Share

Istri Pengganti Malam Pertama
Istri Pengganti Malam Pertama
Penulis: Agung Ahmad S

Kabur Setelah Resepsi

"Menikahlah dengan kakak iparmu!" Perintah Ayah padaku.

Seketika aku terkejut. Bukankah aku diminta pulang untuk menyaksikan pernikahan kakakku. Tetapi kenapa aku malah diminta menikah dengan suaminya dan menjadi madu dari kakak iparku. 

***

Hari ini, aku yang sudah lama merantau di kota diharuskan pulang oleh keluargaku. Aku pun menyanggupinya karena aku memang sudah merindukan halaman tempat tinggal yang telah lama tak kupijak.

Pagi buta setelah aku selesai beberes rumah. Aku berpamitan pada majikan. Sebenarnya ada rasa tak tega jika harus meninggalkan Andara, anak berumur 7 tahun yang sudah aku asuh sejak berumur 5 tahun. 

Tangisnya pecah, begitu juga denganku. Pelukan erat yang kuberikan pada gadis kecil itu tak boleh dilepaskan. Namun, di jauh sana, pamanku sudah menunggu di terminal. Lelaki itu memberi kode agar aku segera melangkah ke bus yang sudah dipanaskan mesinnya sejak aku dan majikanku tiba di terminal.

"Andara, Mbak balik dulu ya. Nanti jika Mbak sudah selesai acaranya pasti kembali kok," ujarku seraya mengusap rambut lembutnya.

"Janji ya, Mbak," balasnya melepaskan pelukan karena ada sedikit tarikan dari sang mama.

"Iya, Sayang, Mbak janji," balasku penuh semangat untuk kembali bekerja pada orang baik itu.

Gadis kecil itu akhirnya mau melepaskan pelukan. Meski dengan berat hati ia lakukan. Begitu juga denganku. Air mata ini menetes tanpa pamit membasahi pipi. Sesekali aku menyekanya agar Andara segera berhenti menangis.

Akhirnya aku benar-benar berpisah dengan anak asuhku itu. Kemudian kaki ini melangkah memasuki bus yang akan melaju beberapa menit lagi. Sedangkan paman sudah duduk di kursi yang ia pesan, sekaligus kursiku.

Selama perjalan pulang, kami ngobrol biasa. Paman bercerita jika dia diminta menjemput karena ayah sedang sibuk mengurusi acara pernikahan. 

"Memangnya Mbak Sinta mau menikah dengan kekasihnya?" tanyaku karena aku sendiri tak tahu siapa calon suami kakak tiriku itu.

"Sepertinya bukan, dia menikah karena untuk menebus hutang ibumu pada juragan Amran. Katanya hutangnya sampai ratusan juta dan ayahmu tak sanggup membayar. Makanya kakakmu dijadikan tebusan," jelasnya.

Seketika hati merasa iba pada kakak tiriku itu. Malang sekali nasibnya. Itu semua karena kesalahan ibunya. Memang sih ibu tiriku sukanya foya-foya dan menghabiskan uang ayah, sampai-sampai semua warisan peninggalan kakek dan nenek habis. 

Sebab itulah, aku juga harus merantau demi membantu keuangan keluarga. Namun ternyata, ibu tiriku tetap saja masih berhutang sampai mengorbankan anaknya sendiri.

Selama perjalan pulang, paman banyak bercerita tentang keluargaku yang semakin kesusahan akibat ulah ibu tiriku. Katanya, ayah juga sering sakit-sakitan karena sudah semakin tua dan kebutuhan kian banyak, sedangkan tenaganya untuk bekerja sudah tidak seperti dulu lagi.

"Memangnya Mbak Sinta tak bekerja?" tanyaku yang tak percaya jika ayah sampai ikut ngutang juga demi memenuhi kebutuhan hidup.

"Tidak, Sinta setiap hari dia kerjaannya hanya main sama teman-temannya," sahut paman.

Padahal, hampir setiap bulan aku mentransfer uang pada mereka. Bahkan, terkadang uang khusus jajan pemberian majikan juga aku kirimkan. Tetapi, kenapa tetap saja kurang. Seboros apa mereka?

Tak terasa bus telah berhenti di terminal. Kemudian aku dan paman turun, lalu mencari angkot agar bisa sampai di rumah. 

Setengah jam berlalu, aku dan paman sudah sampai di jalan masuk kampungku. Di pojok kampung terpasang janur kuning melengkung yang menandakan jika ada pernikahan.

Gegas aku membayar ongkos angkot. Paman membantuku membawa beberapa tas yang isinya adalah oleh-oleh dari majikanku. Mereka memberikanku uang tambahan dan beberapa kantong makanan untuk dibawa pulang. Berharap jika setelah acara pernikahan aku akan segera kembali ke rumah mereka.

Di depan rumah sudah terpasang tenda hajatan. Ketika aku menginjakkan kaki di halaman rumah. Ayah langsung menyambutku dengan penuh kebahagiaan. Senyumnya terus terukir kala menatapku.

Ada yang aneh menurutku. Biasanya tamu akan keluar masuk silih berganti. Tetapi kenapa ini tidak?

Di samping panggung resepsi, pria berkisar umur 45 tahun itu merentangkan tangan. Menyambut kedatanganku dengan pelukan. Tentu aku membalasnya dengan hangat. Segera aku berlari untuk mendekatinya agar bisa segera melepaskan rasa rindu yang menggebu.

"Akhirnya anak ayah pulang juga," ujarnya penuh kebahagiaan.

"Iya, Yah," jawabku melepaskan pelukan dan mencium punggung tangannya sebagai tanda rasa hormat.

"Ayo masuk dan segera istirahat, acara akad akan dilakukan sekitar 2 jam lagi dan acara resepsi nanti pukul 2 siang," ucap ayah mengajakku masuk rumah.

Pantas saja sudah tak banyak tamu berseliweran seperti sebelum acara pernikahan. Awalnya aku tampak kaget. Aku pikir jika tenda ini baru saja dipasang, ternyata malah acara pernikahan hari ini. Ya, sudahlah, itu artinya aku akan segera kembali bekerja lagi jika pernikahan telah selesai.

"Oh iya, kalau sudah istirahat, segera ke rumah bude Murni ya. Kakak kamu sedang dirias di sana," ucap ayah lalu dia meninggalkan aku sendiri agar beristirahat sejenak.

Tubuh yang lelah mampu membuatku terhanyut dalam tidur lelap. Sampai-sampai aku bangun sudah mendengar keributan di ruang tamu. Ketika mata benar-benar sudah terbuka lebar. Aku menatap pada jam dinding. 

Seketika aku terkejut, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Sama sekali aku tak melihat akad dan resepsi. Gegas aku bangkit dari ranjang dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu.

Ibu tiriku sedang menangis meraung-raung, bahkan dia juga menjejakkan kakinya di atas lantai. Ayah sudah berusaha menenangkan, tetapi tak ada gunanya.

Aku yang semakin penasaran pun akhirnya mendekat dan bertanya. Sebab, ibu seperti orang gila saat ini.

"Ini ada apa?" tanyaku dan malah mendapat bentakan dari ibu.

"Ini semua gara-gara kamu. Seandainya kamu ada di rumah, pasti Sinta tak jadi menikah dengan anak juragan Amran!"

Loh, loh, kenapa jadi aku yang disalahkan. Bukankah dia yang berhutang? Kenapa malah menyalahkan aku, dasar Mak Lampir!

"Jangan menyalahkan Salma dong, Bu. Jelas-jelas anak kamu yang kabur setelah acara resepsi," jawab ayah membelaku.

Apa? Mbak Sinta kabur setelah acara resepsi? Ini bagaimana ceritanya? Kenapa dia bisa kabur? Aneh-aneh saja. Seandainya berniat kabur, kenapa tidak dari kemarin-kemarin sebelum acara akad.

"Pokoknya ibu tidak mau tahu, Pak. Salma harus menjadi pengganti malam pertama bagi anak juragan Amran. Ibu tidak mau masuk penjara karena hutang, Pak, tidak mau," rengek ibu pada ayah.

Apa? Aku akan dijadikan pengganti malam pertama kakak tiriku. Tidak. Aku tidak mau. Itu sama saja aku berbuat zina.

"Tidak, Bu, aku tidak mau." Aku menolak mentah-mentah.

Kemudian ayah malah ikut mengiba. Memohon agar aku mau menggantikan kakak tiriku malam nanti.

"Ayah tega?" tanyaku mulai berurai air mata.

Pria itu ikut menangis. Mungkin ini adalah keputusan yang sulit baginya.

"Menikahlah dengan kakak iparmu!" Perintah ayah kala aku terus menolak permintaannya dengan alasan takut jadi dosa jika menjadi pengganti di malam pertama.

Namun, pada kenyataannya aku malah diminta untuk menjadi madu dari kakak tiriku. 

Bagaimana ini? Kenapa malah aku yang bernasib malang? Sebenarnya apa alasan Mbak Sinta kabur? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status