“Hai, Savanah! Heran ya kenapa aku memakai gaun pengantin juga?” tanya Milka dengan senyum manis ketika mereka bertemu tatap di depan pintu gereja.
Savanah mengangguk dengan kepala penuh pertanyaan.
Sepupunya itu pun kembali mengembangkan senyum dan memutar tubuhnya seakan memamerkan gaun pengantinnya yang berkilauan.
“Karena aku akan menikah hari ini!” sahutnya lagi dengan suara yang terdengar begitu riang.
Savanah terhenyak. Milka akan menikah? Di hari yang sama dengan pernikahannya dengan Moreno? Kenapa mendadak seperti ini?
Karena bisu dan Milka tidak mengerti bahasa isyarat, Savanah pun menggerakkan jarinya dengan sederhana, bertanya, “Kau akan menikah dengan siapa?”
Senyum centil Milka mengembang semakin lebar dengan sepasang matanya memutar genit. Ketika dilihatnya Moreno muncul dari sudut ruangan, Milka cepat memanggil pria itu agar datang padanya.
Savanah semakin heran dengan rasa hati yang mulai berfirasat tak enak.
‘Kenapa Milka memanggil Moreno? Moreno kan calon suamiku?’
‘Ah, mungkin Milka hanya ingin berbagi kabar bahagianya denganku sekalian juga dengan Moreno.’
Savanah tetap berusaha mengatur pikirannya tetap positif.
Hanya saja, ketika Moreno telah tiba di dekat mereka, pria itu malah bergeser ke sisi Milka dan membiarkan tangan Milka bergelanyut di lengannya.
“Maaf ya, Sav, tapi aku akan menikah dengan Moreno.”
Savanah terhenyak lagi.
Milka menikah dengan Moreno? Bagaimana bisa? Tatapan Savanah yang sengit pada Moreno menuntut jawaban.
Namun, Moreno hanya menunduk menghindari tatapan Savanah.
“Ehm! Benar apa yang dikatakan Milka. Keluarga besarku masih sulit menerima kekuranganmu sehingga mereka pun memberikan syarat, jika aku masih ingin menjadi bagian keluarga Dyazz, aku harus menikah dengan wanita yang tanpa cacat satu pun.
Karena itulah, aku pun memilih Milka daripada ditendang dari bagian keluarga Dyazz.
Kau tahu kan arti keluarga Dyazz bagi diriku ini?”
Savanah semakin ternganga. 'Aku wanita cacat?'
Hati Savanah seperti ditusuk belati saat mendengarnya. Dia sungguh tak menyangka jika kebisuannya dianggap sebagai suatu kecacatan.
Padahal bisu ini didapatnya karena kecelakaan.
Sungguh terlalu jahat kata-kata Moreno!
Selagi mengatur emosi yang begitu menyesakkan dalam dadanya, Savanah tiba-tiba mendengar deru mobil yang begitu kencang lewat dan mengerem mendadak di depan halaman gereja.
Sesosok pria bertubuh tinggi besar turun dengan melompat dari Jeep-nya lalu dengan wajahnya yang menahan kemarahan pria itu berjalan cepat menuju Moreno.
Tanpa sepatah katapun, pria yang dikenali Savanah sebagai Storm, kakak tiri Moreno, langsung melayangkan tinjunya pada Moreno.
“Sialan kau! Kau membunuh anjingku! Kau biadab!”
Setelah meninju, Storm menarik lagi kerah jas Moreno agar dia bangkit kembali hanya untuk ditinju lagi.
“Kau tidak berperikemanusiaan! Kau lebih rendah dari Rufus!” ujarnya lagi.
Kericuhan itu mencuri perhatian seketika itu juga. Ibunya Moreno sampai berteriak-teriak dan dalam sekejap security pun sudah dipanggil untuk menenangkan mereka.
“Dasar sialan! Anak haram! Untuk apa kau datang ke sini? Kau tidak diundang! Kau tidak diterima! Jangan mengacau di pernikahan putraku!”
“Diam! Aku datang untuk membalas kematian Rufus!”
“Hah! Anjingmu itu merusak taman bungaku!”
“Merusak taman bungamu?! Hah! Dia itu anjing terlatih, tidak pernah sekalipun dia mendatangi kawasan kalian! Lagipula, dia mati karena peluru di pekarangan rumahku! Kalau bukan kalian menembaknya, siapa lagi?!”
Suasana jadi semakin ricuh karena Storm lagi-lagi mengincar Moreno yang baru juga bangkit berdiri dibantu oleh Milka sebagai tempat pelampiasan kemarahannya.
Security pun dipanggil dan diminta untuk menahan Storm.
Mereka menangkap tubuh Storm yang berusaha meraih Moreno lagi untuk meninjunya lagi.
Storm semakin marah tapi dengan mudahnya dia melepaskan diri dari cekalan tangan-tangan security dan memelototi mereka satu per satu.
Di saat itulah, tatapan Storm tanpa sengaja terpaku pada Milka dan Savanah bergantian.
Rasa penasarannya pun timbul.
“Kenapa dia memakai gaun pengantin?” tanyanya terheran-heran dengan kemarahan yang masih tertera kental di wajahnya.
Kesal karena Storm memukuli Moreno, Milka menjawab lantang dengan dagu terangkat tinggi, “Karena aku yang akan menikah dengan Moreno!”
“Apa?” Storm memandangi Savanah lagi. “Lalu kau?”
Savanah tak sanggup menjawab. Selain karena Storm tidak mengerti bahasa jarinya, dia juga tak sanggup menjelaskan tentang dirinya yang sebentar lagi akan menjadi pengantin yang ditinggalkan.
Tapi lagi-lagi, suara lantang Milka terdengar penuh percaya diri. “Savanah ya tentu saja akan pulang. Moreno dan seluruh keluarga Dyazz sudah memilihku daripada dia yang bisu!”
Hati Savanah kembali perih mendengar kata-kata itu.
Milka sepupunya, kenapa tega berkata begitu? Lagipula, tidakkah dia sadar dirinya memang bisu, tapi tidak tuli?
Berusaha keras agar bulir bening di pelupuk matanya tidak jatuh ke pipi, Savanah terperangah melihat Storm yang wajahnya malah terlihat geram ingin mencabik-cabik Milka.
Pria itu seperti hendak meledak dan menyemburkan kemarahan yang teramat dahsyat. Seperti gunung berapi yang siap meletus.
Ketika pria itu mengalihkan tatap ke Moreno, Storm pun melanjutkan lagi aksinya melampiaskan kemarahan pada Moreno.
Dia mencengkeram kerah Moreno dan berdesis di depannya, “Bagaimana kau bisa seegois ini pada Savanah, hah?! Kalau memang akhirnya begini, seharusnya kau tidak perlu merencanakan pernikahan ini dengannya!”
Storm melepas Moreno dengan dorongan kuat hingga Moreno terjatuh lagi ke lantai.
Savanah begitu tak menyangka bahwa Storm menjadi satu-satunya orang yang membelanya saat ini.
Dipandanginya terus wajah Storm yang masih menyorot marah pada Moreno. Bagaimana bisa Storm mengatakan semua hal tadi?
Jujur saja, Savanah cukup tersentuh.
Namun suara menggelegar ibunya Moreno mengalihkan perhatian Savanah. Petir kilat yang lain kembali menyambar hatinya saat mendengar ibunya Moreno menghardik Storm dengan sengitnya,
“Kalau kau begitu peduli padanya, kenapa tidak kau saja yang menikahi Savanah? Lagipula, kalian sebenarnya sangat cocok, dia bisu dan kau berandalan pengangguran. Kalian pasangan serasi!”
Savanah terhenyak. Dia tak menyangka ibu Moreno sanggup berkata seperti itu tentangnya.
Padahal, ibu Moreno dan ibunya adalah dua teman baik.
Dengan hati yang semakin hancur, Savanah pun membalik tubuhnya. Dia sudah memutuskan lebih baik pulang saja sebagai pengantin yang dibuang, daripada dia mengemis pada Moreno untuk tetap menikahinya.
Dia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Savanah hanya berbalik dan mulai melangkah.
Tapi tiba-tiba saja, terasa tangan Storm menahannya.
Ketika tatapannya mengarah ke wajah Storm, dilihatnya pria itu berkata dengan mantap dan penuh kesungguhan, “Aku tidak akan membiarkanmu menjadi pengantin yang dibuang. Aku yang akan menikahimu, Savanah!”
Savanah makin terhenyak. Storm bersedia menikahinya? Savanah memang cukup mengenal Storm karena pria itu adalah kakak tiri Moreno. Tapi hanya itu saja. Mereka tidak pernah berinteraksi sebelum ini. Masalah lainnya lagi, Storm Schaeffer tidak terkenal karena prestasinya, tapi karena wataknya yang meledak-ledak. Menyinggung seorang Storm sama dengan menawarkan diri menjadi samsak bagi pria itu. Bahkan saat ini pun, Savanah bisa melihat bagaimana tampilan Storm sangat cocok dengan julukan yang disematkan padanya. Berandalan. Tubuh Storm yang tinggi dan kekar ditunjang dengan wajahnya yang memetakan kekerasan hati. Dengan rambut setengah gondrong, serta kemeja lengan panjang yang bagian lengan digulung sampai siku, tapi dikenakannya tanpa dimasukkan ke dalam celana jeans-nya, Storm jauh dari kata rapi. Apalagi saat Savanah menatap bagian depan kemejanya. Tiga kancing bagian dadanya dibiarkan terbuka begitu saja. Tidak bisakah dia merapikan dirinya dulu sebelum datang ke tempat sepe
“Kau lihat tadi? Pengantin wanitanya diganti. Si bisu malah menikah dengan putra haram Braxton Dyazz yang berandalan dan pengangguran. Sungguh kasihan!” “Ya, kau benar. Tapi dari dulu aku sudah tak percaya jika Miranda akan benar-benar merestui putra satu-satunya menikah dengan Savanah yang bisu. Kau tahu kan, Moreno itu ahli waris mereka.” “Ck! Tentulah, seorang Miranda mana mungkin menerima menantu cacat seperti itu. Aku tidak terlalu terkejut saat tadi melihat Savanah malah menikah dengan si pengangguran yang berandal itu. Mereka memang pasangan yang cocok.” Savanah terhenyak ketika sayup-sayup mendengar bisik-bisik orang-orang itu. Hatinya kembali tergores ketika dia disebut sebagai si bisu, lalu dianggap cocok menjadi istri dari Storm hanya karena Storm berandalan dan pengangguran. Begitu pun sebaliknya. "Astaga mulut mereka itu, benar-benar ya?!" Brianna, rekan kerja Savanah di Paradise Cakery, sebuah toko kue terbesar dan paling terkenal di kota mereka, tiba-tiba saja sud
“Aku tinggal di rumah reyot ini. Maaf kalau tempatnya berantakan. Aku sungguh tidak menduga jika hari ini aku akan menikah.” Sepulang dari prosesi pernikahan, Storm membawa Savanah melintasi jalanan yang mengarah ke mansion utama keluarga Dyazz. Sepanjang jalan, Savanah sempat gelisah mengira Storm pun tinggal di mansion keluarga Dyazz. Tapi ternyata, sebelum mencapai mansion keluarga Dyazz, Storm membelokkan mobilnya menuju perkebunan terbengkalai dan berhenti di depan sebuah rumah kayu yang disebutnya rumah reyot. Savanah merayapkan tatapannya pada rumah kayu di hadapannya. Memang tampak sederhana, tapi baginya tidak reyot sama sekali. Bisa dia lihat bahwa rumah itu terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik. Susunan kayu yang terpasang sangat teratur dan rapi. Savanah bisa melihat teknik pembangunan rumah yang bukan asal-asalan. Tiba-tiba saja ekor gaunnya terasa ringan. Ternyata Storm sudah berada di belakangnya dan mengangkat ekor gaunnya agar dia bisa melangkah lebih mudah.
Langit sudah berwarna keoranyean ketika Savanah melintasi jalan setapak dari pekarangan rumah Storm hingga ke teras belakang mansion keluarga Dyazz. Angin malam yang dingin pun mulai membelai kulit Savanah dan meninggalkan jejak dingin yang cukup menusuk. Beruntung jalan setapak yang dilalui Savanah berupa tanah yang kering dan solid. Ketika akhirnya Savanah tiba di teras belakang mansion keluarga Dyazz, langit sudah semakin temaram. Penerangan kini mengandalkan sinar rembulan, lampu taman, serta lampu teras. Savanah sudah menunggu lagi selama lima menit dengan berjalan pelan, bolak balik di teras belakang mansion keluarga Dyazz. Tunggu ditunggu, Milka tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. 'Ke mana sih Milka? Dia yang mengajak bertemu tapi tidak muncul-muncul?' Menyesal rasanya karena Savanah meninggalkan ponsel di rumah. Tadinya dia berpikir dia sudah membalas dengan ‘Oke’ pada ajakan bertemu dari Milka. Seharusnya balasannya itu cukup membuat Milka menunggu di titik pertem
Savanah sungguh tak menyangka jika reaksi Storm akan seperti itu. Dia sendiri pun sampai terlonjak kedua bahunya akibat hantaman tangan besar Storm ke meja. Lalu Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya: [Itu hanya dugaanku saja. Bisa saja itu terjadi karena ketidaksengajaan.] Storm membaca lalu mengernyit lebih tak suka lagi. “Tidak sengaja bagaimana? Kamar Moreno itu ada di lantai tiga! Sedangkan di dekat teras adalah kamar kosong yang tak terpakai!” Suara Storm masih terdengar gusar. Tapi kata-katanya membuat Savanah mematung. Benarkah? Itu hanyalah kamar kosong? Jika iya, berarti ... Savanah mengetik lagi: [Berarti Milka memang sengaja?] “Menurutku begitu. Huh, sangat kurang ajar! Kau tenang saja, Savanah, aku akan membuat perhitungan dengannya!” Savanah: [Tidak perlu, Storm. Biarkan saja.] “Bagaimana bisa biarkan saja? Sekarang kau adalah istriku. Tidak akan aku biarkan siapa pun mempermainkanmu!” Savanah terpana melihat keseriusan wajah Storm. Baru kali ini dia m
Storm ternyata hanya menyentuh helaian rambut Savanah yang turun dan menutupi sebagian wajahnya, untuk menyelipkannya ke belakang telinga Savanah. ‘Eh? Di- dia hanya berniat merapikan rambutku saja?’ Savanah pun mengangkat wajahnya penuh tanya. Terasa beberapa detik lamanya, Storm terpaku di wajah Savanah. Tanpa sadar, gadis itu merona malu. Baru setelah itu, Storm menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan. Dia terlihat kikuk dan salah tingkah. “Ehm! Sudah malam, kau tidurlah di tempat tidur. Seprai sudah kuganti yang baru. Aku akan tidur di sofa. Mengenai ... ehm ... malam pengantin kita ... aku rasa ... kau pasti belum siap, jadi aku tidak akan memaksamu selagi kau belum siap.” ‘Apa? Storm ingin menunda malam pengantin ini? Ini sungguh berkah luar biasa!’ Savanah sangat lega tidak perlu memulai malam pengantin bersama Storm malam ini. Setidaknya, dia memiliki waktu lebih banyak. Setelah Savanah diam-diam mengembangkan senyumnya, dia baru menyadari bahwa Storm menunjuk sofa butu
Dua pelayan yang membukakan pintu terlihat kocar kacir berlari ke dalam untuk melakukan apa yang Storm katakan. Savanah melihat mereka berdua dan merasa kasihan. Dua pelayan itu tampak ketakutan karena gertakan Storm. Savanah jadi melirik Storm lagi. Ingin melihat reaksi pria itu. Tapi Storm terlihat amat serius. Savanah pun ikut merasa gugup dan cemas. Dia sungguh tak menyangka permintaannya mengambilkan koper dilaksanakan Storm dengan cara sebrutal ini. “Aduh! Apa yang kau lakukan? Kenapa lari seperti dikejar setan? Jalan yang benar!” Auman marah dari dalam rumah terdengar. Itu suara Moreno! Deg! Jantung Savanah berdetak dua kali lebih kencang ketika mendengar suara Moreno. Dia gugup, karena dia kini datang bersama Storm. Lalu, terlihat olehnya, Moreno menoleh dan mendapati dirinya bersama Storm. Wajah pria itu, yang tadinya marah pada pelayan, kini tampak terbelalak. “Hei! Ada apa kau ke sini, huh?!” teriaknya marah pada Storm. Savanah kembali terkejut. Kenapa mereka lan
Ketika tiba kembali di kamar mereka, Savanah sudah merasa lelah dan teramat mengantuk. Rasanya sekali menyentuh kasur, dia akan langsung terlelap begitu saja. Savanah merapikan sebentar isi kopernya, mengeluarkan baju kerjanya, lalu mengecas ponselnya. Setelah itu, barulah dia menuju tempat tidur. Savanah sempat mengungkapkan pada Storm untuk tidur di tempat tidur, tapi selalu pria itu menjawabnya bahwa lebih baik dia di sofa saja. Savanah menghela napasnya. Entah dia harus merasa lega karena tak terbebani malam pengantin yang dia sendiri belum siap, atau dia harus berpikiran bahwa Storm benar-benar tidak tertarik padanya. Tapi jika Storm tidak tertarik padanya sedikit pun, kenapa pria itu mau menikahinya? Apakah Storm murni hanya ingin menolongnya saja di saat Moreno membuangnya karena bisu? Fiuuuh, entahlah. Savanah merasa tidak ingin memikirkannya lagi. Semakin dia pikirkan, semakin dia penasaran, tapi juga rasa insecure nya pun makin bertambah. 'Bagaimana jika storm menika