu makan dan istirahat. Kemudian ia tidur. Kadang malamnya ia melanjutkan pekerjaannya. Kemudian tidur kembali. Berulang kali itu dilakukannya. Aku sampai bosan. Sebagai istri, aku tentunya jenuh. Jenuh menghadapi situasi seperti ini. Tak ada yang bisa kulakukan. Saat tak ada kegiatan, aku hanya bisa termenung dalam kamar. Mau menonton tv bersama mertua, aku tak nyaman. Ada mbak Namira disana. Pasti ada saja yang ia bahas. Itupun hanya untuk menyudutkanku. Kucoba tak terlihat menutup diri. Aku pun berkumpul bersama mereka."Tazkiyah, jangan di kamar saja. Disini nonton tv sama kami." Aku terkejut ketika mertuaku bicara. Ia tiba-tiba berkata demikian. Mungkin ia risih melihat sikapku di rumah. Aku merasa canggung karena mbak Namira. Ia sama sekali tak tahu pe
Aku tak dapat pulang. Mungkinkah sudah muncul penyesalan ini?Kukira dengan jalan ta'aruf, pernikahanku bahagia. Bukan hanya itu, hidupku juga. Ini salahku karena sebelumnya tak memilih aqidah. Memang salah kalau aqidah berlawanan. Tak ada yang salah dengan aqidahku. Hanya penampilan menjadi faktor kebencian mereka. Mungkin mas Hakim tak suka penampilanku. Dianggap aku selayaknya radikal. Aku bukan seperti itu. Hanya orang tertentu saja berbuat demikian. Kuharap aku dapat istiqomah. Begitupula dengan lisanku. Ada benar juga dikatakan mas Hakim. Aku tak boleh gegabah lagi. Tiba-tiba minta cerai. Emosiku sudah memuncak kala itu. "Jadi aku tetap tak bisa pulang?""Sudahlah jangan minta itu terus. Mana mungkin kamu bisa pulang.""Kalau mas Hakim tak bersedia, sebaiknya beri aku kebahagiaan.""Kebahagiaan apa lagi yang kurang? Memang kau tak bisa mengerti suami cari nafkah.""Selama ini sudah kubiarkan Mas kerja diluar. Setidaknya pikirkan nafkah lahir batinku. Supaya aku tak terus mendes