Share

Bab 5 Sebuah Kejelasan

Bab 5 Pernyataan Riana

Aku tahu aku kelihatan bodoh mengatakan ini, tapi aku mencoba memahami situasi dan kondisi Mbak Riana saat ini, hati wanita mana yang tak hancur jika lelaki yang amat di cintainya mendua dibelakangnya.

"Gak usah sok baik kamu!" Kali ini ibu Kak Riana ikut bicara dan memojokkan aku.

Ya Tuhan apa yang harus kukatakan pada mereka?

"Kalian." Mas Farel menunjuk Mbak Riana dan mertuanya, "jangan pernah menghakimi Ane, ini bukan salahnya." 

Harusnya aku senang dibela sedemikan rupa oleh lelaki yang aku cintai tapi tidak untuk kali ini, aku merasa muak dengan sikap Mas Farel. Aku jijik dengan sifat egoisnya itu, lelaki tak punya hati dan perasaan hanya memintingkan diri sendiri.

Brak!

"Mama!" Tasya berteriak saat melihat Mbak Riana.

"Astaga  Mbak Riana!" Aku menjerit melihatnya, Mbak Riana memegang dadanya, napasnya tersengal. 

"Mama." Tasya memeluk Mbak Riana yang napasnya kian tersengal.

"Mas kenapa diam saja, panggil ambulance cepat!" teriakku sedikit membentak Mas Farel. Entah dimana hati nuraninya hingga dia tak ada inisiatip sedikitpun untuk memanggil ambulance.

Napas Mbak Riana kian tersengal, dia berusaha berucap namun sepertinya dia kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata.

"Jangan sentuh anakku, dasar pelakor!" 

Baru saja aku akan mendekat dan memohon maaf pada Mbak Riana, Ibunya dengan sinis membentakku. Aku diam, aku sadar ini semua sedikit banyak juga karena aku juga. Andai hari itu aku tak langsung menerima lamaran Mas Farel, semua ini tak akan terjadi.

Aku dengan mudahnya percaya dengan janji dan kata-kata manis memabukkan yang diucapkan oleh Mas Farel, sehingga begitu mantap menerima lamaranya meskipun kenal baru seumur jagung.

"Mama...."

Aku menoleh ketika melihat jeritan Tasya, bocah itu menjerit saat kepala Mbak Riana terkulai lemas di sofa. Dengan sigap Mas Farel mendekat dan memegang tangan Mbak Riana dan meraba nadinya.

Inalilahi wainalilahi rojiun.

***

"Sayang, kok bengong. Kita sudah sampai lho!" 

Aku tersentak mendengar suara Mas Farel, segera aku menoleh kesamping.

"Astagfirullahaladzim," gumamku. Ternyata tadi hanya halusinasiku saja.

"Jadi masuk gak nih?" tanya Mas Farel padaku yang masih bengong memikirkan halusinasiku barusan.

Bagaimana kalau itu terjadi?

"Mas, kita putar balik ajalah," ucapku lirih.

"Lo kok putar balik, kenapa?" tanya Mas Farel. Aku sempat melirik ekspresi wajahnya, tenang dan datar. 

"Gak papa sih Mas cuma aku, aku kurang sehat," ujarku berbohong. Sebenarnya aku takut apa yang tadi dalam hayalanku menjadi kenyataan.

"Tapikan gak enak sayang, kita sudah sampai sini. Tuh lihat, yang punya rumah saja keknya sudah tahu kita datang."

Aku menatap Mas Farel sekilas, aneh kenapa justru Mas Farel kelihatan santai saja bahkan tak terlihat panik sama sekali.

"Bu Guru cantik." Tasya muncul dari balik pintu begitu aku dan Mas Farel turun dari mobil. 

Bocah itu kemudian mendekat dan memelukku. Ini aneh dan di luar jangkaanku, kenapa aku yang dipeluk, kenapa bukan Mas Farel, dan kenapa Mas Farel juga tak kelihatan panik ataupun tegang?

"Om ini, siapa Bu Guru?" tanya Tasya. Netranya menatap Mas Farel namun ekspresinya biasa saja.

Sungguh aku semakin bingung sekarang ini, apa mungkin itu artinya memang semua hanya dugaanku saja?

"Om ini, suami Bu Guru cantik, Sayang," ujar Mas Farel membungkuk mensejajarkan tubuhnya dengan Tasya.

"Eh Bu Guru sudah datang ya? Mari masuk Bu Guru," ujar Mbak Riana dari balik pintu.

Kami pun melangkah masuk kedalam, tak ada yang aneh, semua tampak biasa saja bahkan ketika kami duduk berhadapan disofa.

"Bu, kenalin ini Bu Guru Ane, Guru Bimbal di sekolah Tasya," ujar Mbak Riana.

Perempuan setengah baya itu tersenyum ramah padaku. Kuraih tangan orang tua itu lalu kucium punggung tanganya.

"Ibu ke dapur dulu ya, Bu Guru," ujar wanita tua itu setelah beberapa saat mengobrol dengan kami. Semua biasa saja tak ada ekspresi tegang seperti dalam khayalanku tadi.

"Ma, oom ini mirip Papa ya?" 

Deg!

Mirip Papa? Apa itu artinya memang dugaanku selama ini salah, foto yang kemarin kulihat itu hanyalah orang lain yang mirip Mas Farel, tapi kenapa namanya juga Farel?

"Eh iya ya Mbak, Subahanallah, mirip banget suami Mbak Ane sama suami saya waktu kurus dulu ya. Bahkan hampir tak ada bedanya," ujar Mbak Riana terkekeh pelan.

"Wah jangan-jangan suami Mbak itu kembar ari-ari saya," ujar Mas Farel terbahak.

Terima kasih Ya Allah, ternyata semua itu hanyalah hayalanku saja dan suamiku juga ternyata tak seburuk yang aku bayangkan.

"Oh ya, suami Mbak Riana kok gak pulang?" tanyaku setelah cukup lama aku hanya diam.

"Biasalah Mbak, sibuk," jawab Mbak Riana pelan.

"Memamg suaminya di mana, Mbak?" tanya Mas Farel. 

"Suami saya kerjanya pindah-pindah, tergantung bosnya, dia arsitektur bangunan," kata Mbak Riana menjelaskan. 

"Pak, Bu Guru, Riana, Tasya, mari makan! Makanan sudah siap," ujar Ibu Mbak Riana.

"Ya Allah Bu, kok repot- repot," ujar Farel.

"Gak papa Pak, eh tadi siapa namanya?" 

"Farel, Bu," jawab Mas Farel.

"Lo, nama juga mirip toh," ujar Mbak Riana.

"Ooo, pantas istri saya pernah tanya kenal Mbak Riana apa enggak, jad ini toh biangnya," ujar Mas Farel terkekeh.

"Oalah, iya to Bu Guru," kata Mbak Riana yang sukses membuatku malu.

Diam-diam kucubit paha Mas Farel, untung dia hanya senyum-senyum saja saat pahanya kucubit, kalau gak makin malulah aku.

"Tenang saja Bu Guru, Farel saya bukan Farel Bu Guru, cuma mirip wajah sama nama saja," ujar Mbak Riana.

"Tuhkan  makanya jangan suudzon, Sayang," bisik Mas Farel.

"Bu Guru, ayo makan," kata Tasya menggandeng tanganku. Aku dan Mbak Riana kini berjalan beriringan menuju meja makan.

"Kapan-kapan ketemuan satu keluarga yok Mbak, nanti-gantian saya yang akan menjamu Mbak Riana," ujarku.

"Iya, kalau suami saya gak sibuk ya," jawab Mbak Riana.

"Gak papa Mbak, pokoknya sewaktu luangnya aja biar kita makin akrab Mbak," kataku penuh semangat.

Entah kenapa dihatiku masih ada yang mengganjal, mana mungkin orang begitu mirip bahkan nama juga mirip. Jujur masih ada rasa curiga dihati ini sebelum melihat pria suami Mbak Riana itu secara langsung.

Disepanjang makan netraku tak luput memperhatikan mereka, Mas Farel makan dengan lahap sambil sesekali mengambilkan lauk untukku, sementara Mbak Riana tampak asyik melayani Tasya sementara Ibu Mbak Riana, wanita itu sesekali menatap kami dengan pandangan yang sedikit aneh. 

"Papa, nginep ya malam ini," kata Tasya yang membuatku reflek langsung menatap kearah bocah itu.

"Sayang, itu Om Farel bukan Papa, kamu kangen Papa ya? Habis ini telpon Papa ya," ucap Mbak Riana pelan.

"Eh iya Tasya lupa," ucap bocah itu tersenyum dan melanjutkan makannya.

"Sudah sebulan suami saya gak pulang jenguk kami Mbak, bahkan kemarin aku masuk Rumah sakit pun dia gak begitu gak peduli. Entahlah, sepertinya dia sudah menikah lagi, saya cuma kuatir aja kalau-kalau istri keduanya itu di tipu sama dia, Mbak," ujar Mbak Riana. Wajahnya kelihatan senang saat berucap.

"Maksudnya, Mbak?" tanyaku tak mengerti.

"Namanya lelaki Mbak, bisa saja dia mengaku bujang terus menikah lagi," ucap Mbak Riana pelan namun mengandung arti.

"Iya sih Mbak, apalagi sekarang dokumen juga bisa dipalsukan termasuk KTP," ujarku santai.

Uhuk  uhuk!

Mendadak Mas Farel, yang ingin minum tersedak mendengar ucapanku barusan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status