Share

Bab 4. Menagih Warisan

Mutia akhirnya lega sampai di kediaman Firheith, walau kondisi tubuhnya lemas akibat mabuk perjalanan panjang. Mengudara lama dengan pesawat dari Indonesia ke Belgia.

“Ck, kampungan! Kamu bisa jalan sendiri, kan? Aku tidak sudi menggendongmu!” cibir Firheith dengan sarkas.

Teganya ia membiarkan Mutia menyeret kopernya sendiri, malah berlenggang kaki lebih dulu sampai di teras rumahnya. Sementara koper miliknya dibawakan sopir taksi.

Mutia menahan kesalnya dalam hati, karena pria itu menunjukkan watak aslinya selama di pesawat. Saat ia muntah atau kelaparan, jangankan menolong. Firheith malah kegenitan menggoda pramugari atau wanita di sana.

“Setan!”

“Diam atau pulanglah sendiri ke Indonesia!” bentak Firheith melotot.

Mutia terdiam lalu menghela napas. ‘Sabarkan aku, Tuhan.’ Jika tak ingat ibunya atau memiliki uang sendiri. Pasti Mutia akan kembali ke bandara dan meninggalkan pria itu.

“Seperti suara Tuan Fir?” Pelayan di rumah mewah itu bergumam, melirik ke pintu luar ketika mengelap meja.

Bicaranya ini terdengar oleh sang tuan rumah yang duduk tak jauh darinya sedang membaca koran.

“Espen, di luar ribut-ribut ada apa? Coba kamu cek!”

Ting tong!

“Ada tamu sepagi ini?” Sang tuan bersilang pandang dengan Espen, pelayan wanita itu. Tapi entah mengapa? Perasaannya mendadak bahagia.

“Biar saya buka pintunya, Tuan.”

Espen beranjak menuju pintu luar, membukanya dengan mata membola dan senyuman lebar.

“Tuan Gabriel, Tuan Muda pulang!” seru Espen membuat Gabriel melipat tergesa korannya, pria tua itu segera bangkit menuju luar.

“Fir, kamu akhirnya pulang.” Gabriel terharu, langsung memeluk sang putra dengan erat.

“Papa apa kabar?” tanya Firheith senang, melihat Gabriel yang masih bugar dan awet muda di usia 60 tahun.

Lima tahun sejak Firheith meninggalkan rumah, setelah bertengkar hebat dengan Glady, ibunya. Kini—tanpa disuruh, sang putra kembali pulang.

Meskipun Gabriel terlihat seakan tidak peduli dan tidak mencarinya, tetapi diam-diam ia menyuruh anak buahnya untuk mengawasi Firheith.

“Baik, Fir—” jawaban Gabriel terpotong sosok Mutia yang baru terlihat olehnya setelah tertutup perawakan tinggi Firheith. “Ia siapa?”

Firheith langsung menggeser tubuhnya, hingga Mutia terpampang jelas. Wanita muda itu tersenyum hangat dan mencium tangan Gabriel.

Entah mengapa? Gabriel merasa, wajah Mutia ini seperti mirip seseorang yang dikenalnya di masa lalu. Tetapi siapa? Gabriel lupa.

“Ini istriku, Pa,” akui Firheith, mengejutkan Mutia karena tak hanya itu. Firheith tiba-tiba merengkuh pinggangnya dan bersikap sok mesra. Seolah mereka berdua pasangan harmonis.

“Istri?”

Gabriel dan Espen mengangkat alisnya ke atas.

“Sejak kapan kamu menikah?!” Lengkingan suara tajam itu, datang dari wanita setengah baya yang berjalan menuruni tangga.

Gabriel dan Espen yang belum menghilangkan keterkejutannya. Sontak menautkan pandangannya kepada sang Nyonya penguasa kediaman Lander, yang kini berdiri angkuh di depan Firheith dan Mutia.

“Dua hari lalu, Ma. Apa kabar?” sapa Firheith dengan tampang datar. Tidak antusias, seperti bertemu dengan Gabriel.

Mutia merasa ada yang tak beres di keluarga ini, apalagi sebelumnya Firheith tak pernah mengatakan apapun. Pria itu penuh misteri, Mutia jadi bingung sekaligus terlihat bodoh di depan mereka semua.

“Kabarku semakin buruk setelah mendengarmu menikah tanpa restu dariku!” ujar Glady sarkas.

Lirikannya sinis mengamati penampilan Mutia dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Mutia kikuk dan insecure. Pakaian yang dikenakan Glady serba bermerek, dengan kilau berlian di telinga, leher dan tangan.

Sementara Mutia hanya mengenakan trench coat warna caramel, dipadu celana jeans panjang navy yang dibelinya dari diskonan mall.

“Jangan terlalu berlebihan, Mama. Sambutlah menantumu ini.”

Firheith mendekatkan Mutia. Glady mundur dengan bahu bergidik dan terlihat mengabaikan tangan Mutia yang mengajaknya bersalaman.

“Kamu pungut dari mana wanita udik ini, Fir? Jangan-jangan ... ini pelacurmu yang sengaja kamu bawa ke rumah untuk diakui sebagai istri!” ejek Glady dalam bahasa Belanda, pikirnya Mutia tak akan paham.

Tapi Glady salah, Mutia ternyata dapat berbahasa Belanda karena dulunya sempat kursus. Ia tahu hinaan itu jelas ditujukan padanya.

Jantung Mutia seakan ditusuk-tusuk paku. Dadanya terhimpit sesak air mata, yang berusaha dilaluinya dengan mengerjap ke atas ketika diperhatikan Firheith.

“Mutia berasal dari keluarga baik-baik, Ma. Walau tidak sekaya kita, bahkan ia seorang guru!”

Pembelaan Firheith membuat Mutia dan Gabriel tercengang. Putranya yang egois kini telah kembali berubah baik seperti dulu.

Lantas, haruskah Mutia juga berterima kasih pada pria laknat itu yang sikapnya berubah-ubah seperti BMKG?

Sulit diprediksi.

Detik ini membela, nanti menghinanya lalu berubah lagi acuh tak acuh.

“Glad, kendalikan dirimu! Mutia sekarang telah menjadi menantu kita, hormati ia?” peringat Gabriel lembut menarik tangan Glady menjauhi Mutia.

“Tidak usah mengguruiku Gabriel! Dasar pria tidak berguna!” balas Glady seraya menyentak kasar tangan Gabriel.

Gabriel terdiam menarik napas dengan sabar. Firheith kasihan melihat sang papa yang kerap ditindas oleh mamanya itu.

Inilah yang menjadi salah satu penyebab, Firheith pergi dari rumah. Sehingga tidak pernah serius berhubungan dengan wanita, karena berpikir wanita itu menjengkelkan dan maunya menang sendiri.

Bahkan ia sudah menebak, jika Glady pasti tidak setuju. Oleh karenanya, ia mengantisipasi dengan sengaja merahasiakan pernikahannya dan Mutia.

“Mutia, ambilkan surat nikah kita di koper!” titah Firheith, tapi Mutia justru mematung dengan pandangan kosong. “Mutia!” sentaknya lebih keras hingga Mutia yang berjengit—tersadar.

“I-iya, Fir.”

Dengan tangan gemetar, Mutia menyerahkan surat nikahnya pada Gabriel atas suruhan Firheith.

“Itu buktinya aku sudah menikah. Jadi, papa dan mama harus menyerahkan hotel crousant padaku,” ujar Firheith dengan menyapukan pandangannya pada Gabriel dan Glady yang sedang membaca surat nikahnya.

Gabriel tersenyum lega melihat surat nikah itu, artinya; Firheith telah berhenti dari dunianya yang kelam dan serius menata masa depan seperti harapannya. Lain halnya Glady yang emosi, hampir merebut surat itu jika tidak dihalangi Gabriel.

“Hotel Crousant tidak akan pernah kami serahkan padamu, selama kamu menikah bukan dengan pilihan mama, Fir!” pekik Glady menolak.

Firheith menentang. “Pokoknya aku tidak mau tahu. Mama setuju atau tidak, hotel crousant harus jatuh ke tanganku karena mama sudah berjanji menyerahkannya setelah aku menikah!”

“Kalau begitu, ceraikan wanita udik itu dan menikahlah dengan wanita pilihan mama!” suruh Glady seraya menuding Mutia dengan jijik.

Rembesan bening seketika ambyar di pipi Mutia. Kakinya terhentak mundur, tidak menyangka jika Firheith tega memanfaatkannya demi kepentingannya sendiri.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Anis Eko
yg sabar muti ntr si fir dpt karma ny karma ny cinta sma kmu
goodnovel comment avatar
Paprika Hijau
pernh di LPC glady ini pernah suka ama Raymond
goodnovel comment avatar
Lavender
aku jd kepikiran ini juga kak,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status