Aku duduk frustasi di tepi ranjang. Siapa yang sudah mengambil fotoku dengan Rindu, saat Rindu tengah memelukku sambil menangis di Taman Flaminggo lalu mengirimnya pada Farida?Padahal aku sama sekali tidak membalas pelukannya. Aku justru berusaha melepaskan pelukannya. Farida benar-benar sudah salah paham.Aku menangkup wajah dengan kedua tangan. Pikiranku kacau. Tiba-tiba ponselku di atas ranjang bergetar, rupanya panggilan masuk dari Mbak Eka, ku abaikan saja. Hingga Mbak Eka kembali menghubungi beberapa kali dan tetap ku abaikan.Tok tok tok! Tok tok tok!Seseorang setengah menggedor pintu. Hhh … malas aku membukanya, tapi dibiarkan gedorannnya malah semakin keras.Gontai aku melangkah, lalu membukakan pintu. Rupanya, Mila. Mau apa dia mengetuk pintu seperti orang keset*nan seperti tadi."Apa sih? Berisik!"Bugghh!Tiba-tiba saja Mila mendaratkan tinju di perutku, membuatku terjatuh karena tidak siap dengan tinju darinya. Memang sudah tidak waras dia ini.Aku hanya mampu memegangi
Istriku Yang Mulai Mandiri***Aku tidak dapat fokus bekerja. Pikiranku terpecah kemana-mana. Kalau saja tadi Pak Budi tidak menarikku, sudah kuhajar si Malik itu, tak peduli dia temanku selama ini, jika dia berani mendekati istriku, aku tidak terima.Disela bekerja, aku mencuri-curi waktu untuk melihat ponsel. Melihat WhatsApp Farida yang ternyata masih belum aktif. Hanya ada pesan dari Mbak Eka, namun aku tak membukanya, malas. Kusimpan kembali ponsel diatas meja kerja, dan melanjutkan pekerjaanku yang masih banyak.Bel istirahat berbunyi. Secepatnya aku keluar dari ruanganku dan menuju area gudang untuk mencari Malik. Benar saja, ia baru keluar dari gudang penyimpanan bahan. Setengah berlari aku mendekat ke arahnya. Ia yang tidak menyadari kedatanganku, memudahkanku untuk langsung mencengkram kerah kemejanya, dan menyeretnya ke tembok."Lu bawa istri gue kemana?" tanyaku tanpa basa-basi. Membuat Malik terhenyak.Belum kudapat jawaban dari Malik, seseorang menarik kerah kemejaku da
Pulang dari pabrik aku melajukan kendaraan roda duaku dengan pelan. Berharap aku bisa menemukan Farida. Saat mendekati belokan gang menuju rumah, aku menepikan motor, lalu kuperhatikan jalanan sekitar, mungkin saja Farida tiba-tiba ada disekitar sini. Saat tengah memperhatikan jalanan, tiba-tiba mataku tertuju pada bengkel milik Jana yang ada di seberang jalan.Aku melihat motor Farida ada di bengkel Jana. Kenapa bisa ada di situ? Kemarin saat aku mencari Farida, bengkel Jana memang sudah tutup karena sudah malam. Lantas aku membawa motorku menuju bengkel Jana."Jan, ini motor Farida, 'kan?" tanyaku setelah turun dari motor.Jana hanya mengangguk sambil membereskan bengkelnya yang akan tutup."Terus mana Farida?" tanyaku kemudian.Jana mendelik. "Farida bukannya istri, Lo? Kenapa Lo tanya dia sama gue?"Aku menghela nafas. "Kasih tau gue, dimana Farida, Jan! Gue mau nemuin dia!""Suami macam apa lo? Masa' istri sendiri lo gak tau ada dimana?" "Gak usah banyak basa-basi, Jan, cepet ka
Mbak Eka duduk sambil bersedekap di kursi yang ada dihadapanku. Sementara Mbak Sinta duduk di sebelahku. Mereka sudah seperti petugas yang siap menginterogasi maling saja."Kemana Farida?" Mbak Eka memulai pembicaraan. Ia bertanya dengan nada suara mengintimidasi.Aku belum mampu menjawab. Entah aku harus jujur atau berbohong saat ini."Iya, kemana? Gak mungkin pulang kampung lagi 'kan?" sambung Mbak Sinta. Namun, Mbak Sinta bertanya dengan lebih halus.Aku hanya mampu menunduk sambil menggosok kedua telapak tangan. Aku tak berani menatap wajah kedua kakakku ini."Farida … Farida …" Aku menghela nafas. "Farida pergi, Mbak," ucapku akhirnya."Iya, Mbak tau Farida pergi. Mila juga sudah bilang, yang Mbak tanyakan, Farida pergi kemana?" jelas Mbak Eka. Benar dugaanku, Mila pasti sudah mengadukan kepergian Farida pada kedua kakakku."Mm … mm …"Susah sekali jika sudah berhadapan langsung dengan Mbak Eka seperti ini."Am, mm, am, mm, ngomong yang bener!" tegas Mbak Eka. Membuatku semakin t
Pukul 11 malam, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Sudah lelah aku mencari kesana kemari, tapi Farida tak juga kutemukan. Jana pun tak mau membuka pintu rumahnya. Entah kemana lagi aku harus melangkah. Hingga akhirnya aku memilih pulang meski tanpa Farida.Tok tok tok!"Mbak … buka pintu, Mbak!"Sesampainya di depan rumah, aku langsung mengetuk pintunya, dan memanggil kedua kakakku."Mbak! Buka pintunya!" ujarku sekali lagi.Namun, tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Aku lantas mengeluarkan ponsel dan menelpon Mbak Eka. Tidak aktif. Lalu kuhubungi nomor Mbak Sinta. Tidak aktif juga. Agh … sial.Mau tidur dimana aku malam ini. Tega sekali Mbak Eka dan Mbak Sinta padaku. Aku lalu menaikkan motorku dan memarkirkannya di teras depan kamar.Uuh, kotor sekali lantainya. Tidak ada Farida, memang tidak ada yang menyapu dan mengepelnya. Aku lalu mengeluarkan lap bersih yang selalu kusimpan dalam bagasi motor. Kemudian aku jadikan alas untuk duduk. Aku duduk dan bersandar pada motor. B
Sore ini aku pulang lebih awal. Namun, motorku malah kehabisan bensin pas di belokan gang. Terpaksa aku mendorong motorku menuju rumah, biar nanti aku menelpon si Beni penjual bensin eceran.Saat aku menepikan motorku di depan rumah, pintu rumahku sedikit terbuka dan aku mendengar suara Mbak Eka dan Mbak Sinta seperti sedang berbicara dengan seseorang. Namun, entah siapa karena seperti berbicara di telpon.Karena motorku mati, kedua kakakku itu tidak menyadari kepulanganku. Lantas aku mengendap mendekati jendela rumah dan menguping."Ya, kamu istirahat dulu saja," ujar Mbak Eka."..........""Dia cari kamu, Rida, tapi sesuai permintaan kamu, Mbak gak kasih tau. Malah Mbak suruh dia cari kamu sampai ketemu," kekeh Mbak Eka.Degh!Rida? Mbak Eka menyebut Rida? Tidak salah lagi, Mbak Eka pasti sedang menelpon dengan Farida. Jadi, Mbak Eka sudah tau Farida ada dimana?Aku menajamkan kembali pendengaranku."Nanti kalau dia sudah pulang, Mbak akan suruh dia cari kamu lagi," ujar Mbak Eka."
Di rumah, aku duduk bersandar di kursi ruang tamu. Kujadikan tanganku sebagai bantal yang menopang kepalaku. Sudah jam 7 malam, kedua kakakku dan Farida belum juga pulang. Aku masih berpikir, apa kurangku selama ini kepada Farida. Sampai ia bilang tidak bahagia selama ini dan ingin berpisah denganku.Aku memejam. Kenapa Farida selalu mempermasalahkan uang bulanan dariku. Kenapa ia tidak bersyukur dengan uang yang aku beri. Kenapa ia selalu menginginkan uang yang lebih.Kalau saja Farida bisa mengatur uang yang kuberikan dengan baik, aku yakin, uang itu pasti cukup bahkan ada sisa. Tapi memang dasarnya saja dia tak pandai berhemat dan mengelola keuangan. Makanya uang yang kuberi tiap bulan selalu dikatakan kurang.Seketika, aku membuka mata. Apa itu hanya alasannya saja? Apa jangan-jangan, sebenarnya ia ingin berpisah denganku karena ingin menjalin hubungan dengan Jana?"Arghh …."Aku meremas rambutku. Iya, pasti Jana sudah menghasut Farida agar meminta berpisah dariku."Assalamu'alaik
*Tiga hari berlalu*Aku menyalakan televisi namun tak kunikmati tayangannya. Pikiranku berkelana. Memikirkan Farida yang ternyata kukuh dengan keputusannya. Malam ini merupakan hari terakhir dari waktu yang kuberikan. Namun, Farida tak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Ia justru menyuruh orang untuk mengambil barang yang katanya dibeli dari uangnya.Tinggal mesin cuci yang belum diangkut. Aku melarang orang suruhannya untuk mengangkut mesin cuci itu. Lumayan juga mencuci dengan mesin cuci. Tidak terlalu capek. Kalau sampai mesin cuci itu diangkut, bebanku malah bertambah.Rup!Tiba-tiba aliran listrik di rumahku mati. Apa ada pemadaman lampu? Tapi kenapa tumben sekali? Aku beranjak dari ruang televisi dan berjalan keluar dengan bantuan lampu senter dari ponsel.Kenapa rumah Mila terang-terang saja? Rumah di sebelahku juga tidak gelap. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Jangan-jangan tokennya habis? Duh, ada-ada saja.Gegas aku mengunci pintu rumah dan mengendarai motor ya