Felicia masih tertegun dengan hangatnya genggaman tangan besar Theo, melingkupi tangannya yang lebih kecil.
Saat sesi foto berakhir, Felicia perlahan melepaskan genggamannya dan menarik napas dalam-dalam.
“Mau lihat hasilnya!” seru Sophia.
Semua orang mulai bergerak mendekati sang fotografer untuk melihat hasil foto mereka, termasuk Felicia. Dan, Felicia cemberut melihat hasilnya.
Bagaimana tidak? Di hasil foto, wajah Felicia menampakkan raut kaget. Ini gara-gara Theo yang membuatnya terkejut dengan menggenggam tangannya! Tapi, untungnya tak terlihat di kamera kalau tangannya sedang digenggam oleh Theo, terhalang tubuh yang lain.
“Haha, Fel! Mukamu kenapa begitu? Seperti terkejut melihat hantu,” tawa Diana.
Felicia makin cemberut, ia pun menatap tajam ke arah Theo. Tapi, Theo malah tampak menahan tawa.
Setelahnya, mereka kembali ke vila untuk bersiap-siap pergi belanja oleh-oleh. Malam ini adalah malam terakhir
Tatapan dingin Theo menusuk ibu tirinya yang berdiri di depannya. Felicia bisa merasakan ketegangan yang membesar di antara mereka.“Nggak perlu menyapa Papa juga bakal ketemu lagi,” kata Theo dengan suara tajam, tidak bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya.Theo kembali menarik tangan Felicia. Baru saja hendak melangkah, tapi suara ibu tirinya kembali terdengar.“Kamu mau langsung pergi? Nggak sopan sekali sama Mamamu,” ujar ibu tiri Theo.Felicia menatap ibu tiri Theo yang tersenyum sinis. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres di antara Theo dan wanita itu.Theo terdiam sejenak, tak merespon wanita itu. Setelahnya, dengan wajah tegang ia menarik Felicia menjauh. Mereka berjalan cepat meninggalkan tempat itu, menyusuri keramaian pasar. Felicia bisa merasakan betapa kuatnya genggaman tangan Theo.Tanpa mereka sadari, ibu tiri Theo menyuruh salah satu bawahannya,“Selidiki wanita itu,” tunju
Felicia berusaha mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang menggelayuti pikirannya. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Ia mencoba melupakan kejadian aneh di bandara dan saat dalam perjalanan ke rumah.Saat Felicia baru saja merebahkan tubuh ke atas kasur, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Theo. Entah mengapa Theo meneleponnya, ia pun mengambil ponsel lalu mengangkatnya.[Halo, Feli. Udah sampai rumah?]Felicia mengernyit, dari nada bicara Theo terdengar khawatir. Memangnya ada apa?“Udah. Kalau kamu bagaimana?”[Saya juga udah di apartemen.]Felicia merespon dengan anggukan, meskipun ia tahu Theo tak melihatnya.[Besok mau saya jemput? Berangkat bareng.]Felicia bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Theo mengajaknya berangkat bersama? Apa mungkin … Theo hendak mengungkapkan perasaan lagi padanya?Duh, Felicia jadi tak nyaman.“Nanti merepotkan, nggak usah,” u
Felicia melangkah dengan cepat menjauhi lobi, perasaan tidak nyaman masih menggelayuti hatinya setelah bertemu dengan mama tiri Theo. Kata-kata wanita itu terus terngiang-ngiang di pikirannya.Felicia mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruang kerjanya kembali.Sesampainya di ruangan, Felicia langsung menuju ke meja Marcell. Ia mengetuk pintu dengan ragu sebelum akhirnya masuk.“Permisi, apa Pak Marcell memanggil saya?” tanya Felicia.Marcell menoleh, wajahnya tampak bingung. “Saya nggak memanggil kamu.”Felicia tertegun. “Nggak memanggil saya?”Marcell menggelengkan kepala. “Enggak. Memangnya ada apa?”“Enggak ada apa-apa, Pak. Tadi saya pikir dipanggil sama Pak Marcell. Kalau begitu, saya permisi.”Felicia berjalan ke tempat duduknya dengan raut bingung. Berarti, tadi Theo berbohong padanya. Theo bilang, dia dipanggil oleh Marcel
Tanpa Theo sadari, Samuel memergoki Theo yang sedang tersenyum tipis. Samuel curiga, jangan-jangan Theo sudah punya pacar?Samuel tersenyum menyebalkan. “Kak Theo, apa kamu sudah punya pacar sekarang?” tanyanya dengan nada menyindir, seolah mengejek.Theo menatap Samuel dengan tajam, bibirnya mengatup rapat.“Sepertinya sudah.” Itu bukan suara Samuel, melainkan Regina. “Ada seorang wanita yang dekat denganmu ‘kan, The? Kalau nggak salah, dia karyawan tetap di perusahaan, satu divisi di tempat kamu magang.”Rahang Theo mengeras. Dia mencengkeram pisau di tangannya, berusaha menahan marah yang membara di dalam dadanya.“Nggak, Mama salah.” Theo biasa memanggil Regina ‘mama’ jika ada Martin, terpaksa. “Wanita itu bukan siapa-siapa, dia hanya karyawan yang pernah membimbingku sebagai anak magang. Kami dekat karena itu.”“Apa benar begitu, Theo?” Kali ini Ma
“Saya butuh kamu untuk menemani sampai besok,” imbuh Theo.Felicia menatap ragu. “Tapi …”“Please …” mohon Theo disertai puppy eyesnya.Felicia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tatapan memohon Theo membuat hatinya goyah.Ditambah lagi, sekarang ini Theo memasang ekspresi sok imut khas berondong ganteng yang menggemaskan. Astaga, kalau sudah begini, Felicia makin sulit untuk menolak permintaan Theo.Felicia menatap Theo dalam-dalam. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Felicia mengangguk perlahan.“Saya ikut kamu ke apartemenmu,” ucap Felicia akhirnya.Senyum tipis terukir di wajah Theo. “Makasih, Feli.”“Saya cuma menemani kamu aja ‘kan? Nggak ada yang aneh-aneh?” tanya Felicia, memastikan.“Enggak. Saya nggak akan ngapa-ngapain.”“Oke, saya mau berkemas dulu,
Theo cepat-cepat memberikan tissue kepada Felicia sambil tertawa kecil.“Nih,” kata Theo dengan senyum hangatnya.Felicia membersihkan mulutnya sendiri lalu berujar, “Maaf, The. Kamu sih bikin saya kaget!"Theo malah kembali tertawa. Seolah terhibur dengan reaksi Felicia.Felicia yang merasa bersalah pun menyodorkan tissue kepada Theo. “Nih, bersihkan muka kamu.”Theo menerim tissue itu. Namun, sebelum menggunakannya, Theo tersenyum lalu mengambil sebutir nasi goreng di wajahnya dan memakannya.Sontak, Felicia melotot melihatnya. “Theo, jorok! Itu ‘kan bekasnya saya!”“Enak kok,” kata Theo.Felicia hanya bisa melongo. Sebelum Theo memakan lagi bekas nasi di wajah, Felicia beranjak dari duduk lalu membersihkan wajah Theo dengan tissue.“Nggak usah aneh-aneh,” ucap Felicia.Theo hanya tersenyum. Dan, tiba-tiba menahan tangan Felicia agar tak men
Felicia terus mengusap punggung Theo dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan. Dia merangkul Theo lebih erat, membiarkan pria itu menangis sepuasnya.Beberapa menit kemudian, tangis Theo akhirnya mereda. Theo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Feli. Baju kamu jadi basah, saya nggak seharusnya nangis begini,” ucap Theo dengan suara serak khas seseorang habis menangis. Dia lantas menunduk, terlihat malu.Felicia menggeleng, menatap Theo dengan penuh pengertian. “Nggak apa-apa kok.”Theo tersenyum tipis, merasa lebih lega. Dia terdiam cukup lama, tatapannya lurus ke depan, seperti sedang mengenang kejadian di masa lalu.“Mama saya orangnya baik banget. Saking baiknya, Mama masih mau bertahan walaupun ada cewek ular merusak rumah tangganya,” ucap Theo, bercerita tiba-tiba dengan raut wajah yang berubah marah.“Apa maksudnya Mama tirimu?” tebak Felicia.“Ya,” angguk Theo. “Padahal Mama saya jauh lebih cantik.”Theo mengeluarkan dompet dari sakunya dan membuka
Felicia tertegun, pertanyaan Theo membuatnya bingung. Ia bisa merasakan intensitas emosi Theo yang berusaha menahan kecewa. Dalam situasi seperti ini, ia merasa tak berdaya, tak tahu harus menjawab apa."Theo, saya..." Felicia menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Saya butuh waktu."Theo menatap Felicia dengan mata penuh harapan yang mulai memudar."Berapa lama lagi, Bu Feli? Saya butuh kepastian. Saya udah berusaha sebisa saya, tapi rasanya seperti berjalan di tempat."Felicia mengalihkan pandangannya, mendadak ada perasaan bersalah yang menghinggapinya. Ada banyak alasan yang membuatnya tak bisa menerima perasaan Theo.“Kamu pasti tahu sendiri kalau kita nggak pantas bersama,” ucap Felicia, dengan terpaksa.“Karena apa? Jangan bilang alasannya masih karena umur saya dan karena saya cuma anak magang di sini?” tanya Theo dengan nada bicara yang mulai meninggi.Felicia tak menjawab. Ia