Detik-detik penyiksaan itu nyatanya tak kunjung berakhir. Setibanya di rumah, Jingga benar-benar melepas jas Davin dari tubuhnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Lalu menaruh jas itu di atas sofa.Tubuhnya yang berbalut gaun satin dengan tali spageti itu terpampang di depan mata Davin, membuat Davin mematung di depan pintu dengan mata tak berkedip. Pandangan Davin mengikuti Jingga yang berjalan menuju kitchen bar sembari mencepol rambut.Melihat leher jenjang itu pikiran Davin semakin liar. Rasanya sudah lama sekali ia tidak membuat mahakarya di sana. Davin menelan saliva dengan susah payah. Ia juga merasakan seluruh tubuhnya menegang.“Sayang, kamu mau minum juga?” seru Jingga dari arah dapur.Ya Tuhan! Davin mengusap wajah dengan kasar. Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah Jingga menyiksanya dengan penampilannya? Lalu sekarang, wanita itu memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’?Tidak bisa. Davin tidak bisa menahan dirinya lagi. Lama-lama ia bisa gila!Ia bergegas menghampiri Jing
Davin senyum-senyum sendiri, membayangkan akan sepanas apa malamnya bersama Jingga malam ini. Jantungnya berpacu cepat saat ia tiba di depan sebuah pintu kamar. Dengan tidak sabaran, lantas didorongnya pintu tersebut sambil berseru, “Sayang, aku kembali...!” Namun, ia tidak menemukan istrinya di dalam kamar itu. Davin melangkah masuk, kembali berseru dengan suara baritonnya, “Sayang? Kamu sengaja bersembunyi dariku?” Davin membuka pintu kamar mandi. Kosong. Lalu ia masuk ke walk in closet. Di sana pun tak ada sosok wanita yang dicintainya yang sedang dicarinya. Tanpa banyak berpikir, Davin pun keluar dari kamar itu dan bergegas menghampiri kamar utama. Saat ia membuka pintu kamar tersebut, mata Davin kembali berbinar-binar kala menemukan istrinya sedang duduk di sofa. Dilihat dari pakaian tidur yang Jingga kenakan, sepertinya Jingga sempat membersihkan tubuhnya saat Davin menidurkan Oliver barusan. Salah satu bagian tubuh Davin kembali menegang meski ia hanya memandangi istriny
Arum keluar dari kamarnya yang ada di belakang, terpisah dari rumah Davin. Di sana berjajar beberapa ruangan khusus untuk para pekerja. Langit terlihat masih gelap saat Arum melintasi jembatan yang menghubungkan halaman ruangannya, dengan beranda bagian belakang rumah sang majikan.Bunyi bip beberapa kali terdengar di tengah kesunyian saat Arum memasukkan kombinasi angka pada smart lock pintu, hingga pintu belakang rumah majikannya itu terbuka.Pukul lima pagi, jam kerja Arum dimulai. Ia memasuki rumah mewah tersebut, pintu di belakangnya otomatis terkunci saat Arum menutupnya.Hal pertama yang Arum lakukan adalah membuka-buka gorden yang menjulang tinggi menggunakan remote. Membuka jendela, membiarkan udara pagi yang masih segar masuk ke dalam rumah. Lantai satu selesai. Saatnya ia naik ke lantai dua. Gorden di lantai dua jauh lebih tinggi lagi, sebab hampir seluruh dinding di lantai tersebut terbuat dari kaca.Saat Arum melewati lorong yang remang-remang dan hendak mengambil remote
Jingga membuka pintu kaca di hadapannya. Semilir angin seketika menerpa tubuh, membuat rambut panjangnya melambai-lambai.Ia menggenggam tumbler berisi matcha latte di tangan kiri, sementara tangan kanan sibuk men-scroll media sosialnya.Jingga menyeret langkahnya ke ujung rooftop, sambil sesekali tersenyum melihat bunga-bunga yang tumbuh dengan baik di sisi kiri rooftop yang sengaja ia jadikan sebagai taman kecil.Di ujung rooftop itu ada dua kursi yang saling berhadapan, hanya terpisahkan oleh meja berpayung. Jingga duduk di salah satu kursi itu, ia menyesap minumannya sesaat, lalu tersenyum sendiri dengan mata berbinar saat ia menonton video pendek tentang sepasang kekasih yang traveling berdua menggunakan motor.Jingga mengetik sesuatu di kolom komentar postingan tersebut. Setelahnya ia menaruh ponsel di meja, lalu mengalihkan pandangannya ke arah book cafe di seberang sana.Ya, saat ini Jingga berada di studio miliknya. Ia sudah mulai menempati gedung ini sejak beberapa hari yang
Setelah merapikan beberapa alat lukis yang sempat digunakan, Jingga keluar dari ruangan kreatifnya. Ia memandang ke sekeliling studio lantai tiga yang cukup luas dan bergaya minimalis itu. Meski semuanya telah disediakan oleh Davin, tapi Jingga merasa ada sesuatu yang kurang. Ia mendorong pintu kaca di hadapannya. Seulas senyum lebar terlukis di bibir kala ia memandangi Davin. Pria berkemeja hitam itu sedang menelepon, satu tangannya bersembunyi di saku celana, berdiri dengan gagah di ujung rooftop, membelakangi Jingga. Punggung lebar itu... Jingga sangat menyukainya. Juga potongan rambut di tengkuknya yang rapi, membuat siapapun yang melihatnya akan berpikir bahwa Davin adalah pria tampan meski mereka belum melihat parasnya. Tanpa suara, Jingga mengayunkan langkah menghampiri. Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Davin dan menyandarkan pipi di punggung lebar itu. Jingga bisa merasakan tubuh pria itu menegang dan sempat berjengit. “Aku tunggu tiga puluh menit!” kata Davin den
Jingga merasakan hembusan napas pria itu menerpa kulit leher. Ia berpikir, mungkin Davin masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera bersama Vincent. Keduanya diam sesaat. Davin seolah sedang menghilangkan rasa lelahnya dalam pelukan Jingga. Dan Jingga memilih mengelus belakang kepala pria itu dengan penuh kasih sayang. “Dave?” “Hm?” gumam Davin tanpa mengangkat wajahnya dari ceruk leher Jingga. “Aku merasa, studio ini bisa lebih dari sekadar tempat aku melukis," ucap Jingga, mencoba mengungkapkan apa yang ada di benaknya sejak tadi. "Rasanya sia-sia kalau cuma aku yang menggunakan semua ruangan ini." Davin akhirnya mendongak, memandangi Jingga dengan penuh perhatian. "Kamu punya rencana lain, Sayang?" “Hm.” Jingga mengangguk. "Aku ingin studio ini menjadi ruang kreatif untuk orang lain juga. Mungkin bisa diadakan kelas seni, workshop, atau mungkin galeri kecil untuk seniman lokal. Tempat di mana orang-orang bisa belajar, berkarya, dan berbagi inspirasi," jelas Jin
“Kenapa bengong, Sayang?” Sebuah kecupan Davin berikan di bibir sang istri, membuat Jingga keluar dari keterpakuannya. “Kita belum pernah berkencan di motor, ‘kan? Aku rasa ini akan jadi momen yang romantis.”Mata Jingga seketika berbinar-binar. Beberapa saat yang lalu ia memang sempat menonton video pendek sepasang kekasih yang berkencan, berkeliling kota menggunakan motor, di media sosialnya. Dan Jingga mengomentari postingan tersebut bahwa ia juga memimpikan hal yang sama bersama suaminya.Namun, Jingga tidak menyangka Tuhan akan langsung mengabulkan keinginannya secepat ini.Jingga tidak tahu bahwa tadi Davin sempat melihat komentarnya di postingan tersebut saat ponselnya tertinggal di rooftop, yang membuat Davin segera berinisiatif memerintahkan Vincent untuk membawa motornya saat itu juga.Kini Jingga tersenyum lebar seraya memandangi Davin. Pria itu... auranya benar-benar terlihat berbeda. Tampak gagah dengan jaket hitam dan helm full face-nya.“Dave, aku nggak lagi mimpi, ‘kan
Mereka melanjutkan perjalanan dalam hujan. Air hujan membasahi tubuh Davin. Jingga merasa bersalah, tapi ia juga merasa terharu dengan pengorbanan pria itu untuknya.Akhirnya, mereka tiba di rumah. Jingga bergegas melepas jas hujan dan menatap khawatir pada Davin yang basah kuyup. Ia segera membawa Davin masuk ke dalam rumah setelah melepas jaket yang dikenakan suaminya itu.“Bik, gimana keadaan Oliver?” tanya Jingga saat berpapasan dengan Arum yang membukakan pintu—yang juga terkejut dan khawatir melihat kondisi Davin.“Den Oliver baru saja tidur setelah saya kasih susu, Bu. Sekarang ada di kamar.”Jingga mengangguk. Ia dan Davin masuk ke kamar utama. Saat Jingga akan membantu mengeringkan tubuh suaminya, pria itu cepat-cepat berkata dengan lembut, “Kamu cek dulu Oliver, ya? Aku bisa mengeringkan tubuhku sendiri.”“Aku nggak mau kamu sakit,” kata Jingga dengan khawatir sambil memegangi handuk.Davin tersenyum, menyentuh pipi Jingga dengan jemarinya yang terasa dingin. “Tenang saja, a