Felicia dan Theo masih berciuman, suhu tubuh mereka meningkat. Ciuman yang penuh emosi terjadi.
Bibir mereka masih saling bertaut. Hembusan napas menderu. Dan, bisa Felicia rasakan kalau tangan Theo mengusap pinggangnya.
Ketika mendengar suara lenguhan Felicia, Theo menarik diri dengan napas terengah.
"Bu Feli, kita nggak bisa begini," ucap Theo pelan tapi tegas. Meskipun suaranya terdengar aneh setelah ciuman tadi.
Felicia mengerjap, seolah baru tersadar dari mimpi. Wajahnya memerah antara mabuk, malu, dan bingung.
“M-maaf, The.” Felicia bicara lirih.
Lalu, dengan tergesa Felicia bangkit dari tempat tidur. Ia berlari keluar dari kamar Theo.
Felicia tiba di kamarnya, ia menutup pintu rapat-rapat dan merebahkan tubuh di atas kasur. Ia berusaha memejamkan mata, namun sulit.
Sial! Malam ini Felicia yakin kalau ia akan sulit tidur. Bayangan ciuman tadi terus menghantui pikirannya. Hatinya mulai diliputi rasa bersalah da
Malam yang panas dan penuh gairah itu berlanjut.Di dalam kamar yang remang-remang, tubuh Theo dan Felicia bergerak seirama, mengikuti hasrat mereka yang tak tertahankan.“Feli …” bisik Theo dikuti erangan seksinya.“Theo …” Felicia menyahut dengan suara yang tak kalah seksi didengar oleh Theo.Nafas mereka saling bersahutan. Bibir mereka kembali bertemu untuk kesekian kalinya. Suara desahan dan erangan memenuhi ruangan, menambah intim suasana di antara mereka.Setiap sentuhan meninggalkan jejak panas seperti percikan api, mampu membakar gairah mereka.Felicia tak dapat mengendalikan dirinya lagi, setiap gerakan Theo seolah menambah percikan api dalam tubuhnya.Saat Theo menatapnya dalam-dalam dengan sorot mata yang dipenuhi kabut gairah, Felicia merasa berdebar sekaligus tak dapat menjuhkan pandangannya dari Theo.Hingga akhirnya, mereka mencapai puncak kenikmatan bersama, menahan teriakan
Felicia berdiri di pinggir sungai dengan jaket Theo yang melindungi tubuhnya dari pandangan orang lain. Hatinya berdebar tak karuan melihat perhatian yang diberikan oleh Theo.Ketika pandangan mereka bertemu, Felicia gugup ditatap intens oleh berondong itu. Tatapan Theo terasa menusuk hingga ke dalam hati."Makasih, Theo," ucap Felicia dengan suara lirih, mencoba menenangkan diri.Theo hanya tersenyum, lalu berkata, "Sama-sama, Feli. Nanti ganti baju jangan yang warna putih lagi.”“Uhm … oke.”Felicia mengangguk.“Theo!”Felicia dan Theo menoleh, datang sosok Sophia dengan baju yang juga basah.“Aku kedinginan, The. Kamu nggak mau pakaikan aku jaket juga?” tanya Sophia dengan ekspresi sok imut.“Jaket yang aku bawa cuma satu,” kata Theo, tak lagi tersenyum.Sophia cemberut lalu melirik ke jaket Theo yang Felicia kenakan. Hal itu membuat Felicia canggung,
Felicia masih tertegun dengan hangatnya genggaman tangan besar Theo, melingkupi tangannya yang lebih kecil.Saat sesi foto berakhir, Felicia perlahan melepaskan genggamannya dan menarik napas dalam-dalam.“Mau lihat hasilnya!” seru Sophia.Semua orang mulai bergerak mendekati sang fotografer untuk melihat hasil foto mereka, termasuk Felicia. Dan, Felicia cemberut melihat hasilnya.Bagaimana tidak? Di hasil foto, wajah Felicia menampakkan raut kaget. Ini gara-gara Theo yang membuatnya terkejut dengan menggenggam tangannya! Tapi, untungnya tak terlihat di kamera kalau tangannya sedang digenggam oleh Theo, terhalang tubuh yang lain.“Haha, Fel! Mukamu kenapa begitu? Seperti terkejut melihat hantu,” tawa Diana.Felicia makin cemberut, ia pun menatap tajam ke arah Theo. Tapi, Theo malah tampak menahan tawa.Setelahnya, mereka kembali ke vila untuk bersiap-siap pergi belanja oleh-oleh. Malam ini adalah malam terakhir
Tatapan dingin Theo menusuk ibu tirinya yang berdiri di depannya. Felicia bisa merasakan ketegangan yang membesar di antara mereka.“Nggak perlu menyapa Papa juga bakal ketemu lagi,” kata Theo dengan suara tajam, tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya.Theo kembali menarik tangan Felicia. Baru saja hendak melangkah, tapi suara ibu tirinya kembali terdengar.“Kamu mau langsung pergi? Nggak sopan sekali sama Mamamu,” ujar ibu tiri Theo.Felicia menatap ibu tiri Theo yang tersenyum sinis. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres di antara Theo dan wanita itu.Theo terdiam sejenak, tak merespon wanita itu. Setelahnya, dengan wajah tegang ia menarik Felicia menjauh. Mereka berjalan cepat meninggalkan tempat itu, menyusuri keramaian pasar. Felicia bisa merasakan betapa kuatnya genggaman tangan Theo.Tanpa mereka sadari, ibu tiri Theo menyuruh salah satu bawahannya,“Selidiki wanita itu,” tunju
Felicia berusaha mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang menggelayuti pikirannya. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Ia mencoba melupakan kejadian aneh di bandara dan saat dalam perjalanan ke rumah.Saat Felicia baru saja merebahkan tubuh ke atas kasur, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Theo. Entah mengapa Theo meneleponnya, ia pun mengambil ponsel lalu mengangkatnya.[Halo, Feli. Udah sampai rumah?]Felicia mengernyit, dari nada bicara Theo terdengar khawatir. Memangnya ada apa?“Udah. Kalau kamu bagaimana?”[Saya juga udah di apartemen.]Felicia merespon dengan anggukan, meskipun ia tahu Theo tak melihatnya.[Besok mau saya jemput? Berangkat bareng.]Felicia bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Theo mengajaknya berangkat bersama? Apa mungkin … Theo hendak mengungkapkan perasaan lagi padanya?Duh, Felicia jadi tak nyaman.“Nanti merepotkan, nggak usah,” u
Felicia melangkah dengan cepat menjauhi lobi, perasaan tidak nyaman masih menggelayuti hatinya setelah bertemu dengan mama tiri Theo. Kata-kata wanita itu terus terngiang-ngiang di pikirannya.Felicia mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang kerjanya kembali.Sesampainya di ruangan, Felicia langsung menuju ke meja Marcell. Ia mengetuk pintu dengan ragu sebelum akhirnya masuk.“Permisi, apa Pak Marcell memanggil saya?” tanya Felicia.Marcell menoleh, wajahnya tampak bingung. “Saya nggak memanggil kamu.”Felicia tertegun. “Nggak memanggil saya?”Marcell menggelengkan kepala. “Enggak. Memangnya ada apa?”“Enggak ada apa-apa, Pak. Tadi saya pikir dipanggil sama Pak Marcell. Kalau begitu, saya permisi.”Felicia berjalan ke tempat duduknya dengan raut bingung. Berarti, tadi Theo berbohong padanya. Theo bilang, dia dipanggil oleh Marcel
Tanpa Theo sadari, Samuel memergoki Theo yang sedang tersenyum tipis. Samuel curiga, jangan-jangan Theo sudah punya pacar?Samuel tersenyum menyebalkan. “Kak Theo, apa kamu sudah punya pacar sekarang?” tanyanya dengan nada menyindir, seolah mengejek.Theo menatap Samuel dengan tajam, bibirnya mengatup rapat.“Sepertinya sudah.” Itu bukan suara Samuel, melainkan Regina. “Ada seorang wanita yang dekat denganmu ‘kan, The? Kalau nggak salah, dia karyawan tetap di perusahaan, satu divisi di tempat kamu magang.”Rahang Theo mengeras. Dia mencengkeram pisau di tangannya, berusaha menahan marah yang membara di dalam dadanya.“Nggak, Mama salah.” Theo biasa memanggil Regina ‘mama’ jika ada Martin, terpaksa. “Wanita itu bukan siapa-siapa, dia hanya karyawan yang pernah membimbingku sebagai anak magang. Kami dekat karena itu.”“Apa benar begitu, Theo?” Kali ini Ma
“Saya butuh kamu untuk menemani sampai besok,” imbuh Theo.Felicia menatap ragu. “Tapi …”“Please …” mohon Theo disertai puppy eyesnya.Felicia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tatapan memohon Theo membuat hatinya goyah.Ditambah lagi, sekarang ini Theo memasang ekspresi sok imut khas berondong ganteng yang menggemaskan. Astaga, kalau sudah begini, Felicia makin sulit untuk menolak permintaan Theo.Felicia menatap Theo dalam-dalam. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Felicia mengangguk perlahan.“Saya ikut kamu ke apartemenmu,” ucap Felicia akhirnya.Senyum tipis terukir di wajah Theo. “Makasih, Feli.”“Saya cuma menemani kamu aja ‘kan? Nggak ada yang aneh-aneh?” tanya Felicia, memastikan.“Enggak. Saya nggak akan ngapa-ngapain.”“Oke, saya mau berkemas dulu,