“Apa maksud anda, Pak?” Ranum tak mengerti, atas apa yang Windraya katakan tadi.
“Jangan berpura-pura tidak paham, Ranum,” balas Windraya penuh penekanan.
“Saya memang tidak mengerti maksud anda —”
“Kamu tidak perlu memahami apa pun. Cukup diriku yang begitu!” sergah Windraya, dengan nada bicara tak bersahabat.
Ranum terdiam. Dia merasakan kemarahan luar biasa dalam setiap penekanan kata yang dilontarkan sang suami. Wanita itu mencoba memahami, dengan tetap bersikap setenang mungkin. Padahal, dalam dada ada gemuruh kencang yang sulit sekali dikendalikan.
“Pak …,” ucap Ranum lirih, mencoba menenangkan Windraya dengan ke
“Bu ….” Ranum menatap sayu Ainur, yang tak terenyuh oleh kondisi putrinya. “Aku tidak akan meminta apa-apa. Aku hanya membutuhkan tempat untuk bernaung, sampai melahirkan bayi ini.”“Tidak bisa! Ibu tidak mau mendengar ocehan tetangga, yang pasti akan menggunjingkanmu. Ibu ingin hidup tenang!” tolak Ainur tegas. “Ibu bisa menerima segala hal yang Ridwan lakukan, meskipun salah. Namun, kenapa tak bersedia melakukan itu padaku?” protes Ranum tak mengerti. “Kalian berbeda!” tegas Ainur. “Apanya yang beda ….” Ranum tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Ridwan muncul lebih dulu di sana. Remaja yang tengah mengalami masa transisi itu berdiri sesaat, mendapati Ranum ada di rumahnya. “Mbak? Kenapa ada di sini?” Pertanyaan yang kurang pantas, dilontarkan Ridwan terhadap Ranum. “Mbak juga sedang hamil. Memangnya, Mbak Ranum sudah menikah?” Ranum yang sejak dulu ingin bicara langsung dengan sang adik, beranjak dari duduk. Dia menghampiri Ridwan yang masih berdiri dekat pintu. “Mbak jadi
Ranum bagai tersambar petir, saat mendengar pernyataan Ainur tadi. Wanita muda itu memegangi perut besarnya, lalu bergerak mundur perlahan. Dia menggeleng tak percaya. "Tidak mungkin," ucapnya lirih."Itulah kenyataannya, Ranum. Kamu adalah putri yang tak diinginkan oleh Miranti.""Miranti?" ulang Ranum pelan.Ainur mengangguk.Sementara Ranum menunduk. Menyembunyikan wajah cantik menyedihkan dari Ainur, wanita yang ternyata bukanlah ibu kandungnya. "Siapa Miranti?" gumam istri kedua Windraya tersebut.Ainur menyeka sisa air mata di pipi. Sekeras apa pun sikapnya terhadap Ranum, tetapi dia telah menjalani sebagian waktu bersama wanita muda itu. "Miranti adalah adik tiri Mas Yanto. Namun, dia memilih jalan yang salah. Miranti menjajakan tubuhnya kepada para pria hidung belang.""Ya, Tuhan," ucap Ranum teramat lirih."Beberapa tetangga di sini ada yang mengetahui siapa dia. Oleh karena itu, aku tidak mengizinkanmu tinggal di rumah ini. Terlebih dengan perut besar yang tak jelas siapa ay
Windraya menutup panggilan terakhir yang tak juga dijawab Ranum. Dia berpikir sejenak. Pria itu merasa heran karena tak biasanya Ranum mengabaikan pesan singkat, apalagi panggilan telepon darinya. “Ke mana dia?” gumam Windraya teramat pelan, seakan tak ingin terdengar Nindira. Akan tetapi, Nindira memperhatikannya sejak tadi. “Kenapa, Win?” tanya wanita paruh baya itu, lemah.. Windraya yang berdiri agak menjauh dari ranjang, menoleh. “Entahlah, Ma. Ranum tidak biasanya mengabaikan panggilan telepon dariku … aku akan menghubungi yang lain.” Pria itu berinisiatif menghubungi ke nomor lain di rumah. “Panggilkan Bu Ranum. Saya ingin bicara,” suruh Windraya, setelah seorang ART menjawab panggilan teleponnya.“Bukankah Bu Ranum ke rumah sakit, Pak?” ART itu justru memberikan jawaban yang di luar dugaan. “Apa? Sejak kapan?” tanya Windraya.
Celia berjanji akan mengantar Ranum nanti sore, setelah menutup toko. Selagi menunggu, Ranum membantu wanita itu di sana. Mengerjakan hal-hal ringan sebagai tanda terima kasih.Sementara Windraya memilih kembali rumah sakit. Dia merasa tak nyaman ada di rumah tanpa kehadiran Ranum. Pengusaha tiga puluh delapan tahun tersebut juga tak sabar menunggu kabar dari Marcell, yang tengah memastikan ke rumah Ainur.Sedan mewah ditambah penampilan rapi khas eksekutif muda, membuat Marcell yang memiliki paras oriental dan perawakan bak para model pria, jadi pusat perhatian. Ajudan kepercayaan Windraya tersebut harus mengabaikan rasa risi yang muncul, akibat tatapan para tetangga sekitar rumah ibunda Ranum.“Nama saya Marcelino Lie. Saya kemari untuk menanyakan keberadaan Bu Ranum —”
Sesuai rencana, Celia menutup toko lebih cepat. Dia mengajak Ranum ke apartemen tempat tinggal keponakannya. Wanita paruh baya itu mengendarai mobil pick up. Tak ada rasa risi atau minder, saat memarkirkan kendaraan tersebut di antara mobil-mobil mewah yang berderet rapi di tempat parkir khusus pengunjung.“Ini sangat kebetulan. Keponakan saya sedang ada di sini,” ucap Celia, seraya mengajak Ranum masuk. Sikapnya teramat luwes, saat menyapa para petugas lobi. Sepertinya, dia sudah dikenal oleh mereka. “Bu Celia sering kemari?” tanya Ranum, setelah berada dalam lift. “Tidak juga. Saya lebih senang menghabiskan waktu di toko. Biasanya jam tujuh atau jam delapan malam baru tutup,” jelas Celia, seraya menekan tombol dengan angka yang merupakan lantai teratas.“Tapi, Anda juga membuka toko pagi-pagi. Apa tidak lelah?” tanya Ranum sopan. Celia tersenyum kecil. “Mau apa lagi? Anak-anak saya sudah besar. Mereka memiliki kesibukan masing-masing."“Lalu, suami Anda?” tanya Ranum lagi.Celia
“Ba-Bandung?” ulang Ranum terbata.Bastian mengangguk tenang. “Saya membutuhkan juru masak baru untuk dipekerjakan di rumah. Bukan di sini,” jelasnya penuh wibawa. “Oh.” Ranum manggut-manggut. “Artinya saya akan ikut Anda ke Bandung?”“Jika kamu bersedia.”Ranum mengangguk setuju. “Saya membutuhkan pekerjaan. Jadi, tidak masalah akan ditempatkan di mana pun.” “Baiklah.” Bastian mengeluarkan telepon genggam dari saku celana cargo pendek yang dikenakannya. “Silakan lanjutkan.” Pria itu berlalu dari dapur, sambil menjawab panggilan telepon. Sepeninggal Bastian, Ranum mulai mengolah beberapa bahan yang sudah tersedia. Meskipun sedikit kesulitan karena kondisinya yang tengah hamil besar, tetapi dia tetap melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Namun, tiba-tiba ingatan Ranum tertuju pada beberapa waktu yang lalu, saat memasak berdua di apartemen milik Windraya. “Ah ….” Keluhan pendek meluncur dari bibir Ranum. Melakukan aktivitas sedikit saja, tubuhnya langsung merasa lelah. Namun,
“Duda?” ulang Ranum.Susi mengangguk. “Saya yang mengasuh Chichi dari semenjak berusia satu tahun sampai sekarang.” Dia sudah selesai menyeduh susu. “Memangnya ke mana istri Pak Bas?” tanya Ranum lagi penasaran. “Setahu saya, istri Pak Bastian meninggal beberapa bulan setelah melahirkan. Sampai sekarang, beliau memutuskan hidup menduda dan fokus merawat Chichi. Saya rasa, Pak Bastian sangat mencintai mendiang istrinya,” tutur Susi terdengar meyakinkan. Wanita muda itu sudah hendak membuka mulut. Akan tetapi, segera diurungkan setelah mendengar suara deheman pelan seseorang. Titin muncul di sana. Dia merupakan ART senior di kediaman Bastian. “Hm, masih pagi. Kalian sudah bergosip,” ujarnya. Dia menatap Ranum yang tersenyum, lalu kembali pada pekerjaan. “Teh Ranum sedang apa?” tanyanya.“Menyiapkan sarapan, Mbak,” jawab Ranum, seraya menoleh sekilas. “Oh. Ya, sudah. Silakan lanjutkan,” ucapnya. Dia berbalik hendak keluar dari dapur. Namun, saat tiba di ambang pintu, wanita paruh bay
“Apa maksudmu, Mas? Kamu mengancamku?”Windraya menanggapi dengan senyum sinis, lalu menggeleng pelan. “Seharusnya kamu tahu diri. Aku punya uang dan kekuasaan. Jika bukan karena kasihan, kamu tidak akan pernah berada di sini. Aku menyesal karena tidak mendengar larangan mama yang tak pernah menyukaimu. Seharusnya, dulu tak perlu bersikap berlebihan sampai menikahi. Cukup kuberikan sejumlah uang dan —”“Kita menjalani rumah tangga selama dua tahun, Mas! Sebelum Ranum hadir dan menjadi orang ketiga di antara kita, kamu tidak pernah bersikap seperti ini. Kamu bahkan selalu bersikap baik, manis ….”“Jangan melibatkan Ranum dalam masalah ini!” sergah Windraya penuh penekanan. “Ini adalah urusan kita berdua. Dengan atau tanpa adanya dia, aku harus menyele