"Itu masalah yang saat ini sedang aku cari jalan keluarnya." Dia mengeser tempat duduk. Dari miring menjadi lurus ke depan. Pandangannya lurus ke arah air mancur."Kenapa tidak mau dengan bapaknya?" Aku semakin berani bertanya lebih jauh setelah melihat Silvia nyaman ngobrol dengan ku."Karena aku sudah memiliki kekasih hati." Aku menatapnya. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya kali ini. Deg! Hatiku mencelos mendengarnya. "Ooh. Betapa bersyukurnya lelaki yang kamu cintai, ya. Mempunyai wanita yang setia seperti kamu." Dia hanya tersenyum dengan bibir terkatup. Kembali menyembunyikan rahasia. "Di mana dia sekarang? Kenapa kalian tidak segera menikah. Bukankah kamu sangat paham bahwa tidak boleh pacaran. Kenapa malah pacaran?" Aku akan terus mengorek informasi sebisa mungkin."Sedang sibuk sehingga belum bisa menemui dan melamar aku. Kami tidak pacaran hanya …." Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. Namun, dari hitungan seratus yang aku hitung mundur di dalam hati, Silvia tidak
"Saat ini kita berteman saja dulu, Mas." Silvia menatapku sekilas sebelum pandangannya ke depan."Tetapi aku ingin lebih dari sekedar teman untukmu, Via." Silvia terdiam beberapa saat. Aku menatapnya karena masih menanti jawabannya."Mas. Kita jalani hidup ini seperti air mengalir. Terserah mau seperti apa kedepannya nanti. Kalau memang masih berjodoh pasti akan ada jalan untuk menyatukan kita. Pun sebaliknya, sekalipun aku sudah menerima lamaranmu kalau memang tidak berjodoh pasti kita akan berpisah jua." Apa yang diucapkan Silvia benar. Sangat benar. Tidak jarang orang berpisah meski sudah lamaran."Lantas mengapa kamu ingin menjadi temanku?" Aku menatap air mancur di depan kami."Mas. Kita sudah pernah menjadi suami istri. Kita juga pernah menjadi saudara angkat. Sekarang aku ingin kita berteman dulu. Sejatinya kita itu tidak saling mengenal. Sehingga saat menjadi suami istri pun tidak bisa mengatasi ketidak cocokan di antara kita." "Ketidak cocokan?" Kini aku yang mengernyitkan
Beruntungnya, saat ini yang menjaga kasir sedang tidak ada di tempat. Mungkin sedang buang hajat atau sedang shalat? Ah, bodo amat. Ini kesempatan aku untuk bisa mencuri dengar pembicaraan mereka. Sehingga aku memiliki alasan untuk tetap berdiri di tempat ini. Sedang menunggu kasir. Dengan demikian aku pun bebas mendengar obrolan dua manusia dewasa yang berbeda jenis kelaminnya."Berikan saya waktu untuk bisa lebih dekat dengan Bunda," pinta pria yang sedang duduk menghadap ke arahku. Ya, mereka ngobrol di meja belakang kasir. Silvia duduk menghadap ke arah dapur kantin. Sehingga tidak melihat aku yang sedang berdiri di belakangnya. Berbeda dengan lelaki duda yang duduk di seberangnya. Pria itu menghadap ke arahku. Untungnya dia belum mengenalku. Sehingga tidak tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka."Banyak wanita yang ada di sekeliling Pak Satria. Kenapa, Bapak malah melamar saya?" Silvia mengajukan pertanyaan sembari mengaduk minumannya dalam gelas.Penjaga kasir pun t
"Kenapa kamu tidak mau kembali padaku, Silvia? Apa karena bapaknya Putri?" tanyaku tanpa basa-basi lagi. Rasa penasaranku sudah di ubun-ubun. Silvia mendelik ke arahku. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Jangan-jangan kamu —" "Karena kamu sedang dekat dengan anaknya. Tidak menutup kemungkinan kamu juga dekat dengan bapaknya." Cepat aku memotong ucapan Silvia. Aku pun harus mencari alasan yang tepat agar wanita yang telah berada di atas motor matic ini tidak curiga. Bisa turun pamor dan bahaya kalau sampai dia tahu aku telah menguping pembicaraan mereka. "Sudahlah, Mas. Aku mau pamit." "Bund. Kok belum pulang?" Kami menoleh ke arah asal suara. Seorang lelaki sudah berdiri di belakangku. Silvia yang sudah siap menstater motor pun kembali urung. "Iya, Pak. Tadi ada keperluan sebentar." Silvia memberi alasan. Aku hanya menjadi pendengar di antara mereka."Ooh … ini siapa?" tanya Satria. Silvia tak juga menjawab pertanyaan Satria. Lebih baik aku yang mengambil alihnya. Cepat ak
"Maksudnya Eyang apa? Silvia itu bukan sampah bagi Bian." Suaraku tertahan di tenggorokan. Ingin rasanya aku memaki-maki lelaki di depanku itu. Aku pun menatap tak suka pada lelaki yang sedang duduk di tepi ranjang ibu. "Mas … jangan berdebat dengan eyang gara-gara aku. Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Bu, Eyang, Mas. Silvia pamit dulu. Sebaiknya Silvia tidak pernah muncul lagi di hadapan keluarga ini." Silvia bangkit dari tempat duduknya kemudian bersalaman dengan ibu dan ke Eyang. Namun, lelaki yang sudah berumur puluhan tahun itu tak mau menerima uluran tangan Silvia. Aku hanya mematung di depan mereka. Otakku berusaha mencerna ucapan Silvia tadi. "Silvia tunggu." Aku berusaha mengejarnya setelah perempuan bergamis warna silver itu setengah berlari meninggalkan ruang rawat ibu. "Apa lagi, Mas." Langkahnya terhenti. Aku tahu dia sedang menangis. Suaranya bergetar. "Ayo, ikut aku!" Aku menarik tangannya. Namun, segera dikibaskan. "Maaf." Aku lupa kalau dia menjaga agar ta
Dari kamar ibu menuju tempat parkir kami harus berjalan cukup jauh. Namun, aku menikmati langkahku. Dari jalan yang dipasang paving block ini, aku bisa menatap taman depan Mushola dari jarak jauh. Mataku tertuju pada bangku yang menjadi saksi bisu obrolan kami beberapa kali. Aku dan Silvia.Aku memperlambat langkah saat pandangan tertuju ke arah taman. Seolah mata dan kakiku masih ingin berlama-lama mengenang kebersamaan dengan wanita yang aku cinta. Aku tak ingin kehilangan kenangan tentang taman tersebut. Lebay, alay, atau seperti ABG? Aku tidak peduli kalian mau komentar apa. Memang cintaku yang begitu besar pada Sivia, sehingga aku seperti orang gila dibuatnya."Bian. Apa yang kamu lihat di taman tersebut?" tanya ibu yang mengembalikan kesadaranku. Aku terlalu larut dalam lamunan. "Ah, nggak, Bu." Aku tidak mungkin jujur pada ibu karena di belakang beliau ada kakek yang siap melontarkan kata-kata pedasnya untuk Silvia meski wanita itu tidak ada di depanku.**** Fh****"Bian. Kap
Aku baru ada waktu untuk mencari Silvia hari ini. Setelah satu Minggu pulang dari rumah sakit. Kemarin-kemarin sibuk di ruko. "Mau mencari Silvia, Bu," jawabku pelan setelah memastikan kamar eyang masih tertutup rapat. Artinya beliau tidur kembali setelah shalat Subuh. Cuaca yang dingin membuatnya nyaman untuk berlindung di bawah selimut. Semalam diguyur hujan lebat. "Ya sudah hati-hati. Kalau kamu tidak bisa mengambil hatinya Silvia kembali, jangan berkecil hati. Masih ada Allah. Langitan doa-doamu di sepertiga malam. Ibu pun akan turut mendoakanmu."Aku tersenyum penuh kehangatan setelah mendengar tutur ibu. Restu ibu sudah aku kantongi. Yes! ****Jantungku berdegup kencang saat tiba di depan rumah paman Gozali. Bagaimana tidak, rumah sederhana itu tampak ramai oleh orang-orang. Belum lagi di depannya terparkir beberapa mobil. Ini acara apa? Gegas, aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Di depan rumah tetangga paman Gozali."Bu. Numpang tanya. Itu di rumah paman Gozali ada aca
Beliau menaruh harapan besar agar aku bisa kembali menikah dengan Silvia. Wanita yang telah dianggap anaknya sendiri."Bu." Aku kembali menyapanya. Khawatir ibu kenapa-kenapa."Kamu yang sabar, ya." Suara ibu terdengar lemas. Pasti sangat syok dengan ini semua. Hening. Tidak ada percakapan di antara kami. Namun, telepon pintar pun belum kami matikan."Nak. Kamu harus terima kenyataan bahwa Silvia bukan jodohmu. Sekuat apa pun kamu mengejarnya kalau memang bukan jodohmu maka tidak akan bisa bersama. Ikhlaskan, Nak. Doakan semoga Silvia bisa bahagia dengan pernikahan keduanya ini." Aku yakin ibu bukan hanya sekedar menasihati anaknya yang sedang rapuh. Akan tetapi, ibu juga sedang menyemangati dirinya sendiri. Aku tahu ibu pun sama terlukanya dengan berita ini. Sama-sama harus menelan pil pahit. Bahwa Silvia tidak mungkin kembali ke rumah kami. Namun, ucapan ibu sedikit banyak bisa mengobati rasa sakit di hatiku. Aku harus sadar semua ini sudah ketetapan Allah. "Kamu yang kuat. Lebi