Share

Istri Kedua Om Bara
Istri Kedua Om Bara
Author: Merah

1. Menyalahkan Diri

Keira terbangun dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa lemah. Cahaya matahari yang menembus celah gorden membuatnya meringis. 

Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar hotel yang asing. Seketika, ingatan-ingatan semalam menyerbu pikirannya seperti badai yang tak terkendali. Ia ingat keramaian klub malam, tarian, tawa, dan minuman yang membuatnya merasa aneh.

Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah sentuhan Om Bara, desahan lirihnya, dan perasaan yang mengaduk-aduk di dalam dirinya. Ia merasa jijik dan marah pada dirinya sendiri. Rasa bersalah menghantamnya seketika.

"Bagaimana bisa aku melakukan ini?" batinnya, menutup wajah dengan tangan untuk menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak bisa menghadapi kenyataan ini, tidak bisa menerima bahwa ia telah memohon pada Om Bara untuk menyentuhnya.

Dengan hati-hati, ia melirik ke arah tempat tidur. Om Bara masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lelah. Keira merasa semakin terhimpit oleh rasa bersalah dan keputusasaan. Ia tak bisa berlama-lama di sini.

Dengan langkah terseok-seok, Keira mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Ia mengenakannya dengan tergesa-gesa, berharap Om Bara tidak terbangun saat ini. 

Setelah semua pakaian terpasang dengan benar, ia memandang sekali lagi ke arah Om Bara yang masih tertidur.

"Aku harus pergi sekarang sebelum Om Bara bangun dan aku takut tidak akan bisa pergi sama sekali," bisiknya pada dirinya sendiri, sebelum melangkah cepat keluar dari kamar hotel. 

Saat berada di lorong, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa paniknya. Ia harus keluar dari tempat ini secepat mungkin.

Di sepanjang perjalanan pulang, Keira hanya bisa menutup wajah dengan tangan, berusaha menyembunyikan tangis yang terus menerus mengalir. 

Semua perasaan bercampur aduk di dalam dirinya—rasa bersalah, marah, sedih, dan jijik. Wajah ayahnya, Kevin, dan Tante Vera berkelebat di benaknya, membuatnya semakin merasa bersalah.

Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamar mandi. Air dingin dari shower menghantam kepalanya, mengalir deras di tubuhnya yang gemetar. Keira berharap air dingin ini bisa menghapus segala beban yang ia rasakan.

"Kenapa aku begitu bodoh?" gumamnya di antara isak tangis yang menggema di kamar mandi. 

Saat air mengalir di tubuhnya, ingatan tentang omelan Om Bara kembali menghantamnya. 

“Apa yang Om dengar tentangmu belakangan ini sangat mengecewakan, Kei. Bi Darmi bilang akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam! Padahal sudah berkali-kali Om bilang padamu untuk pulang tepat waktu dan berhenti keluar malam hanya untuk bersenang-senang.”

Keira memicingkan matanya sengit dan membalas perkataan Om Bara dengan keras kepala saat itu. "Kenapa sih Om Bara ngatur-ngatur terus?! Waktu Papa masih hidup saja, Papa enggak segininya sama Keira! Lagian Keira udah besar dan bisa jaga diri dengan baik, Om!" 

“Om begini karena ingin memastikan kamu baik-baik saja selama dalam pengawasan Om, Kei. Bagaimanapun juga Om punya tanggung jawab yang besar untuk menggantikan Mahesa, menjagamu  agar tidak salah jalan.”

“Apa sih, Om?! ribet banget kayak enggak pernah muda aja!”

“Pergaulan sekarang dan zaman dulu itu—”

 “Terserahlah, Om. Kali ini Keira enggak mau dengerin Om. Keira ngerasa udah cukup dewasa untuk melakukan apapun dan berhubungan sama siapapun yang Keira mau,” potong Keira dengan sengit.

“Bukan maksud Om membatasi apa yang kamu inginkan dan mengekang jiwa mudamu yang masih membara. Tapi kalau sampai terjadi hal buruk padamu, Om pasti merasa bersalah pada Mahesa karena tidak bisa menjaga putrinya dengan baik. Karena itu, Om terpaksa bersikap begini.”

“Tapi Keira enggak suka dengan sikap Om yang mengekang kayak gini! Hanya karena Om diminta Papa untuk menjaga aku, bukan berarti Om berhak ngatur-ngatur Keira sejauh ini!”

Waktu itu, Keira benar-benar tak bisa menerima perkataan Om Bara dan telinganya selalu  pengang mendengar celotehan Om Bara yang tiada henti tiap kali datang ke rumahnya.

Namun, sekarang Keira menyadari betapa benar nasihat Om Bara kala itu. Keira benar-benar menyesal karena menganggap omongan Om Bara hanya angin lalu dan malah mendebatnya. 

Padahal, Om Bara sudah berusaha keras untuk menjaganya dengan baik, tetapi Keira malah dengan tidak tahu dirinya mengabaikan semua nasihatnya dan menganggapnya sebagai omelan yang menyebalkan.

"Om Bara, maafin Keira," lirihnya. "Seharusnya Keira sadar, kalau selama ini Om selalu bilang kayak gitu karena berusaha menjaga Keira dan memastikan agar hal buruk seperti semalam tak terjadi pada Keira. Tapi Keira terlalu bodoh dan keras kepala untuk bisa menerima ucapan Om dengan lapang dada."

***

Setelah dirasa sudah cukup lama ia mengguyur tubuh kotornya, dengan langkah gontai Keira keluar dari kamar mandi, merasa seakan beban berat menggantung di pundaknya. tangis Keira belum berhenti. 

Matanya tidak sengaja tertuju pada bingkai foto dirinya bersama ayahnya yang terletak di atas meja. Ia mengambil bingkai itu dengan tangan gemetar, mengusap foto ayahnya dengan perasaan bersalah yang mendalam.

"Papa, maaf, Pa" rintihnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Air mata terus mengalir, mengaburkan pandangannya.  "Keira sudah menghancurkan semua harapan Papa pada Keira. Keira juga tidak bisa menjaga diri dan malah membuat kesalahan besar. Keira benar-benar minta maaf atas segalanya."

Ia merasa telah gagal menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mendiang ayahnya. Keira merasa dirinya tidak lebih dari sampah, karena ia bisa-bisanya meminta Om Bara, sahabat baik ayahnya sendiri, untuk menyentuhnya.

Didera penyesalan begitu dalam, Keira memutuskan untuk tidak ingin bertemu dengan Om Bara lagi. Ia merasa tidak punya muka untuk berhadapan dengannya, setelah apa yang terjadi. 

Masih segar di benaknya, ingatan saat Om Bara menyelamatkannya dari tatapan nakal lelaki hidung belang di klub malam. Suara Om Bara yang marah dan penuh kekhawatiran bergema di kepalanya. "Keira! Kamu gila?! Apa yang kamu lakukan di sini?!"

Malam itu, Keira hampir tidak sadar saat Om Bara menariknya keluar dari kerumunan dan Om Bara membawanya ke hotel dengan tergesa-gesa. 

Saat mereka sampai di hotel, Keira merasa tubuhnya memanas dan terdapat keinginan yang tak tertahankan dalam dirinya. 

Meski Om Bara sudah membantunya dengan memberikan dan merendam tubuhnya dalam air dingin, tetapi sama sekali tak berpengaruh. Sepertinya efek obat itu terlalu kuat, hingga membuat tubuh Keira makin kepanasan dan mengelinjang tak karuan. 

"Keira benar-benar enggak bisa tahan lagi… Om, tolong lakukan sesuatu untuk membantu Keira." Dalam kebingungan dan kepanikan, Keira memohon dengan suara yang hampir putus asa, tangannya terus menyentuh tubuh Bara begitu erat, hingga lelaki itu mengeram seperti menahan sesuatu agar tidak keluar.

"Shhh! Maafkan Om, Kei. Sepertinya, hanya cara terakhir ini yang dapat Om lakukan untuk  membantumu. Semoga dengan cara ini, dapat segera menghilangkan pengaruh obat bercampur alkohol di tubuhmu." 

Bisikan terakhir Om Bara malam itu masih terngiang samar di telinga Keira dan terputarnya ingatan semalam bersama Om Bara, membuat Keira merasa begitu menyesal telah datang ke pesta ulang tahun temannya dan mabuk-mabukan. 

Jika saja ia tidak pergi ke klub malam, jika saja ia tidak minum-minum dan sembarangan menerima minuman, kejadian semalam yang membuatnya tak sengaja tidur bersama Om Bara pasti tidak akan terjadi.

Namun, Keira tahu bahwa Om Bara tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Ia lah yang memohon agar Om Bara menyentuhnya, meskipun ia dalam keadaan setengah sadar. Om Bara hanya berusaha membantunya menghilangkan rasa panas yang mendera tubuhnya. Tapi tetap saja, ia merasa sangat hina dan berdosa.

Bayangan kejadian semalam terus menghantuinya. Ia merasa semakin terpuruk setiap kali mengingat tatapan Om Bara yang penuh kekhawatiran dan rasa bersalah. Ia tidak bisa melupakan apa yang telah terlanjur terjadi antara ia dan Om Bara.

Keira merasa sangat bersalah pada Om Bara dan Tante Vera. Bagaimana mungkin ia bisa bertatap muka dengan mereka setelah ini? 

Kini, Keira merasa begitu hancur didera seribu kesalahan dan penyesalan. Ia benar-benar merasa kecil hati pada dirinya sendiri. Setiap kali melihat cermin, Keira tampaknya hanya melihat seorang gadis yang telah mengecewakan banyak orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status