“Hm.” Jingga mengangguk. “Aku serius.”
Davin ternganga mendengarnya. Detik berikutnya ia menjatuhkan kantong belanjaan ke lantai, dan secara spontan Davin memeluk pinggang Jingga, kemudian mengangkatnya dan memutarnya sebentar sambil tertawa. Jingga sempat memekik karena kaget.“Bagus, Jingga. Kamu mengambil keputusan yang tepat!” seru Davin, “aku sudah menemukan dokter terbaik. Jangan khawatir.”Jingga menunduk menatap mata Davin yang tampak berbinar-binar. Ia lalu memeluk leher lelaki itu untuk menjadi tumpuan agar tidak jatuh. Rasanya benar-benar sulit dipercaya Davin tampak semangat seperti ini.“Kamu percaya padaku, Jingga?” Davin mengulas senyum kecil. “Aku melakukannya bukan karena aku malu punya istri seperti kamu. Aku yang dulu sangat berbeda dengan aku yang sekarang, jadi—”“I-iya,” sela Jingga sambil melihat ke sekeliling. &ldquoDavin mengeluarkan sebuah bingkai foto berukuran 3R dari dalam tasnya. Ia memandangi foto itu sesaat. Bibirnya mengulas senyum kecil. Lalu menaruh foto tersebut di atas meja kerja.Itu foto pernikahannya dengan Jingga, yang selama hampir 2 tahun ini tidak pernah Davin pedulikan.Dalam foto tersebut keduanya tidak ada yang tersenyum. Seolah-olah pernikahan itu telah merenggut habis seluruh kebahagiaan mereka.âApa lebih baik kita foto ulang lagi?â gumam Davin sambil mengusap dagu.Bunyi dentingan ponsel membuat Davin mengalihkan fokusnya dari wajah Jingga, ke layar ponselnya yang menyala dan menampilkan notifikasi balasan email dariâŠ.âDokter Eugenio?â Davin terperanjat.Buru-buru ia membuka email tersebut dengan perasaan yang mendadak gugup. Sudah beberapa hari ini ia menantikan balasan dari dokter itu. Dan semoga email ini membawa kabar baik.Namun, wajah Davin mendadak berubah keruh ketika ia membaca isi email tersebut.Tangan Davin seketika terkepal. Rahangnya mengetat.Kemudian ta
Davin melepas kaos yang sedikit basah di bagian perut, yang ia kenakan.Mata Jingga terbelalak melihat pemandangan itu, ia langsung berbalik memunggungi Davin. Pipinya memerah menahan malu.âMencuci badan seharusnya bisa kamu lakukan sendiri," gumam Jingga.âAku lagi malas melakukannya sendiri.â Satu sudut bibir Davin terangkat. Ia menaruh kaosnya ke tempat pakaian kotor. Lalu berdiri di belakang Jingga seraya menumpukan dagu di bahu rampingnya, membuat Jingga berjengit kaget. âLagi pula kamu âkan istriku. Apa salahnya kalau aku meminta bantuan istriku sendiri, hem?ââKi-kita⊠nggak pernah seperti ini sebelumnya.â Kedua tangan Jingga saling meremas di depan perut. âJadi aku merasa canggung karena kita nggak biasa.ââKalau begitu kita harus terbiasa mulai sekarang,â timpal Davin dengan cepat. Ia berbisik di dekat telinga Jingga, âKita akan menjadi suami istri untuk waktu yang sangat lama. Nggak mungkin kita akan terus canggung seperti ini, bukan?âSuami istri untuk waktu yang sangat la
âDavin sudah pulang?â Lucy nyelonong masuk meski belum dipersilahkan.Bahu Jingga tersenggol bahu Lucy. âDavin nggak ada di rumah, Tante,â jawab Jingga sembari menyingkir saat Chelsea ikut masuk.Lucy kemudian mendaratkan pantatnya di sofa. âNggak ada? Ke mana? Seharusnya dia sudah pulang dari kantor.â Lalu tersenyum manis pada Chelsea. âDuduk di sini, Sayang.ââIya, Tante,â balas Chelsea sambil tersenyum.Jingga menghela napas sepelan mungkin dan menutup pintu kembali. Ia menghampiri mertuanya, lalu berkata, âHari ini Davin pergi ke Italia, Tante. Baru berangkat sekitar tiga jam yang lalu.ââItalia?â Chelsea langsung menyahut dengan tatapan terkejut seraya menatap Jingga. âMau apa dia pergi ke sana? Kenapa Davin nggak bilang sama aku?âTangan Jingga terkepal. âMemangnya kenapa Davin harus bilang sama kamu?â timpal Jingga, membuat Chelsea gelagapan.Jingga tidak tahu entah dari mana dirinya mendapat keberanian menimpali ucapan Chelsea sampai seberani itu. Hanya saja, ia merasa tidak s
Jingga memperhatikan Amarylis yang sibuk dengan ponselnyaâseperti biasa, di sofa. Amarylis lebih senang âberinteraksiâ dengan ponsel pintar itu ketimbang dengan orang-orang di sekitarnya. Kecuali saat ia bersama Davin. Seluruh fokus Amarylis pasti tertuju pada sang kakak.âNgomong-ngomong, tumben kamu ke sini.â Jingga menaruh sepiring buah apel yang telah ia potong-potong, di atas meja. âKapan ya terakhir kamu berkunjung ke sini? Mungkin⊠tahun lalu?ââMungkin.â Amarylis mengedikkan bahu tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. âLagi pengen main aja ke sini. Sumpek di rumah. Kamar tamu kosong, âkan?âSeulas senyum kecil tersungging di bibir Jingga. Ia mengerti ucapan Amarylis, yang secara tak langsung menyampaikan maksudnya yang akan menginap di rumah ini. Amarylis pasti terlalu gengsi untuk bicara to the point.âKosong,â jawab Jingga, âkamu bawa baju ganti?ââAda. Di mobil.âJingga mengangguk, ia melirik ke arah jam dinding sekilas. Sudah hampir pukul enam sore. âAku mau masak
Amarylis: Aku mau nunjukin sesuatu ke Mas Davin, tapi sebagai hadiahnya, aku mau liburan ke Swiss. Mas Davin yang bayarin.Davin: Sesuatunya apa dulu? Menarik atau nggak? Kalau nggak, ogah. Minta aja uangnya sama Papi.Amarylis: Papi nggak bakal ngizinin. Dia kan nggak punya duit, yang punya duit banyak itu Mas Davin.Amarylis: Pokoknya ini sesuatu yang sangat langka. Aku yakin Mas Davin pasti kaget.Davin: Apa, sih? Kamu sengaja bikin mas kamu ini penasaran, ya?Sejenak Davin mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan chat room-nya dengan sang adik, ke arah jalanan yang ia lewati.Dari dalam mobil ini, Davin memandangi bangunan-bangunan kuno yang menawan dengan dinding-dinding batu klasik. Budaya dan sejarah mengalir begitu kental di ibu kota Italia ini. Davin merasa seperti terlempar ke dalam dunia lain berabad-abad yang lalu.Ponselnya kembali berdenting, membuat fokus Davin kembali teralihkan.Bibir tipis berwarna merah agak kecoklatannya mengukir senyuman kecil k
Memang, bukan sesuatu yang mudah mencari seseorang di antara ratusan orang yang berlalu lalang di bandara.Hanya bermodalkan foto di ponselnya, Davin dan Vincent mengamati wajah setiap laki-laki yang berpapasan dengan mereka, sambil mencocokannya dengan foto itu. Keduanya berpencar.Davin mencarinya di gate khusus check in penerbangan menuju kota Milan. Namun kursi tunggu di gate itu tampak sepi. Karena para penumpang sudah melakukan check in dan masuk ke boarding room.Sial. Kenapa Davin lupa tidak meminta nomor ponsel Eugenio pada wanita tadi?Davin mengusap wajah dengan kasar, napasnya sedikit tersengal karena terus berlari ke sana kemari hanya untuk menemukan sosok Eugenio.âSaya tidak menemukannya,â ujar Vincent saat keduanya tanpa sengaja berpapasan.âKemungkinan besar dia sudah masuk boarding room.â Davin tertunduk lesu. Ia tak memiliki harapan untuk bertemu dengan pria tua itu. âApa yang harus aku katakan pada istriku?â gumamnya kemudian
“Jingga, bagaimana project Vincent? Kamu sudah mulai mengerjakannya?”Jingga mengangguk seraya mengalihkan tatapannya dari kanvas di hadapannya, ke arah Kalil yang baru saja membuka pintu dan menghampirinya. “Saya baru mulai mengerjakannya hari ini.”Kalil mengangguk, ia memperhatikan sketsa di kanvas itu sejenak. “Baiklah… aku percaya padamu. Klien kita nggak pernah kecewa sama hasil karya kamu, Jingga,” ucapnya sambil melemparkan senyuman hangat pada wanita berusia 26 tahun itu.Melihat bagaimana antusiasnya Kalil dan betapa Kalil mempercayainya, Jingga jadi merasa bersalah. Sebab sampai saat ini Kalil belum tahu bahwa yang sebenarnya memesan lukisan ini adalah Davin. Suaminya.“Pak Kalil…,” panggil Jingga, yang membuat pria itu kembali memandanginya dengan sorot mata teduh.“Ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?” tanya pria itu.Jingga masih m
Jingga mengalungkan lengan di leher Davin seraya memperhatikan ekspresi mengeras yang masih nampak di wajahnya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada pria itu, tapi Jingga mencoba menahan diri.âDave, bisa turunin aku?â gumam Jingga, âaku bisa berjalan sendiri.âMata Davin yang menjorok ke dalam itu seketika menatap Jingga. âJangan berpura-pura baik-baik saja.âHanya itu yang terlontar dari mulut Davin dan berhasil membuat Jingga bungkam seribu bahasa. Amarah pria itu belum mereda, Jingga tahu itu dari nada suaranya.Davin membawa Jingga keluar dari rumah orang tuanya, lalu menyuruh sopir membuka pintu mobil.Davin lantas menurunkan Jingga di kursi depan tepat di samping kursi kemudi. âAda yang tertinggal di dalam?â tanyanya seraya memasang sabuk pengaman untuk Jingga.Jingga sempat menahan napasnya sesaat ketika ia merasakan napas hangat Davin menerpa pipinya. âHm. Tas aku ketinggalan di dapur.ââAku ambil dulu.âWajah Davin masih terlihat mengeras seakan tengah menyimpan emosi yang