Share

Bab 3. Sikap yang Dingin

“Kenapa belum tidur Mutia?”

Suara lembut dan hangat dari belakang, justru mengagetkan Mutia yang merenung sendiri di meja dapur malam itu.

“Ibu juga belum tidur.” Mutia memeluk lengan Ida, menempelkan pipinya dengan mata terpejam. Menyembunyikan kegelisahannya serang diri.

“Mau ambil minum, tapi malah melihat kamu di sini.” Samar-samar Ida melihat arah jam dinding yang menunjukkan angka sebelas malam, lalu mengelus puncak rambut Mutia. “Ibu tahu pernikahan ini berat buatmu. Tapi ibu yakin, suatu saat kalian berdua pasti saling mencintai.”

Mutia menghela napas dalam, tersenyum kecut. Keyakinan Ida tak mungkin terjadi, ketika Mutia dan Firheith tak lama lagi akan bercerai.

Tepatnya sebulan dan simbiosis mutualisme. Pernikahannya dengan Firheith demi menjaga nama baik keluarganya masing-masing.

“Nak, kamu melamun?”

Mutia tersenyum tipis dengan alasan, “Kangen ayah, Bu.”

“Ayahmu sudah tenang di surga. Pasti ia merestui pernikahanmu dan bahagia melihat dari sana,” kata Ida menghalau sedih. Ia juga tak kalah rindu dengan Ekandata.

Ekadanta, suaminya yang dulunya mantan polisi. Gugur saat bertugas melawan para mafia yang menyelundupkan senjata ilegal ke Indonesia.

“Bu, aku tidak mau meninggalkanmu. Aku ingin tetap merawatmu, karena selama ini aku belum bisa membahagiakanmu.” Mutia merengek seperti bocah, Ida semakin erat memeluk tubuh putrinya yang bergetar.

Kristal bening jatuh dari mata Mutia, Ida menghapusnya perlahan. Ibu dan putrinya itu menghabiskan waktu sejenak mengobrol. Lebih tepatnya, Ida banyak memberi wejangan soal pernikahan.

“Tapi sekarang kamu sudah memulai hidup baru, Muti. Suamimu prioritasmu, kamu wajib mengikutinya ke manapun ia mengajakmu pergi. Susah atau senang, selalu bersama seperti ikrar pernikahan kalian.”

Mutia berteriak tanpa suara, saat dadanya terasa sesak. ‘Itu hanya akan terwujud jika pernikahannya sungguhan, Bu! Tolong maafkan aku, harus menyembunyikan perjanjian pranikah sialan itu darimu.’

“Ibu bisa tinggal sendiri. Lagi pula masih ada tetangga atau kerabat dekat, termasuk Rich dan Alda,” sanggah Ida menenangkan.

Mutia terkesima pada ibunya yang selama ini dijadikan panutan. Ida adalah sosok ibu yang sabar, pengertian dan penuh kasih.

Sosok istri tangguh yang setia mencintai suaminya dan berhasil membesarkannya seorang diri sejak lima belas tahun lalu Ekadanta meninggal.

Ida tidak marah pada Mutia saat tahu mengalami pemerkosaan. Mutia tak bersalah, selain hancur pasti sang putri membutuhkan dukungan.

Semuanya terlanjur, kesedihannya berkurang ketika Firheith bersedia menikahi Mutia. Tanpa tahu perjuangan Mutia agar si bastard itu mau bertanggung jawab.

Mungkin jika tahu? Pasti Ida tidak akan sudi memaafkan Firheith.

“Bagaimanapun juga, Firheith telah menjadi suamimu, Nak. Hanya butuh waktu kalian menyesuaikan diri,” tutur Ida.

Mutia menunduk, diam mencerna.

“Sudah larut malam, masuklah ke kamarmu Mutia.”

Tidak ingin dicurigai, Mutia pun beranjak. Begitupun Firheith yang segera kembali masuk ke kamar setelah sempat mendengar semua percakapan Ida dan Mutia di dapur.

“Aku ingin bicara.”

“Kamu belum tidur?” tanya Mutia yang baru memasuki kamarnya. Ia melihat dalam kegelapan, Firheith berdiri menghadap ke jendela luar seraya merokok.

“Menunggumu.”

Tidak perlu tersanjung, karena yang dikatakan Firheith bukan pujian. Saat pria itu menatap Mutia dengan sorot dingin.

“Mau bicara apa?” Mutia bertanya dari jarak satu meter.

“Besok kita berdua akan pergi ke Belgia, menemui keluargaku.”

“Apa? Fir, ini terlalu cepat! Kenapa kamu tidak berdiskusi dulu denganku?” protes Mutia terlihat kecewa.

Firheith mengedikkan kedua bahunya ke atas, acuh tak acuh seraya mengambil jaket kulitnya yang tersampir di gantungan paku.

“Aku belum siap meninggalkan ibuku! Pasti ibuku juga tidak menyetujui ku pergi besok,” tolak Mutia beralasan, “Bukankah katamu pernikahan ini hanya kontrak? Lalu buat apa kamu mengajakku ke Belgia?”

Firheith tidak mungkin menjelaskan tujuannya pergi ke Belgia demi meminta hak waris dari kedua orang tuanya.

Selain hubungannya memang kurang baik, lantaran Firheith tak sepaham dengan sikap ibunya yang diktator. Firheith lalu memilih keluar dan bekerja pada Richard.

Tetapi karena hubungannya dengan Richard juga kurang baik belakangan ini, gara-gara kesalahannya meniduri Mutia. Firheith berubah haluan, ingin menagih warisan yang dijanjikan ibunya jika ia sudah menikah.

“Jangan banyak alasan. Sedangkan ibumu saja tidak masalah!”

Kelopak mata Mutia terbuka penuh, terbangun seraya menatap Firheith dengan tatapan terkejut.

“Sok tahu!”

“Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dan ibumu di dapur.”

Rahang Mutia terbuka cukup lebar, lidahnya kelu tak bisa membantah Firheith. Ternyata pria itu suka menguping pembicaraan orang?

“Dua tiket ke Belgia sudah dipesan untuk besok. Tanpamu atau tidak, aku akan tetap berangkat!” putus Firheith seraya berjalan ke arah pintu. “Tapi jelaskan pada ibumu, kenapa kamu menolak ikut denganku? Dan ya, tanggung sendiri akibatnya, jika terjadi sesuatu!”

“Fir!”

Pintu tertutup, Firheith telah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Mutia yang kesal, dalam kebimbangan sendiri. Ida pasti sedih jika ia tidak ikut Firheith ke Belgia.

“Aaaaaah!” Mutia pusing, mengerang lalu menelungkupkan wajahnya ke bantal. “Tuhan, aku tidak mau meninggalkan ibu sendiri. Bagaimana ini?” Tak lama ia menangis, memeluk tubuhnya.

***

“Wah! Pengantin baru, kenapa malah ada di bar? Dan bukannya menghabiskan malam pertama dengan istrimu?” kekeh pria paruh baya itu yang merupakan tour guide sekaligus anak buah Richard.

Firheith meliriknya sekilas lalu meminum wine nya lagi. “Pasti kamu tahu dari Rich.”

“Ya, aku terkejut. Seorang Firheith Crousant Lander, me-ni-kah?” Chandra geleng-geleng tidak percaya. “Apakah kamu sudah tobat, Nak?”

“Bisa siapkan kamar untukku sekarang, Pak Chandra?”

Firheith menghentak gelas snifter nya yang kosong di atas meja. Ketika seorang wanita seksi mendekat lalu bergelayut manja di lehernya.

Chandra membuang napas sebelum menyerahkan kunci dari balik jaketnya pada Firheith. Ia tahu kalau Firheith tidak akan bisa sehari absen bercinta dengan para wanita.

“Kamar nomor sepuluh.”

“Terima kasih, Pak Chandra.”

Firheith lalu menoleh pada wanita seksi itu, menggandengnya ke kamar tujuan.

“Aku akan memuaskanmu malam ini, Sayang,” kata wanita itu penuh damba menatap Firheith, seraya menurunkan resleting celananya.

“Ssshh! Hisap lebih cepat, Yolanda!” erang Firheith menjambak rambut wanita itu.

***

“Ibu yakin, tidak apa-apa aku tinggal sendiri di rumah?”

Mutia rasanya berat, berpisah dari Ida. Dipeluknya tubuh wanita tua itu dengan mengamati sudut rumah sederhana dari kayu ini.

Rumah di mana ia dibesarkan penuh kasih sayang. Meskipun ia dan Ida hidup miskin tapi merasa cukup karena selalu bersama-sama.

Bahkan demi mengikuti Firheith ke Belgia. Mutia telah mengajukan cuti dua Minggu pada kepala sekolah di mana ia mengajar.

“Tidak apa-apa, Nak. Kamu jangan khawatir, Ibu bisa jaga diri,” kata Ida lalu mengalihkan kesedihannya dengan menanyakan Firheith. Sejatinya ia tahu, jika menantunya itu tak pulang dari semalam. “Apa Fir belum bangun?”

“Maaf, semalam saya harus pergi dan tak sempat berpamitan pada ibu karena ada urusan mendadak.” Kemunculan Firheith membuat Mutia melepaskan pelukannya dari Ida.

Sekilas Firheith melirik Mutia yang buang muka, lalu pada dua buah koper yang tersimpan di sebelahnya dengan satu buah kardus.

Firheith tidak peduli isinya, yang penting Mutia setuju pergi dengannya ke Belgia hari ini.

“Tidak apa, Fir. Oia, Mutia sudah mengemas kopermu dan kardus ini ... maaf, sekadar oleh-oleh khas Bali untuk keluargamu, tidak banyak.” Ida menjawab rasa penasaran menantu bulenya itu sebelum bertanya.

Firheith tersenyum tipis lalu mendekatinya. “Terima kasih, Bu.”

Ida juga tersenyum dan mengusap bahu kekar Firheith. “Titip salam ibu pada kedua orang tuamu, ya.”

“Pasti, Bu,” Kemudian Firheith menarik dua koper itu. “Kami berangkat dulu, ayo Mutia!”

Mutia beranjak dari duduk, setelah mencium tangan Ida. Mendekapnya begitu erat, dengan buliran bening yang tak sengaja turun.

‘Bu, doakan aku tidak hamil. Supaya aku bisa segera bercerai dari Firheith,’ katanya dalam hati.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Anis Eko
fie nakal kamu ya sentil nih
goodnovel comment avatar
Lavender
Ya ampun fir tobatlah sebelim terlmbt
goodnovel comment avatar
Raflesia
ya ampun!!!! gila si fir, gk bisa berworld2 hargain dong mutia! tobat sbelum tongkatmu bengkok wkwkwk jengkel aku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status