Tubuh Vinko membeku. Yang dia lakukan hanyalah memandang satu-persatu baik Tuan Hadi maupun Tama, dengan mata hampir keluar karena tidak mempercayai pandangannya sendiri. Vinko tidak pernah mengharapkan kehadiran Tuan Hadi untuk menjenguknya, begitu pula Tama. Tapi mengetahui kedua orang itu tiba-tiba mengunjunginya, membuat jantung Vinko berdebar. Instingnya mengatakan, sesuatu yang buruk sebentar lagi terjadi."Bagaimana kondisimu?" tanya Tuan Hadi. Dia mengambil duduk di sebelah ranjang Vinko."Ayah tahu apa yang terjadi," Vinko melotot tajam ke arah Tama yang masih berdiri di depan ranjang Vinko. "Karena orang ini, aku hampir saja mati," ketusnya, menunjuk ke arah Tama.Tuan Hadi mengangguk pelan, tidak ada reaksi yang berarti. Hidung Vinko kembang-kempis melihat reaksi datar itu. Dadanya bergemuruh, dipenuhi dengan amarah yang makin menjadi."Apakah Ayah akan diam saja melihatnya memperlakukanku seperti ini? Dia menggunakan kekuasaannya untuk menghabisiku!" sentak Vinko, terus me
Tama dan Tuan Hadi benar-benar meninggalkan ruangan tempat Vinko dirawat. Dan hanya menyisakan Vinko beserta Regina, yang diselimuti keheningan canggung karena mulut keduanya enggan terbuka. Vinko masih tersengal mengatur emosi, sementara Regina menunduk demi mencerna segala yang terjadi. Regina berjalan perlahan mengambil tabung infus milik Vinko yang terjatuh di lantai, untuk kembali dipasang di tempatnya. Lantas dia membenarkan selimut Vinko yang berantakan, sambil sesekali melirik aliran selang infus di tangan Vinko yang mengalirkan darah."Sepertinya aku harus memanggil suster," tukas Regina."Tidak perlu," tolak Vinko ketus. "Nanti juga akan normal sendiri," Lantas dia kembali naik ke atas ranjangnya. Duduk di atas ranjang sambil melipat kedua tangan, Vinko menghembuskan nafas kesal.Regina pun menurut. Dia tahu Vinko masih marah atas kejadian yang baru saja terjadi, namun tak bisa dipungkiri dia juga cukup tersinggung dengan respon Vinko tentang rencana perjodohan mereka. Hati
Tama terkejut dan merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Dia tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya dari Tuan Hadi. Matanya memandang penuh ketidakpercayaan pada pria tua itu, mencari tahu apakah ini benar-benar serius atau hanya sebuah ancaman.Rania juga merasakan kejutan yang sama, tetapi dalam hatinya muncul campuran perasaan lega dan khawatir. Lega karena Tuan Hadi tampak mendukungnya dalam usahanya untuk tidak hamil, tapi juga khawatir karena Tama pasti tidak akan membiarkannya lolos. Ini tak ubahnya seperti perlombaan, entah pemenangnya Rania atau Tama."Tapi Ayah hamil atau tidak bukanlah kehendak kami. Aku tidak bisa menceraikan Rania hanya karena dia tidak hamil," sanggah Tama.Tuan Hadi hanya mengangkat alis, menatap Tama dengan tegas. "Kamu bicara seakan kamu percaya Tuhan, eh?" Dia tertawa sarkas. "Itu adalah persyaratan dariku, karena aku ingin keluarga ini bisa melanjutkan keturunan untuk meneruskan bisnisku,"Rania melihat perdebatan ini dengan perasaan
"Apakah Tama sama sekali tidak menceritakan padamu?" Laura mengembalikan berkas itu pada Arif.Arif menggeleng samar, lantas memasukkan berkas itu kembali ke dalam tasnya. "Dia tidak pernah bicara apapun,"Laura menarik nafas panjang, lalu meneguk minumannya. "Apakah kita sungguh harus membicarakannya disini? Ini adalah malam kencan terpenting bagi kita. Belum tentu besok Tama akan memberimu kesempatan untuk santai,""Dan ini juga satu-satunya kesempatanku untuk tahu jawabannya," timpal Arif, tampak serius. "Kamu tahu aku sudah berjanji akan mengabdi seumur hidup pada Tama. Aku takut, Rania akan menyerang Tama dengan foto-foto itu,"Laura mengerutkan kening. Dia menatap Arif cukup dalam untuk beberapa saat, seakan tengah mencari sebuah kejujuran dibalik setiap aksi dan ucapan Arif. Namun semakin dia diam dan mempelajari pria itu, Laura semakin menemukan kebuntuan."Sebenarnya kamu ada di pihak siapa? Tama atau Rania?" tanya Laura tiba-tiba. "Aku tidak peduli siapa yang kamu bela, tapi
Seminggu sudah Vinko menghabiskan waktunya dirawat di rumah sakit, dan kini waktunya untuk kembali pulang. Dia lega, karena seluruh lukanya baik luka dalam maupun luar sudah pulih dengan sempurna dan dia kembali menjadi jati dirinya yang penuh semangat. Tapi ada satu hal yang terus mengganjal, ada sesuatu hal yang membuat hatinya terasa kosong. Ya, Rania sama sekali tidak datang menjenguk bahkan saat di hari terakhir kepulangannya. Ketika Vinko berusaha menghubungi nomor ponsel wanita itu, Rania selalu menolak."Kamu sudah siap?" tanya Nita yang masih sibuk mengemasi barang-barang Vinko. "Kamu sudah coba hubungi Regina?"Vinko memicingkan mata. "Kenapa aku harus menghubungi dia?" tanyanya protes.Sejak kejadian waktu itu, Regina memang sudah tidak pernah lagi muncul di hadapan Vinko. Bahkan Regina juga berhenti menghubungi Vinko maupun Nita."Mama nggak mau kamu bertengkar sama Regina. Biar bagaimanapun, dia tetap sahabatmu," ujar Nita."Kalau dia menganggapku sahabat, harusnya dia me
"Kamu tidak ingin mengucapkan sesuatu pada adikmu, Rania?" tegur Tuan Hadi, yang membaca gelagat mencurigakan antara Tama dan Rania.Keduanya memang tengah terlibat perang dingin yang hanya bisa dipahami oleh mereka. Dan Rania buru-buru menggeleng sambil mengulaskan senyum. Dia melangkah maju, agar makin dekat berhadapan dengan Vinko.Seketika suasana hening menyelimuti semua orang, sebelum Rania membuka suara. Seakan mereka memang sengaja ingin menunggu ucapan keluar dari mulut Rania yang tegang. Dengan sekali helaan nafas, dia tersenyum ke arah Vinko."Selamat atas kepulanganmu, Vinko," ucap Rania dengan senyum hangat. Hati Vinko berdesir. Sudah lama dia tidak melihat senyuman tulus itu terulas dari bibir Rania. Selama ini Rania terus bersedih, muka sembab dan bibir tak pernah tersenyum. Membuat Vinko makin membenci Tama hingga pada titik ingin menghancurkannya. Dan saat melihat Rania menyambut kesembuhannya dengan senyum hangat, hati Vinko juga ikut merasa hangat.Vinko mengangguk
Seperti biasa Vinko menunggu Rania menyelesaikan mata kuliahnya dengan berdiri gelisah di depan ruang dosen. Kali ini dia tidak akan bersembunyi lagi meski Tama masih mengintainya, karena semua keluarganya sudah tahu bahwa dia menyukai Rania. Namun Rania tetap tidak nyaman saat dia melihat sosok Vinko berdiri di depan ruang dosen. Wanita itu seketika menarik tangan Vinko untuk diajak pergi menuju taman belakang, tempat dimana mereka selalu bertemu."Kenapa kamu takut, Ran? Toh Tama sudah tahu hubungan kita," tanya Vinko keheranan setelah mereka sampai di taman belakang."Bukan itu masalahnya, tapi Pak Viktor," Rania mengatur nafasnya yang tersengal. "Pak Viktor sudah kembali dari Belanda,""Lalu?"Rania memandang Vinko serius. "Kumohon, Vin. Aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku. Seumur hidup aku bercita-cita ingin menjadi dosen, seperti impian orang tuaku," jelas Rania penuh harap.Awalnya Vinko ingin menyela, tapi saat melihat tatapan mata Rania yang penuh harap, membuat Vinko tak
Rania menyadari jika puluhan pasang mata mahasiswa tertuju kepada dirinya dan Vinko yang terus bergandengan tangan erat. Ingin rasanya Rania melepaskan tangannya, tapi Vinko justru menggenggam makin erat. Dengan lirikan penuh percaya diri, Vinko mengangguk seakan memberi kekuatan pada Rania untuk bertahan.Dan tibalah mereka di depan pintu mobil. Arif bergegas mempersilakan Rania dan Vinko untuk duduk di belakang kemudi. Tanpa ada banyak yang bicara, Arif melaju kencang menuju rumah Tama dan Rania. Sepanjang perjalanan Vinko dan Rania lebih banyak diam, saling melempar pandangan ke arah luar jendela untuk menghilangkan rasa gugup.Dia tidak ingin gentar akan ancaman Tama, tapi Vinko tetap saja merasa gugup. Apakah dia harus kembali dihajar setelah baru saja keluar dari rumah sakit? Pertanyaan itu terus menggaung di dalam kepalanya. Sementara Rania tidak punya praduga apapun. Ini pertama kali Tama memintanya untuk datang secara terang-terangan bersama Vinko, yang justru membuat Rania t