Share

Dijebak

Argantara kini telah berada tepat di belakangku, bahkan ia sempat mendengar jika aku mengatakan bodoh. Padahal umpatan itu bukan aku tujukan padanya. Namun, sepertinya lelaki itu akan salah sangka terhadapku. 

Seketika aku menundukkan kepala. Rasa takut menguasai diriku. Apalagi aku mulai terbayang malam pertama yang akan kami lalui. Terlihat begitu mencekam, di mana aku belum pernah berpacaran sama sekali. Tetapi, malam ini aku harus tidur satu ranjang dengan pria asing.

"Arga, setelah mandi, ajak istrimu makan malam." Suara ibu mertua terdengar dari arah tangga.

"Iya, Ma," jawab Argantara menoleh ke sudut tangga.

"Kamu mau minggir atau tetap di depan pintu?" tanyanya lembut.

Padahal jantungku sudah seperti mau copot saja. Aku pikir dia akan marah setelah mendengar kata bodoh tadi. Tetapi ternyata, dugaanku salah besar. Lelaki itu hanya berkata demikian. Namun, tetap saja aku tak kagum dengan sikapnya.

"Aku akan minggir," jawabku lalu bergeser sedikit untuk memberinya jalan masuk ke dalam kamar.

Tak ada perbincangan sama sekali. Sebab, suamiku itu langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Dalam hitungan menit, Argantara telah keluar hanya dengan mengenakan handuk saja. Apakah dia pikir jika aku ini hanya manekin saja. 

"Tidak punya rasa malu sama sekali," gumamku dan sepertinya dia mendengarnya. kini matanya mengarah padaku yang duduk di tepi ranjang dengan memegang ponsel.

"Aku suamimu, jadi untuk apa aku malu," sahutnya tanpa rasa bersalah sama sekali.

Aku tak menjawab dan malah menyibukkan diri dengan memainkan ponsel. Sebenarnya aku ingin menghindar dari pemandangan yang ada di hadapanku. Perut seperti roti sobek membuat pikiranku berkelana. Apalagi rambut yang ada di bawah pusarnya, otakku menjadi oleng.

Astagfirullah. Aku beristighfar dalam hati. Kemudian dengan cepat menepis pikiran kotor yang mengisi otakku.

Tanpa sadar, tangan kekarnya telah menarik tanganku. Salah satu tangannya mengambil ponsel dari tanganku dan meletakkan di atas nakas.

"Ah, ternyata kau hanya main ular, aku pikir tadi sibuk ngapain. Gabut ya?" tanyanya seraya menarik tanganku agar aku segera bangkit.

Ih, apa pedulinya dia padaku. Sok baik dan sok akrab. Benar-benar tidak merasa bersalah sedikit pun padaku. Padahal dia telah membuat hidupku hancur dengan menjadikanku madu.

Akan tetapi, aku sendiri tidak berani menolak kala tangannya terus menggandeng tanganku hingga ke meja makan. Juragan Amran pun terlihat begitu ramah, tak seperti apa yang dikatakan oleh ibu setiap kali dia meminta uang untuk membayar cicilan hutangnya, meski pada akhirnya tetap saja tidak lunas dan malah semakin bertambah banyak.

"Ah, anak papa sudah beristri sekarang," ujarnya mengulas senyum padaku.

Aku pun membalas senyumannya. Tidak enak jika aku terlihat ketus dan sinis. Walaupun sebenarnya hati mendongkol karena semua yang terjadi.

"Salma, apa kamu tidak mau melayani suamimu?" ibu Sofia melirik padaku.

"Tidak usah, Ma, biar aku ambil sendiri saja," jawab Argantara lalu berdiri dan mengambil makanannya sendiri, bahkan dia malah mengambilkan nasi dan lauk untukku .

Sebenarnya apa sih maunya? apa dia ingin menebus kesalahannya karena telah menjadikan aku madu atau bagaimana? Kenapa sikapnya begitu baik padaku? Semakin ke sini malah semakin aneh dan mengundang tanya.

Aku yang masih diam dan tidak menyentuh makanan sama sekali. Argantara berinisiatif menyuapiku. Dengan cepat aku menolak, lalu menyuapkan sediri makanan ke dalam mulut.

Selesai makan, aku berniat membereskan semua yang ada di meja. Namun, Juragan Amra melarang dan memintaku untuk beristirahat saja di kamar.

"Tidak perlu, biar dibereskan sama Mbok Iyem. Arga, ajak istrimu ke kamar saja. Bukankah ini malam pertama kalian? Sebaiknya kamu gunakan dengan baik," ucap juragan Amran disambut tawa kecil oleh ibu mertuaku.

Mereka bisa tertawa puas, sedangkan aku. bernapas saja kesusahan, seperti terhimpit batu besar di atas dada.

Lagi. Tangan Argantara menggandeng tanganku. Sikapnya memang romantis, tetapi aku tetap tidak terkagum-kagum sama sekali.

"Malam ini aku sangat kelelahan, kita lakukan ibadahnya besok malam saja," ucapnya ketika kami berdua sudah ada di dalam kamar.

Akhirnya aku bisa bernapas lega. Malam menakutkan itu akhirnya enyah juga. Namun, tidak. Apakah aku harus tidur satu ranjang dengannya?

Argantara tidur terlebih dahulu. Saat sadar jika aku hanya berdiri dan tidak segera merebahkan tubuh. Dia pun bangun, lalu menuntunku menuju ranjang.

Aku mulai kesal. Tadi dia bilang jika dirinya lelah. Apa jangan-jangan kakak tiriku itu kabur dengannya? buktinya saja dia baru saja kembali. Atau dia memang sengaja membuat merekayasa supaya memiliki istri dua?

"Ayo, kenapa malah bengong sih?" ajaknya menatap wajahku lekat.

"Katanya kamu lelah, makanya aku tidak enak jika tidur di sampingmu. Soalnya aku kalau tidur seperti gangsing, muter-muter," jawabku yang tentunya berbohong .

"Nggak apa-apa, ayo tidur," ajaknya lagi, tetapi aku masih tetap bergeming.

"Atau jangan-jangan kamu kecewa karena aku tidak mengajakmu malam pertama, malam ini?' duganya membuatku mendelik malu. Sebab, itu yang ada di dalam otakku saat ini.

"Tidak," sangkalku.

"Matamu tak bisa berbohong. Kamu pasti bertanya kan kenapa aku lelah?" Dia mengajakku duduk di tepi ranjang .

Aku pun menurutinya. Siapa tahu ini menjadi jawaban atas semua pertanyaanku.

"Aku tahu dari sikapmu yang tak seperti biasanya itu. Aku yang salah dari awal," akunya dan aku sendiri semakin bingung.

Seperti biasanya? Apakah dia tahu segalanya tentangku, atau bahkan mengetahui keseharianku?

Kupikir dengan mendengarkan penjelasan darinya. Aku akan semakin lega, ternyata malah semakin pusing.

"Pernikahan ini sebenarnya atas kemauanku. Akan tetapi ...."

"Tetapi apa?" tanyaku yang tak sabar mengetahui seluk beluk terjadinya pernikahan ruwet ini.

Bukannya menjawab, Argantara malah meraih tanganku. Kemudian membelai wajahku. Aku malah geli dengan sikapnya ini. Dengan cepat aku melepaskan tautan tangan dan mengusap wajah yang baru saja dia sentuh.

"Aku tahu jika kamu marah padaku karena aku jadikan madu. Tapi jujur, aku minta maaf. Sedikit pun tak ada niat untuk aku melakukannya. Semua terjadi di luar kendaliku. Aku yang dasarnya hanya berpesan pada papa, tak tahu jika akhirnya akan berakhir seperti ini," cecarnya membuatku kian kesal. Penjelasannya terlalu berbelit-belit dan tidak pada intinya.

"Kalau menjelaskan itu jangan panjang kali lebar apalagi kali tinggi. Banyak nanti ketemunya," keluhku yang tak sabaran ingin mendengar inti sarinya.

"Kalau itu nanti ketemunya volume dong, bukan aku dan kamu menjadi satu," jawabnya membuatku semakin dongkol.

Berkali-kali aku menarik napas panjang lalu mengeluarkan perlahan. Hingga Argantara malah menertawakan tingkahku.

"Kamu pikir ini lucu?" aku mendengus kesal.

Sepertinya kesabaranku sedang diuji di depan suamiku saat ini. 

"Kamu yang lucu." Dia mencubit hidungku yang mbangirini.

Sadar jika aku bertambah marah. Argantara pun mulai berbicara kembali.

"Sebenarnya aku ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status