Share

Bab 7 - Kepergok

“Lepas, The! Saya harus pergi!”

Sayangnya, Theo tak menggubris. Ia memejamkan mata dan memeluk Felicia sambil mencari posisi yang nyaman. Sedangkan Felicia kesulitan ketika mencoba melepaskan tangan Theo yang membelit tubuhnya.

Felicia menghela napas pada akhirnya, berniat membiarkan Theo seperti ini hanya sekitar sepuluh menit. 

Namun, ia yang lelah malah berakhir terpejam.

Mereka sama-sama ketiduran.

Itu adalah malam yang melelahkan, tapi anehnya Felicia bisa tidur dengan nyenyak. Kasur yang ia tempati terasa sangat hangat dan nyaman. Bahkan selimutnya bisa membelai pipinya dengan lembut.

Tunggu!

M-membelainya?

Felicia membuka matanya lebar-lebar. Wajah Theo yang sedang mengerjapkan mata, lalu tersenyum hangat menjadi pemandangan pertama.

Namun, bukan itu masalahnya. ‘Sejak kapan aku berada di pelukan pria ini?!’

“AAAA!” Felicia refleks mendorong tubuh Theo. “Apa yang kamu—”

Seketika, ia teringat dengan kejadian tadi malam. Astaga, bisa-bisanya ia berakhir ketiduran di kasur Theo!

Felicia berdeham, hendak segera pergi untuk menutupi rasa malunya, tetapi Theo lebih dulu menahannya.

“Mau ke mana?” tanya Theo.

“Pulang.”

Bukannya langsung melepaskan tangan Felicia, Theo malah bergerak cepat memposisikan diri di atas tubuh Felicia, menindihnya. Wajahnya yang berubah serius itu mengingatkan Felicia akan malam itu.

Ah… tubuh bagian bawah Felicia terasa panas sekarang.

“T-Theo! Jangan main-main! Mi-minggir kamu!” teriak Felicia.

Theo malah terkekeh, lalu mulai meletakkan kepalanya ke ceruk leher Felicia. Ia mengendus feromon wanita itu dalam-dalam, seolah ingin menelannya saat itu juga. 

“Jangan langsung pergi, Feli…” suaranya yang rendah menggelitik telinga Felicia, hingga tubuhnya menegang. “Saya lapar….”

Felicia kehilangan kata-katanya. Setiap mau menjawab, hanya suara desahan yang keluar, dan itu membuat Theo semakin gencar menggodanya. Tangan pria itu mulai bergerak, membelai lembut pinggangnya dengan gerakan naik-turun. Lalu, beralih ke paha…

Grrrr~

Keduanya terdiam. Theo pun mengangkat kepalanya dari leher Felicia.

“Suara apa itu?”

Felicia memalingkan wajah. Ia tahu persis suara itu, tapi tidak mau menjawabnya. Lalu, seperti takdir sedang mempermainkannya, suara itu kembali terdengar.

Dan pada saat itulah, terdengar kekehan Theo. “Sudah kuduga, kamu lapar juga ‘kan?”

Suara perut Felicia ternyata lebih ampuh daripada teriakannya. Helaan napas lega keluar dari mulut Felicia ketika Theo sudah beranjak dari atas tubuhnya.

Astaga, tadi itu mendebarkan sekali. Parahnya, ia malah sempat teringat dengan kejadian panas saat di hotel. Boleh saja pria itu terlihat polos, tapi sebenarnya adalah pemangsa yang lapar.

Theo menyuruh Felicia memakai kamar mandi lebih dulu, Felicia pun menurut karena khawatirnya jika ia menolak maka Theo akan berbuat yang aneh-aneh.

Selesai mandi, Felicia mencium bau harum masakan. Tunggu, siapa yang sedang memasak?

Langkah Felicia membawanya ke dapur dan menemukan sosok Theo sedang berkutat dengan peralatan memasak.

“Kamu bisa masak?” tanya Felicia.

Theo tersenyum, menoleh sekilas. “Bisa. Bu Feli tunggu aja di situ, nggak lama lagi matang.”

Felicia mengangguk-angguk, menarik kursi, lalu duduk di sana. Ia diam sambil mengamati punggung Theo.

Kagum, itulah yang Felicia rasakan. Theo ternyata bisa memasak. Seandainya Theo seumuran dengannya atau lebih tua, maka Theo bisa menjadi calon suami yang sempurna. Wajah, fisik, dan uang. Semuanya oke. 

‘Sayang sekali, Theo… tipeku itu pria matang yang lebih tua dariku,’ Felicia berdecak pelan.

Lagipula, apa yang akan dikatakan keluarganya kalau membawa Theo sebagai calon suami. Masih mahasiswa, belum bekerja, dan bahkan lebih muda dari adiknya. Bisa-bisa ibunya langsung menjodohkannya dengan duda beranak dua.

“Silakan.” Theo menghidangkan hasil masakannya ke atas meja lalu. “Saya udah lama tinggal sendiri, jadi biasa masak sendiri. Semoga rasanya cocok sama lidah Bu Feli.”

Dari penampilannya memang menggugah selera. Nasi goreng itu tampak berkilauan dengan telur mata sapi yang sempurna. Felicia mencoba sesuap. Ia terbelalak saat mulai mengunyahnya, ternyata rasanya enak.

Felicia berangsur makan dengan lahap, bahkan sampai tersedak sendiri. Ia baru ingat, semalam tidak makan dengan benar dan hanya minum alkohol dan makan camilan. Pantas saja perutnya sangat lapar.

“Pelan-pelan” Theo terkekeh, sambil mengusap bibir Felicia dengan ibu jarinya. Ada sisa kuning telur di sana, dan tanpa jijik Theo menjilat ibu jarinya sendiri.

Felicia terbelalak untuk kesekian kalinya. Ia jadi malu lagi, dan buru-buru membuang muka dengan pipi yang memanas.

*

Setelah drama pagi tadi, Felicia tidak juga bisa terlepas dari Theo. Pria itu ngotot untuk berangkat kerja bersama menggunakan mobilnya. Alasannya adalah untuk balas budi karena sebelumnya Felicia sudah mengantar Theo yang mabuk sampai ke apartemen.

Felicia berusaha menolak dan memberi alasan akan pulang ke rumah lebih dulu untuk berganti pakaian. Rupanya alasan itu tidak berguna karena Theo sangat keras kepala. Malah pria itu sudah menyita tas dan ponselnya, lalu pergi mengambil mobil.

Akhirnya, Felicia menurut. Theo juga mengantarnya pulang, tetapi Theo menunggu agak jauh dari rumahnya agar tidak ketahuan tetangganya.

Dan di sinilah mereka sekarang. Di parkir basement kantornya.

“Kita berpisah di sini. Jangan masuk bersama, nanti ada yang lihat,” ucap Felicia saat keluar dari mobil Theo.

Untungnya saat ini di basement tampak sepi. Felicia menghela napas lega sebelum berjalan.

Baru berjalan sebentar, tiba-tiba langkah Felicia terhenti saat merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Melalui wangi parfum, Felicia tahu kalau pelakunya Theo.

“Sebentar aja, please,” mohon Theo.

Felicia terdiam kaku bak patung. Ada apa dengan Theo? Kenapa tiba-tiba memeluknya seperti ini?

Tanpa mereka sadari, ada sosok wanita yang berdiam di mobil hitam itu menatap mereka dengan mata melotot. Urat-urat lehernya menegang. Mata itu hanya tertuju tajam ke arah Felicia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status