Share

Bab 5. Kejutan Malam

Dua jam lebih Mutia menangis seorang diri di kamar, menumpahkan segala rasa sakit yang ia rasakan atas hinaan dari ibu mertuanya yang bermulut tajam dan suami brengseknya itu.

“Aku tak menyangka Firheith sangat licik! Setuju menikahiku demi mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, dengan menumbalkanku!” Mutia meremas dadanya kuat-kuat seraya merutuki pria itu dengan kasar. “Aku benar-benar bodoh!”

Teringat Alda, biasanya ia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya itu. Jari Mutia hampir menekan nomornya untuk menelepon, tapi urung dilakukan karena sebelum pegi ia tak berpamitan padanya. Gara-gara Firheith yang beralibi tergesa ke bandara. Takut terlambat dan waktunya mepet.

“Jangan! Alda pasti marah padaku.” Mutia menggeleng ragu, lalu meletakkan ponselnya lagi ke sisinya berjongkok dengan bersandar lesu di punggung pintu.

Sementara Firheith meninggalkannya sendiri dan pergi setelah itu seperti pengecut. Tapi kemudian, Mutia tergesa menghapus air matanya ketika mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar.

“Siapa?”

“Ini saya Espen, Nona. Anda ditunggu Tuan Gabriel dan yang lainnya untuk makan malam sekarang!" teriak pelayan itu supaya Mutia di dalam mendengar.

Kreekk.

Espen lega, akhirnya Nona muda ini membuka pintunya. Tapi ia tiba-tiba kasihan melihat kedua netra Mutia yang sembab. Tak ingin menyinggung, Espen pura-pura tak tahu.

“Aku akan ke meja makan sebentar lagi Espen,” kata Mutia dengan lengkungan senyum tipis.

“Baik Nona Mutia, kalau butuh apapun. Jangan ragu memanggil saya,” balas Espen seraya menyerahkan dua kantong belanja yang berukuran besar ke tangan Mutia.

“Apa ini yang kamu berikan padaku, Espen?” Mutia mengernyitkan kening, dengan sedikit kewalahan menenteng.

“Tuan Gabriel membelikan baju untuk Anda. Ia berpesan supaya Anda memakai salah satu gaun itu untuk makan malam kali ini," jelas Espen dengan ramah.

Aroma baju mahal langsung tercium, ketika Mutia memperhatikan logo keemasan di luar kantong belanja. Setidaknya, pemberian Gabriel ini membuktikan satu orang di keluarga Lander menganggapnya ada.

“Terima kasih, aku akan memakainya,” ujar Mutia lalu menutup pintu kamarnya sepeninggal Espen.

Mutia harus cepat bersiap. Tak ingin memberi kesan buruknya sebagai menantu di sana. Lalu ia memilih dress polos warna baby pink untuk dikenakan dan memberi riasan tipis di wajahnya agar tak terlihat pucat.

“Selamat malam, Papa, Mama,” sapa Mutia begitu sampai di meja makan.

Firheith ternyata lebih dulu di sana, menoleh datar padanya bersamaan dengan Gabriel yang tersenyum hangat. Sementara Glady dan Celine, adik Firheith itu langsung menunjukkan ketidaksukaannya pada Mutia.

“Upik abu tetaplah Upik abu, meski dengan pakaian berharga ribuan euro!” lontar Celine dengan keras.

Mutia tersenyum kecut, berusaha sabar mendengar ejekan itu. Rupanya, selama tinggal di sini. Ia harus kebal dan pura-pura tuli supaya mentalnya aman.

“Duduklah dan makan malam bersama kami, Mutia,” suruh Gabriel dengan lembut.

“Terima kasih, Papa.”

Espen menggeser kursi untuk Mutia duduk di sebelah Firheith. Ia berterima kasih lalu melirik Firheith yang sibuk dengan ponselnya, masih belum memulai makan.

“Fir, kamu mau makan apa? Biar aku ambilkan,” tawar Mutia dengan manis.

Namun, Firheith justru menolaknya mentah-mentah sehingga Gabriel mengelus dada. Tidak Glady yang terlihat senang melihat tingkah putranya itu.

“Biarkan Espen yang mengambilkan untukku. Kamu tidak usah mengurusiku, makanlah sendiri!” tukas Firheith tanpa melihat Mutia.

Mutia membuang napas berat. Ia berusaha tenang dan kembali menarik tangannya, setelah meletakkan centong sayur ke mangkuk. Walau terdengar jelas tawa cemooh dari Celine, senyum smirk dari Glady dan ratapan iba dari Gabriel padanya.

“Kasihan... Haha! Memang enak dicuekin?” tambah Celine mengejeknya lagi.

“Jangan berisik di meja makan, Celine! Hargai kakak iparmu!” tegur Gabriel membuat putri bungsunya merengut, terlebih perhatian Gabriel condong pada Mutia.

"Iya, Pa!" sahut Celine patuh, meski nadanya ketus.

Meja makan berangsur kondusif, semua makan dengan tenang walau Mutia tak nyaman mendapat tatapan intimidasi dari Glady dan Celine. Ia merasa semua makanan yang dikunyah nya sulit ia telan dan tercekat di tenggorokan.

“Fir."

"Ada apa Pa?" Firheith menyahuti panggilan Gabriel, seraya menatap pria tua itu yang terlihat meminum jus jeruk.

"Besok Pengacara keluarga kita akan datang ke rumah mengurus perpindahan hotel crousant atas namamu,” ujar Gabriel membuat Firheith menunda sendok yang akan meluncur ke dalam mulut.

Wajah murung pria itu seketika berseri-seri menatap sang papa. Seperti halnya atensi Mutia, Glady yang membolakan mata dan Celine yang masih menyimak seraya makan, seolah tak terpengaruh dengan hal itu.

“Papa serius?” Ini kabar yang sangat baik. Firheith terlihat begitu senang, menunggu dengan tak sabar jawaban Gabriel selanjutnya yang sedang menyeka mulutnya dengan napkin.

Glady yang rupanya kurang setuju lalu memprotes, “Ya ampun Gabriel! Aku sudah mengatakan padamu, bukan? Kalau kita sepakat—”

“Keputusanku tidak bisa diganggu gugat, Glady. Dulu kamu sendiri yang bersikukuh menjanjikan ini pada Firheith, lantas kenapa sekarang kamu yang berubah pikiran?” potong Gabriel membalik situasi.

Glady mendengkus kesal. “Aku tidak akan berubah pikiran, kalau istri Firheith dari kalangan wanita terhormat dan bukan dari kalangan orang miskin tidak jelas sepertinya!”

Kepala Gabriel pusing mendengar istrinya yang tak pernah sepaham dengannya, dari dulu terlalu tinggi mematok standar istri untuk putra mereka. Sementara itu, Mutia yang jelas-jelas dihina pun tertunduk lesu meremas jarinya dengan kuat. Ingin rasanya ia berteriak dan membalas mulut lantam ibu mertuanya, jika ia memiliki keberanian.

Tiiing!

Dentingan sendok yang dibanting Firheith, membuat semua atensi keluarganya tertuju pada pria itu yang terlihat marah.

“Cukup! Aku bosan kalian selalu ribut jika aku berada di rumah ini! Tidak bisakah kalian membedakan mana ruang makan dan ruang adu mulut, huh?" teriak Firheith jengah, bangkit dari duduk.

“Tetap di sini, Fir. Aku belum selesai bicara!” sergah Gabriel begitu melihat Firheith yang akan pergi meninggalkan meja makan.

"Tapi Pa?"

"Duduklah jika kamu ingin warisanmu diberikan! Atau aku menarik kembali semua perkataanku tadi!"

Firheith menghela napas kasar. Akhirnya ia patuh dan setuju untuk kembali duduk, demi menunggu kepastian Gabriel soal warisannya itu. Ia tahu papanya hanya menggertak, karena selama ini papanya tak pernah ingkar janji. Berbeda dengan sang mama yang tak konsisten jika tak sesuai keinginannya.

“Kamu setuju atau tidak, Glad. Firheith tetap akan mendapat bagian warisannya. Itu sudah menjadi haknya. Begitupun dengan Celine kelak, jika menikah,” ujar Gabriel membuat Celine sumringah.

Glady membisu dengan napas memburu, Firheith tersenyum lepas mendengar keputusan final itu yang sangat menguntungkannya.

“Jangan senang dulu, Fir! Aku memang akan memberikan hotel crousant padamu tapi dengan syarat!”

“Syarat apa Pa?” tanya Firheith dengan jantung berdebar-debar.

Hening seketika menyapa suasana meja makan, saat semua pasang mata mengikuti tatapan Gabriel yang mengarah pada Mutia.

“Jika kamu sampai menceraikan Mutia, maka hotel crousant akan berbalik menjadi milik Mutia!”

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
ya kak.rasain fir haha
goodnovel comment avatar
Anis Eko
hah gmna tuh fir......
goodnovel comment avatar
Paprika Hijau
Keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status