"Frisca! Kau ada di mana?! Frisca!" Suara teriakan yang sangat familiar terdengar di telinga Frisca usai ia berteriak frustrasi. Mana mungkin Frisca salah mendengar suara Daniel yang begitu ia hafal. "Daniel," lirihnya langsung berusaha berdiri sekuat tenaga melangkah mendekati pintu berwarna hitam di ujung ruangan itu. "Daniel... Aku di sini! Daniel!" Kedua tangan Frisca menarik-narik gagang pintu yang terkunci. Rasa ingin menjerit tertahan di tenggorokannya yang begitu serik akibat terlalu banyak menangis. "Daniel, aku di sini," lirih Frisca lagi. Pandangannya memburam dan kepalanya berdenyut sakit. "Ya Tuhan, tunjukkan pada Daniel kalau aku berada di sini, kumohon." Tubuh Frisca limbung terduduk lemas, wajahnya berkeringat dingin, wajah dan dress putih yang dipakainya kini sudah sangat kotor dan rambutnya yang sudah berantakan. Di luar Daniel berlari menaiki tangga di dalam vila yang sangat gelap gulita. Langkah demi langkah ia berhati-hati, ketiga temannya mencari di tiap-ti
Kesunyian kembali di dengar oleh Frisca juga udara hangat menyelimuti, berbeda halnya dengan saat ia berada di dalam ruangan gelap yang membutanya takut. Kepalanya masih berdenyut sakit namun matanya memaksa ingin terbuka dan memastikan apa ia masih berada dalam neraka kemarin atau di tempat lain. "Eungh...." Frisca melenguh lirih menggerakkan jemari tangannya yang terasa membeku. Kedua matanya terbuka sayu-sayu menatap ruangan yang sangat terang dan seseorang meletakkan kepalanya di atas telapak tangan kirinya. "Daniel," lirih Frisca mengangkat tangan kanannya dan mengusap rambut hitam suaminya. "Daniel, ini kau...." Air mata tidak lagi terbendung di pelupuk mata gadis itu menyadari saat ini ia sudah bersama dengan suaminya. Usapan lembut jemari tangan Frisca sukses membangunkan Daniel yang baru beberapa menit saja tertidur. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan melebarkan kedua matanya tahu Frisca sudah bangun. "Sayang, kau sudah bangun?!" pekik Daniel terkejut dan panik m
Kondisi Frisca sudah membaik dan berangsur pulih hari demi hari. Sang suami juga terus setia menemaninya setiap hari. Laki-laki hebat yang paling Frisca cintai, Daniel bahkan tidak pergi ke kantor dan kampus demi menemani agar istri kecilnya tidak kesepian. "Kak Daniel, Frisca ingin pulang," lirih Frisca yang terbaring menatap langit-langit kamar rawat inapnya. "Kenapa pulang, Sayang? Kondisimu belum sembuh betul," jawab Daniel mengusap punggung tangan Frisca dan mengecupnya sesekali. Jawaban Daniel selalu sama membuat Frisca bosan. Gadis itu membalikkan badannya menatap Daniel dengan bibir yang mengerucut. "Kalau tidak boleh pulang juga tidak papa. Tapi Frisca akan minta Kak Dante saja, tidak ada yang tidak akan dituruti oleh Kakakku yang paling baik sendiri, Kak Dante." Frisca tersenyum tipis membayangkan Kakaknya yang akan membawanya pulang. Daniel meletakkan telapak tangan Frisca di pipinya. "Dante sibuk hari ini. Jadi kau hanya bersamaku saja." "Membosankan. Bersama orang
Helaan napas berat dari bibir Frisca terdengar gusar ketika ia berusaha menyingkirkan lengan kekar Daniel yang melilit pinggangnya dengan sangat erat. Setiap pagi, Frisca selalu berusaha keras menyingkirkan lengan suaminya. Entahlah, mungkin dia takut Frisca akan kabur. Satu kakinya pun menindih kaki Frisca, dalam tidur pun dia masih sangat posesif. "Kak Daniel, lepaskan sebentar...." "Heem, diamlah dan kembali tidur. Kau baru pulih, Sayang," jawab Daniel dengan suara seraknya. Ia malah meliuk mendekatkan wajahnya ke leher jenjang sang istri dan meninggalkan kecupan di sana. Frisca yang dulunya geli dengan kecupan di leher yang selalu Daniel lakukan kini pun ia merasa kalau dirinya sudah terbiasa. "Frisca ingin membuatkan sarapan buat Kak Daniel, bukannya hari ini suamiku harus ke kantor ya?" Frisca menusuk-nusuk pipi Daniel dengan jemari telunjuknya yang lentik. "Tidak. Aku malas, aku ingin berduaan denganmu. Kita bisa mencicil membuat baby, misalnya." Daniel meletakkan kepalan
Frisca menutup pintu rumahnya setelah beberapa detik Leon pergi. Ia duduk di sofa ruang tamu memeluk boneka Unicorn yang laki-laki tadi belikan untuknya. Dalam kepalanya penuh kebimbangan apa Leon benar-benar menyesali perbuatannya atau hanya akal-akalannya saja. "I Love You, istri kecil." Bisikan mesra di telinga Frisca sukses membuat tubuhnya terjingkat. Begitu Frisca menoleh ke belakang, ia menatap sosok Daniel yang berdiri di belakangnya tersenyum manis. "Ka... Kak Daniel, sejak kapan di sini?" tanya Frisca mengerjapkan kedua matanya. Daniel merebut boneka Unicorn di tangan Frisca dan melemparkannya ke sofa seberang. Ia mendekati istrinya dan mengulurkan tangannya menarik pinggang Frisca untuk lebih dekat dengannya. Kedua mata Daniel memperhatikan lekat-lekat wajah cantik istrinya. "Kebanyakan melamun sampai kau tidak sadar aku pulang, hem?" Daniel tertunduk dengan tubuh membungkuk ia mengecupi pipi, rahang, hingga leher Frisca yang khas beraroma mawar. "Sudah, nanti ketah
Pagi ini di rumah Frisca kedatangan kedua orang tua Daniel yang baru saja sampai dari Sepanyol. Mereka ingin bertemu secara langsung dengan Frisca. "Di mana istrimu, Niel?" tanya Silvia menatap putranya, wanita itu membawa koper yang ada di tangannya. "Masih tidur Ma, dia kurang enak badan. Jadi aku menyuruhnya tidur lagi." Daniel meraih koper di tangan Mamanya dan memberikan pada Bibi. Kenan, Papa Daniel nampak berdiri menatap foto pernikahan Daniel dan Frisca. Laki-laki itu tersenyum manis, dia adalah sosok yang Daniel tiru selama ini, laki-laki yang sangat sabar. "Aku tidak menyangka akan berbesanan dengan Johan. Seingat Papa dulu kau ditolak oleh Adiknya Dante," goda laki-laki itu pada putranya. Daniel berdecak kecil. "Papa...." Silvia dan Kenan menoleh ke ujung atas anak tangga di mana nampak gadis cantik berambut hitam lurus berdiri di sana menatap mereka dengan penuh tanda tanya. Tatapan mata Frisca teralih pada Daniel yang tersenyum manis mengulurkan tangannya dari jau
"Istriku di mana Bi?" Suara Daniel mengejutkan pembantunya yang tengah menata makan malam seorang diri. Wanita itu membalikkan badannya dan ragu-ragu menjelaskan pada Daniel karena ada Silvia di ruang keluarga yang tidak jauh dari sana. "Nona Frisca di kamarnya, Tuan. Baru saja naik," jawab Bibi. "Tadi dia makan sing, kan? Frisca tidak makan yang aneh-aneh kan, Bi?" "Tidak Tuan." Bibi tertunduk takut. Tidak. Daniel menyimpulkan kata Tidak, tidak makan siang, dan tidak untuk yang lainnya. Segera Daniel menaiki lantai dua tanpa bertegur sapa dengan Mamanya. Ia sangat kecewa setelah mengetahui sikap Mamanya ke istrinya. Langkah Daniel menuju ke lantai dua. Pelan Daniel membuka pintu kamar, di sana ia menemukan istrinya yang duduk di tepi ranjang, punggungnya terlihat bergetar dan lesu."Sayang, kenapa menangis?" Daniel sontak menekuk lututnya di hadapan sang istri. Ia menatap wajah sedih Frisca, kedua matanya berair dan tertunduk meremas jemarinya. Entah kesedihan apa lagi yang d
Pagi ini semua teman-teman Frisca terkejut dengan kedatangannya di kampus. Rumor kedekatannya dengan Daniel ternyata masih tidak diketahui banyak orang. Daniel melenggang meninggalkan istrinya saat tahu gadis itu ditemani salah satu temannya, Anastasia. Mereka berjalan menuju ke kelas. "Kangen banget pokoknya!" pekik Anastasia memeluk Frisca dengan erat diikuti oleh Allana. "Frisca, sorry ya kita tidak bisa menamanimu saat kau sakit," ucap sedih Allana memeluk Frisca. Frisca mengangguk. "Tidak papa, tenang saja. Suamiku tidak beranjak sedikitpun kok," jawab Frisca berbisik pada mereka. "Aaa... Jadi pingin nikah kan!" pekik Allana menjadi-jadi. "Wahh... Jadi pingin peluk juga!" Suara seseorang berasal dari tepi lapangan basket, Frisca dan kedua temannya menoleh di mana Leon berada di sana memakai jersey basketnya dan tersenyum manis pada Frisca. "Heh buaya buntung, ingat ya, kalau Frisca udah ada pawangnya!" peringat Anastasia pada Leon. "Ck, bawel banget sih pacarnya tukang m