"Karena kalau yang mencetak generasi gemoy itu namanya permainan tancap bola." Ciara tertawa lepas. "Hahaha, kamu pengen itu sekarang?" tanya Haidar. "Belum, masih pengen ngobrol dulu." "Masih mau ngobrol apalagi, hmm? Istriku ini hobi banget kalau ngobrol berdua," sahut Haidar. "Apa salah?" "Ya, nggak dong, malah berpahala. Justru sangat bersyukur, coba buka ingatan kamu. Tau kan? Ocyang ini spek dingin untuk perempuan dalam urusan cinta waktu sebelum menikah. Kalau gak dingin, gak mungkin papa nekat juga. Bener sih waktu ceramah suka gombal, tapi gombalnya kan kalau kamu saksikan tuh di video-video yang sebelum aku nikah sama kamu, gak ada gombalan yang tertuju ke orangnya, palingan kalau yang modelan tertuju ke orang lain, yaa untuk calonku kelak gitu. Kamu saksi dinginku, maka kamu juga penikmat hangatku." "Hhh, nggih. Kesal banget kalau ingat waktu itu! Sakitnya dalem, di luar ekspetasi!" keluh Ciara. "Hehe, kamu belum maafin Ocyang?" "Udah kok, maksud Isbay kecewa aja di
"Itut Ibu, Adik au itut Ibu," jawab Uja. "No no! Itut Abi mua!" kilah Uda. "Gini aja, Adik ikut Ibu, Kakak ikut Abi," jawab Haidar. "No! Kaka mau ama Adik," sahut Uda. "Adik uga ama-ama," jawab Uja. "Oke, terus Abang gimana? Mau ikut siapa?" tanya Ciara. "Abang teseyah aja." Sembari mengedipkan mata, Uha menjawab dengan sangat santai. Ribetnya punya anak tiga kembar. Mau duduk saja butuh absensi pilihan terlebih dahulu. Belum lagi ternyata pilihannya tidak sama. Meskipun ribet dan terkadang bikin puyeng, tetapi bonus yang didapat Ciara dan Haidar juga besar, bonus dunia akhirat. "Gimana Bi ini? Hahaha. Puyeng dah!" Ciara tersenyum kecil ke arah Haidar. "Kakak, Adik, Abang ... hari ini Ibu sama Abi harus pisah dulu," "Pisah? Bahasa Abi yang jelas dong!" "Ehhahaa, maksudnya ... duduknya Abi sama Ibu pisah dulu, Abi di sana itu yang laki-laki. Ibu di sana untuk yang perempuan. Mbum pengen bersama, kan? Kalau begitu harus ditentukan ikut Abi atau Ibu semuanya." "Ikut Ibu aja,
"Eh, napa Oc? Isbay gak bermaksud apa-apa," jawab Ciara ketakutan."Bener gak lagi deket sama Bumi?" "Ocyang kok jadi serem gini! Isbay gak ngapa-ngapain asal dijudge aja! Informasi apa? Masa informasi tentang tugas kuliah juga harus selalu laporan ke Oc. Mana sifatnya gak nglibatin apa-apa," kilah Ciara. Tiba-tiba berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dari kelembutan yang disampaikan sampai berubah seperti mau menerkam. Baru sadar, ada sedikit yang menyerempet fakta tentang dia bersama Bumi."Nggak nglibatin apa-apa kenapa ngelibatin Mas Bumi?" tanya Ciara. "Yaaa, itu kan ditunjuk dari kampus. Oc, please jangan marah!" Ciara menggenggam tangan suaminya."Hahaha, prank. Ibu Cia kena prank, hahaha." Canda tawanya kembali dibajukan. Teriakan kecil dengan suara bermain dari buah hati semakin menjadi penawar atas runtuhnya serba serbi keperihan. Dunia seakan milik berdua sudah saatnya memetik lekukan di bawah sana. "Iiihh kumat! Ini udah malem banget," kata Ciara. "Lalu? Kenapa in
"Hahaha, Mbak Rasa ... kenyataannya belum tahu yaaa karena aku Alhamdulillah masih ngomong di sini berarti belum mati." Ciara menjawabnya dengan selingan tawa dan keseriusan. Kegiatan yang sangat seru. Setelah dari panggung, Rasa tertawa terbahak-bahak dengan Ciara. Kabar baiknya, kini Rasa tengah hamil anak pertamanya. Kebahagiaan pun semakin terpancar. "Huaahaa, lo alim banget tadi," kata Ciara. "Hahaha, Astagfirullah! Gini-gini juga bisa jadi Masyaallah." "Ssss, tapi aneh gak sama Toya?" "Iya! Mata gue tadi ngawasin dia mulu. Soalnya Kak Uda kan ikut Bening, pas Toya di sampingnya. Anak dia kagak dibawa. Gak tau kenapa dan ngapa-ngapain, sih, tapi kayak termor gitu." "Ehmm, lagi ghibah," celetuk Haidar. "Ocyang kenapa ngagetin, sih? Hehe, hanya anu ini," "Hahaha, ya kalian kalau nggak ghibah ngapain lagi?" goda Haidar. Persahabatan Ciara dengan Rasa begitu kental. Sampai ke anak-anak Ciara pun selalu Rasa perhatikan supaya aman dari perkiraan buruk yang menimpa. Tanpa harus
"Ini bremnya udah beli. Nampannya juga udah ada. Wait, cuci tangan dulu." "Mimpi apa, sih yang buat njenengan banyak ide buat aku seneng?" tanya Ciara. "Mimpi? Kenapa harus dimimpikan? Hidup kita kan udah nyata, cintaku untuk kamu juga sudah nyata, bukan lagi hanya sebuah mimpi yang belum tahu sampai di alur mana, kita bukan bicara masa depan, yapi masa sekarang." Perasaannya sangat tenang, melihat suaminya merakit makanan kesukaannya dibuat menjadi unik. Tidak mau kalah, ia pun melangkah untuk membeli dodol kesukaan suaminya dan ikutan membentuk seperti Haidar. Mereka membuatnya di tempat yang nyempil dengan kuliner di area makam sehingga kalau ada yang kurang tinggal beli. ***"Malam ini Ocyang minta sesuatu.""Apa, Sayang?" tanya Ciara. "Kita olahraga yang lebih lama." "Tadi siang kita nonton bioskop, kan?" "Iya, kenapa?" WAHH! Suaminya munta yang lebih lama. Tentu akan dilayani dengan penuh kasih sayang. Aroma-aroma pergerakan mulai mereka peragakan dari yang terringan.
"Iya, Ocyang memang salah," jawab Haidar. "Ngapain ikut ke sini! Urus anak-anak kamu itu!" "Gak mau. Biarin aja mereka nangis," "Tega ya sama anak sendiri!" Haidar membiarkan putranya menangis. Ia justru mengejar istrinya yang sedang kembali ke kamar mereka. Sontak membuat Ciara semakin marah saja, bukannya mengurus anak malah mengikuti langkahnya. Ciara segera beralih untuk kembali melihat para Mbum. "Tuh, kan ... semarah-marahnya Ibu tetep sayang ke Mbum," goda Haidar. "Ya njenengan jangan ngaco gitu kalau ngomong! Sesuatu yang gak mungkin itu gak usah dibuat uji coba! Udah nangis jadi tambah nangis sekarang gara-gara njenengan tinggal! Lagian yang dicari itu Abinya, bukan Ibunya." Kala itu memang yang dicari Haidar. Ternyata oh ternyata, lelaki itu mengetes kesabaran dan ketegaan sang istri. Tidak mungkin juga Ciara tega tidak peduli dengan sang anak apapun keadaan dirinya. "Adik Uja kan lekat banget sama kamu, Sayang," sahut Haidar. "Lekat sih, lekat, tapi gak denger yang
"Ada i-ini Sayang, Ocyang harus---" "Ya apa? Isbay gak ngerti apa-apa," kata Ciara. "Mmm, itu loh." "Aaarghh! Palingan juga prank, Ocyang udah kena virus prank sekarang.""Serius, Ibu Cia!" Kebiasaan yang menjengkelkan secara harfiahnya. Namun, asyik untuk kegiatan mereka berduaan. Haidar kembali membuat prank untuk Ciara setelah amarahnya memuncak di malam tersebut. "Lah iya apa? Ngeselin banget sih udah digugurkan juga hukumannya. Mau hukum lagi aja, hah?" "Ini loh, Ocyang sangat terpana nyentuh kamu." "Hhhh, kan apa aku bilang! VIRUS PRANK!" ***"Kamu mau ke mana?" tanya Haidar. "Jelas ke kampuslah," jawab Ciara. "Serius pakaian kamu seperti ini, hmm?" Haidar melotot, melihat penampilan istrinya. Memang penuh lekukan yang sangat indah. Namun, sangat buruk jika ditampilkan pada khalayak umum. Karena bagusnya dan sangat indahnya ini ketika hanya dilihat sangat suami saja. Haidar kesal, karena pakaian istrinya itu membungkus aurot, bukan menutup aurot. "Emang napa? Cantik
"Hmm, canda aja Sayang. Ocyang seneng semua tingkah laku kamu. Gak ada yang mengurangi rasa cinta. Mau manja, mau galak, kalu tetap Ciara Basma yang namanya Ocyang sebut dalam kalimat mutiara." "Tadi kok ngomong gitu?" Ciara membalikkan badan. "Biasa, ledek kamu aja." Setiap perlakuan sesuatu ada konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi tak melulu perkara buruk. Terkadang, perkara yang baik, terapi karna mengejar yang satu, harus ada yang direlakan. Bahaya! Entah mengapa pikiran Haidar teringat dengan Bening, ua merasa ada getaran rindu yang sangat kuat. *** "Bening! Kamu apain Kakak Uda? Ngaku kamu nggak usah sok polos!" celetuk Ciara. "Maaf, Mbak. Aku tidak apa-apain, maksudnya sok polos apa ya?" tanya Bening kebingungan. "Kemarin aku masih diem liat Kak Uda berani mukul ke aku, tapi sekarang udah merajalela ke Uja. Kamu ngajarin apa?" bentak Ciara. "Ya Allah, aku beneran nggak ngajarin yang jahat, Mbak. Di sini hanya main," timpal Bening. "Halah, alasan!" Haidar berl