Share

Terpaksa Menjadi Madu

Akhirnya aku hanya bisa pasrah, kala ayah tiba-tiba pingsan tepat di depanku. Rasa tak tega menjadi alasan utama untuk menerima permintaan menjadi pengganti malam pertama sekaligus madu dalam pernikahan kakak tiriku.

"Baik kalau begitu, saya akan menikahkan Salma menjadi madu dari Sinta," ucap ayah setelah sadar.

Acara akad dilakukan secara virtual, tak dihadiri oleh sang pengantin pria. Mungkin dia kelelahan setelah acara resepsi tadi. Aku pun memaklumi. 

Kini, aku telah sah menjadi madu dari kakak tiriku sendiri. Seketika itu juga, datang pria utusan dari juragan Amran. Yang tak lain adalah teman SMA aku dulu. Dia bekerja di rumah juragan Amran.

"Cie pengantin baru," goda Aldo padaku.

Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan kaos kaki yang saat ini aku lepas. Biar dia pingsan sekalian di dalam mobil Alphard ini. 

"Bisa diem nggak!" ketusku.

"Ehem, malam pertama nih ye. Enak tuh," godanya lagi dan aku pun meradang. Akhirnya aku layangkan pukulan tepat mengenai belakang kepalanya. Terlihat ia meringis kesakitan.

"Sakit, Sal." Aldo melotot.

"Bodo," balasku ketus.

"Loh, bukankah malam pertama itu malam yang diidamkan oleh para pengantin ya?"

"Iya kalau saling cinta atau setidaknya bukan madu," sahutku kesal.

"Madu? Maksudnya?" tanya Aldo seperti kebingungan.

"Iya, aku hanya dijadikan istri pengganti di malam pertama pernikahan kakakku. Aku dijadikan madunya," jawabku apa adanya dan Aldo pun semakin terkejut.

"Kok bisa?" tanya lagi, bertingkah seperti orang tak tahu apa-apa.

"Ya bisalah, Mbak Sinta kabur setelah acara resepsi," jelasku dan Aldo pun mengerutkan dahi, menandakan jika dia bingung dengan penuturanku.

"Kabur? Acara resepsi? Bukankah mereka menikah juga secata virtual ya."

Kini aku yang bingung, menikah secara virtual? Itu artinya sama denganku dong. Lalu apa alasan sang Argantara tak datang di acara akad? Lalu Mbak Sinta di panggung resepsi dengan siapa? 

Apa itu alasan Mbak Sinta kabur? 

Pikiranku semakin tidak karuan. Apa jangan-jangan pria yang menjadi suamiku itu sangat jelek sehingga Mbak Sinta memilih kabur? Ya Allah, tolong lindungi aku di malam pertama nanti. Jika dia jelek, tolong biarkan aku terbebas darinya, tetapi jika tampan biarlah aku menjadi madunya.

Astaghfirullah, aku berpikir apa. Kenapa jika tampan aku mau menjadi madunya. Segera aku menghapus doa yang terakhir. Semoga Allah mendengar dan tidak jadi mengabulkan doaku menjadi madu terus. Aku ingin menjadi istri utama dan bukan madu. Titik. Walaupun pada kenyataannya aku sudah menjadi madu.

"Malah bengong, ayo cepat turun," ajaknya padaku yang kini malah melamun.

Memang jarak antara rumahku dan juragan Amran hanya sekitar 5 kilometer saja. Jadi hanya menempuh beberapa menit saja sudah sampai.

Aldo turun terlebih dahulu. Ia membantu membawa barangku masuk. Ada rasa ragu saat kaki melangkah memasuki halaman rumah yang luas ini. Apalagi rumahnya megah dan berlantai 2, bak istana.

Datang seorang wanita berpakaian elegan. Wajahnya terlihat masih muda tak sesuai dengan umurnya yang sudah seusia dengan ibu tiriku. Ia menyambutku dengan penuh kehangatan, bahkan ia juga menuntunku memasuki rumahnya. Ya, dia adalah ibu Sofia, istri dari juragan Amran.

"Ayo, tidak usah sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri," ujarnya mengulas senyum.

"I-iya, Bu," jawabku terbata. Tak kusangka, ternyata keluarga Amran sangat baik. Tetapi kenapa mereka meminta hutang ibu dibayar dengan pernikahan? Sebenarnya apa yang mereka sembunyikan?

Kemudian wanita itu mengajakku ke sebuah ruangan. Aku yakin jika ruangan yang saat ini ada di hadapanku adalah kamar dari suamiku, Argantara Kusuma. 

"Masuklah terlebih dahulu, nanti barangmu akan dibawakan oleh pelayan di rumah ini," ujarnya setelah membukakan pintu.

Aku mengangguk dan tak bisa berkata-kata lagi. Antara takut dengan malam pertama yang akan dilalui dan juga alasan apa yang mendasari juragan Amran meminta hutangnya dibayar dengan pernikahan.

Dengan sedikit gemetar, aku mulai mengayunkan kaki memasuki kamar. Seketika aku terkejut melihat isinya. Benar-benar seperti hotel. Ada bunga di tengah-tengah ranjang berbentuk love dan ada sepasang angsa di tengah-tengahnya. Sungguh indah, aku sangat mengaguminya.

Akan tetapi, rasa kekaguman itu segera aku tepis. Ini adalah malam sial bagiku. Aku harus menjadi istri pengganti malam pertama. Ah, malang sekali nasibku.

Derap langkah kaki di luar ruangan menuju pintu membuat hatiku berdetak lebih cepat. Jangan-jangan dia adalah suamiku, Argantara. Dengan cepat aku duduk di tepi ranjang untuk mengatur napasku yang tak beraturan.

"Maaf, Mbak, ini tasnya," ucap seorang wanita yang usianya hampir seumuran denganku.

Aku bisa bernapas lega, ternyata dia bukan Argantara. Namun, aku malah menjadi curiga. Ada gadis seusia denganku. Apa mungkin dia juga salah satu dari istri Argantara?

Aku langsung berdiri dan mendekatinya. Tanpa basa basi aku langsung bertanya.

"Maaf, apakah kamu juga salah satu dari istrinya Argantara?"

Gadis itu malah tertawa mendengar pertanyaanku. Apakah pertanyaanku aneh? Ini semakin membuatku penasaran saja.

"Kenapa malah tertawa?" tanyaku kesal.

"Mbak, mas Argantara itu baru nikah sekali saja," jawabnya masih tertawa.

"Nikah sekali dengan 2 wanita maksudnya?" tanyaku menggaruk kepala yang tidak gatal, tetapi menandakan bingung.

"2 wanita?" Gadis itu terkejut.

"Iya, 2 wanita dan akulah madunya," jawabku dengan suara penuh penekanan.

"Masak sih?" Dia juga bingung, "lalu jika Mbak adalah madunya, terus istri pertamanya siapa?" Dia malah balik bertanya.

"Kakak tiriku istri pertamanya dan aku madunya," jelasku lagi.

Kini dia yang giliran garuk-garuk kepala. Sepertinya dia juga ikutan bingung. Buktinya tidak berucap lagi dan malah pergi begitu saja dari kamar ini dengan menggaruk kepalanya tiada henti.

"Ih aneh, kenapa dia malah jadi bingung begitu sih?" Aku berbicara sendiri seperti orang gila.

Sepertinya aku bakalan benar-benar gila karena banyak pikiran. Apalagi saat suara deru mobil memasuki halam rumah dan terdengar suara Aldo menyebut nama Tuan. Jantungku yang tadi berdetak normal, kini menjadi tidak beraturan. Berkali-kali aku menarik napas agar bisa sedikit tenang.

Di luar ruangan, terdengar bisik-bisik tentang acara resepsi tadi siang. Aku pun penasaran, rasa takut mulai terkikis dengan rasa kepo.

Aku mendekatkan kuping ke daun pintu. Supaya aku bisa mendengar lebih jelas apa yang mereka bicarakan. Bisa dipastikan jika yang berbicara adalah gadis yang barusan keluar.

"Tadi aku dengar mas Argantara menikah 2 kali."

"Masak sih?"

"Iya, wanita yang di dalam yang mengatakan. Katanya dia adalah madunya, bahkan dia mengira jika aku ini salah satu istri mas Argantara."

Mereka malah tertawa bersama. Aku menggerutu karena ditertawakan. Mereka pikir pertanyaanku adalah hal lucu.

"Tadi tuh ya, aku sempat dengar cerita Raka, katanya tadi dia ...."

Ucapannya menggantung, membuatku harus semakin mendekatkan kuping agar mendengar apa yang mereka bicarakan. Sayang, meski sudah kutempelkan ke pintu, tetap saja tak terdengar.

Hingga aku merasakan ada yang menyentuh pucuk kepalaku. Aku baru tersadar ternyata saat aku menguping, pintu telah bergeser.

"Dasar bodoh," gumamku.

"Kau mengatakan aku bodoh?"

Seketika aku mendongak. Suara berat itu membuatku menelan ludah dengan kasar. Mati sudah riwayatku malam ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status