Share

4. Lelaki mesum

“Apa kau tidak bisa melakukannya dengan perlahan saja?” Rahang Andika mengeras, matanya terbelalak dan pipinya memerah akibat rasa malu yang menyelimuti dirinya.

Pakaian mahalnya kini bernoda kopi panas yang tumpah akibat ketidakhati-hatian pelayan baru, Cantika.

“Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja karena ada sesuatu yang membuat saya terjatuh,” ucap Cantika lirih, sambil melirik sekilas ke arah Kartika.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?" ujar Kartika, mendelik penuh amarah. Alisnya menyatu, dan bola matanya memancarkan api kemarahan. "seorang pelayan rendahan beraninya menatap nyonya rumah sepertiku! Apa kau ingin menuduhku melakukan hal hina seperti itu?” Wajahnya merah padam sekaligus merasa bersalah karena di sini, salahnya sendiri yang menyebabkan kesalahan.

Cantika menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi yang memuncak, merasa ditekan oleh tatapan tajam suaminya yang membuatnya ingin menangis. “Saya tidak bermaksud menuduh Anda, hanya saja kaki saya memang tersandung sesuatu hingga jatuh.”

Andika, yang saat itu duduk di kursi ruang tamu, bangkit dengan geram dan menatap gadis itu dengan tatapan merendahkan. Ekspresi wajahnya menyiratkan betapa kecewanya pada Cantika.

“Seharusnya kalau kau tidak bisa bekerja hari ini, jangan memaksakan diri!” ucap Andika dengan nada sinis, lalu pergi dari sana tanpa menoleh, meninggalkan Cantika dalam keadaan terpuruk, sambil memperhatikan langkah kakinya yang semakin jauh.

Kartika yang melihat suaminya pergi tanpa mengatakan apa pun, melirik Cantika dengan sinis. Lalu beralih kepada tamu yang ditinggalkan, sehingga sekarang perempuan tersebut sibuk menenangkan tamunya.

Cantika melihat ini sebagai kesempatan untuk merapikan kekacauan yang telah ia buat. Dengan perlahan, ia mengelap tumpahan kopi di lantai dan meja. Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, gadis itu bergerak lincah. Sesekali, ia meremas pahanya, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara. Bekas kuku di pahanya tidak mempengaruhi semangatnya. Nampan di tangannya bergoyang saat Cantika berusaha berdiri dari posisi jongkok. Suara dentingan gelas terdengar, membuat Kartika menatapnya dengan tajam.

"Maafkan saya," kata Cantika sambil membungkukkan tubuh, kemudian pergi menuju dapur.

Di dapur, Cantika melihat Andika yang berdiri, menatapnya dengan dingin. Namun, gadis itu memutuskan untuk mengabaikan tatapan suaminya dan melanjutkan langkahnya melewati Andika. Rasa kesal akibat sang suami tak mengenali dirinya masih membayangi hati Cantika.

Andika mencengkram tangan Cantika dengan erat, tubuhnya bergelora kemarahan. "Kenapa kau malah melewatiku?" keluhnya seraya merasakan rasa nyeri di dalam dadanya.

Disaat pelayan rendahan seperti Cantika tak menatapnya dan malah berpura-pura tidak melihat kehadirannya.

"Saya tidak melihat, Tuan. Jadi maafkan saya!" Cantika menjawab pelan sambil menundukkan kepala.

Namun, Andika merasa kalau Cantika sedang berbohong, sehingga ia semakin kuat mencengkram tangan mungil gadis tersebut.

Wajah Andika memerah oleh kemarahan, "Kau berbohong kepadaku? Padahal aku adalah majikanmu, tetapi berani sekali kau!"

Cantika meringis, menahan rasa sakit yang dihasilkan dari cengkeraman tangan Andika. "Saya mohon, lepaskan saya, Tuan! Saya di sini hanya bekerja, bukan siapa-siapa!"

Ucapan Cantika membuat bibirnya menggigit, karena mengatakan hal yang menyakitkan bagi dirinya sendiri.

"Maksudmu apa mengatakan kalau kau bukan siapa-siapa?" Kali ini suara Andika terdengar melunak, mata yang tadinya tajam berubah menjadi berkaca-kaca. Tak lagi meninggi seperti tadi.

Cantika terperangah, matanya berkaca-kaca ketika merasa sang suami mengenalinya. Baru ingin menggumamkan kata-kata, namun Andika menarik lengannya untuk mendekat.

"Kau ini pelayanku, jangan berani-berani membohongi tuanmu!" bentak Andika sambil menepis tangan Cantika kasar, lalu melangkah pergi dari tempat itu.

Hatinya tercabik melihat punggung lebar suaminya menjauh, yang berkali-kali melukainya dengan perkataannya.

Cantika mengusap mata yang basah, menahan isak sambil menatapnya semakin menjauh. "Kenapa engkau melupakan istrimu, padahal kita pernah menghabiskan malam indah bersama!" gumamnya hampa.

Dalam kebingungannya, Cantika bergegas menggenggam nampan berisi gelas kotor dan pergi ke dapur. Beruntung gelas itu tidak terjatuh, sebaliknya masih utuh meskipun hatinya hancur.

Bulir-bulir bening menetes dari kedua sudut mata Cantika, namun dia seakan tak mempedulikannya. Ia terus mencuci gelas dan perabotan yang menumpuk di wastafel, lalu beralih membersihkan bagian lainnya. Cantika acuh saja bila ada yang melihat penampilannya sekarang. Air mata tetap saja menetes tak terbendung. Kemudian, tubuh Cantika seolah kehilangan tenaga, sampai lantai keramik yang dipijak terasa bergetar.

Cantika pun terduduk lemas di sudut dapur, gemetaran tak terkendali. "Ayah, aku tak yakin bisa bertahan di sini! Suamiku sendiri bahkan tidak mengenali aku, istrinya sendiri," ujarnya hancur, sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.

Airmata Cantika membasahi wajahnya yang pucat, memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit dari memar dan luka di tubuhnya hampir tak terasa, namun hatinya yang tak terluka justru merasakan penderitaan yang tak terhingga.

Seorang diri, Cantika terdiam di sudut rumah besar yang semula milik istri pertama suaminya. Suaminya dan istri pertama terang-terangan berlaku tak adil padanya, membuat Cantika semakin merasa dirinya menyedihkan. Tiada seorang pun yang bersimpati kepadanya.

"Sudahlah, tak ada gunanya terlalu bersedih. Semuanya malah akan membuatku semakin menderita kalau terlalu dipikirkan," gumam Cantika seraya bangkit dari kursi.

Dalam upaya menenangkan hati, ia memutuskan untuk membasuh wajah dengan air. Menyegarkan, itu yang ia rasakan saat air membasahi wajahnya.

"Hei, kau harus datang ke ruang tamu tadi! Aksi konyolmu tadi membuat tamuku menjadi marah, jadi kau harus bertanggung jawab menghibur mereka!" Kartika datang dengan tangan bersedekap di dada, menatap rendah kepada Cantika.

Cantika terperanjat, tak mengerti apa yang harus ia lakukan. "Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya dengan raut kebingungan. Seumur hidupnya, ia belum pernah mengalami situasi seperti ini, diminta untuk menghibur orang yang tak ia kenal.

“Ya, kau tinggal lakukan apa yang mereka perintahkan. Itu saja tidak mengerti!” gerutu Kartika sambil menatap tajam wajah Cantika, matanya menerawang kesal.

“Tidak melakukan yang aneh-aneh, kan?” Cantika menatap ragu kepada Kartika, entah kenapa jantungnya berdebar kencang saat berurusan dengan istri pertama sang suami.

Kartika menghela napas berat, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Kau pikir aku akan melakukan hal rendah seperti itu? Aku hanya menyuruhmu menghibur mereka dengan menuangkan anggur saja, tidak lebih! Kalau mereka melakukan sesuatu kepadamu, kau tinggal pergi saja dari sana!”

Kartika meraih sebotol anggur di meja dan memberikannya pada Cantika, lalu berlalu pergi meninggalkan gadis muda tersebut dengan senyuman misterius yang membuat Cantika semakin gelisah.

Cantika merapikan rambutnya yang tergerai, tak ingin membuat tamu sang suami menunggu lebih lama lagi. Senyuman pun diukir semanis mungkin di wajahnya, berharap mereka semua tak mengeluhkan layanan yang dirinya berikan. Dengan langkah anggun, Cantika melangkah menuju ruang tamu. Begitu memasuki ruangan, ia terkejut melihat tak ada satu pun orang di sana.

Gadis itu mengerutkan keningnya sambil memandang heran ke arah ruang tamu yang kosong. "Loh, kok tamu-tamunya pada kemana, ya?" gumam Cantika bingung.

Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya ke dalam ruangan yang berada bersebelahan dengan ruang tamu. Kedua mata Cantika membulat terkejut.

"Di sini, Cantik. Kamu nyari kami di mana sih?" tanya seorang lelaki dengan senyum mesum mengembang di wajahnya, seolah menikmati raut kebingungan Cantika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status