Iqbal Pov."Tapi Yas!"Tyas justru kembali menatap laptop seolah aku di sini tak terlihat. Mau tak mau aku pun keluar ruangan ini, dan mengikuti perintahnya dengan hati kesal.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" ucapnya dari dalam. Aku benar-benar seperti orang konyol, hendak bertemu istri sendiri saja seribet ini."Duduk!" titahnya menatapku, kemudian menatap bangku di depannya. Tak ada senyum ramah diwajahnya. Justru terlihat sangat judes."Ini coba cek!" Ia menyodorkan padaku beberapa file. Aku pun meraihnya dan langsung membukanya."Ini, laporan yang aku buat bulan lalu, kenapa memangnya?" Aku bertanya-tanya, pasalnya aku merasa nggak ada yang aneh dengan laporan itu."Kenapa? Pak Iqbal masih tanya? Lihat itu, output yang di dapatkan jauh dari target," ucapnya."Lho bukannya selama ini memang yang kita hasilkan segitu? Kenapa kamu pertanyakan?" tanyaku heran."Harusnya anda berpikir dong, gimana caranya supaya bisa meningkat? Anda 'kan manager operasional di sini! Tugas anda menaikkan hasil s
Tyas Pov."Tyas, kamu ini apa-apaan? Kau bisa menyuruh sekretarismu untuk memperbaiki ini semua. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan daripada harus mengurusi masalah tentang laporan, dan hal remeh temeh begini!" Mas Iqbal tak terima, dan ia melempar kembali beberapa berkas yang tadi kuberikan padanya.Seketika aku menatapnya tajam. Konyol memang, untuk hal sekecil itu, masak iya harus berulang kali diperbaiki."Nggak! Aku maunya kamu yang kerjain ini, kamu sendiri yang membuat ini, tanggung jawab dong! Ambil kembali semua itu atau kau akan tanggung akibatnya membangkang pada atasan!" tegasku.Mas Iqbal pun mau tak mau meraih kembali semua berkas itu. Makanya Mas, mulai sekarang biasakan kerja yang baik, rapi, karena aku akan langsung menegur.Aku sengaja sering memberinya tugas tambahan, lalu jika hasil kerjanya tidak sesuai, maka aku akan memintanya untuk memperbaikinya. Bukankah itu sangat wajar ketika pekerjaan kita kurang baik, ya sudah sepatutnya kita memperbaiki, buka
Memang benar apa yang Papa katakan, aku bisa saja memecat dia sekarang juga, tapi aku rasa tidak etis rasanya memecat seseorang tanpa alasan apapun.Bagaimana pun aku adalah pemimpin perusahaan, ke depan sepak terjangkau akan selalu jadi sorotan, di mata klien, juga di mata para karyawan lainnya."Iya Pa, nanti aku pikirkan caranya untuk bisa memecat dia dari kantor." Papa mengaguk paham."Kita bisa lihat, apa dia masih bisa tersenyum bangga tanpa pekerjaannya?" "Papa benar, dan Tyas pun ingin lihat bagaimana reaksi Bu Wina, apa dia masih bisa berbangga saat putranya tak punya apa-apa lagi."Aku teringat betapa ibu sangat bangga dengan pencapaian yang di raih Iqbal, padahal itu semua karena ada campur tanganku."Iqbal tanpa kamu, dia bukan siapa-siapa, ingat itu."Aku mengangguk paham."Sore ini Papa ingin ketemu sama Abi, ada hal yang ingin Papa bicarakan, kamu mau ikut?" tanya Papa. "Kayaknya nggak deh Pa, Tyas pengin istirahat, hari ini rasanya capek sekali." Aku menolak karena m
Bab 1. Berkhianat.[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?]Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto.Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel.Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut.Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung.Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon."Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh?"Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?"Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wan
Bab 2. Keributan."Tyas! Tunggu dulu, tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!"Aku memilih diam tak menggubris Mas Iqbal. Lagi pula kenapa pula dia melarangku untuk masuk, aku ini kan istrinya. Kenapa tidak boleh masuk. Jelas sekali ada yang disembunyikan."Tyas! Kamu apa-apaan sih!" Mas Iqbal berusaha menghalangiku yang terus melangkah."Diam kamu Mas!" bentakku.Sampai akhirnya kaki ini sampai di depan ranjang berukuran king. Aku terperangah melihat seorang wanita tengah bergelung selimut di atas ranjang.Bagai di tusuk belati tajam. Hatiku remuk redam. Koyak tak berbentuk, laki-laki yang selama ini begitu aku perjuangkan, ternyata tak lebih dari seorang b4jing4n! Dia bertukar peluh dengan wanita lain.Air mataku lolos begitu saja. Lidahku kelu, tiba-tiba saja lututku teras lemas sekali. Tapi aku harus kuat, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua manusia lakn4t ini. Duniaku seakan runtuh seketika melihat kenyataan di depan mataku. Perempuan itu memegang er
Bab 3. Ibu mertua "Aaauuuu!" Amanda berteriak kesakitan. Aku menarik kuat-kuat rambut hitamnya yang tergerai itu. Lalu mendorongnya dengan sekuat tenaga. Jadilah dia terhuyung jatuh ke lantai. "Dasar pelakor!" umpatku padanya. Teriakan wanita itu sukses mencuri perhatian Mas Iqbal yang sejak tadi sibuk mengincar ponsel milik Amel. Tapi tak juga mendapatkannya. Pintar juga Amel berkelit. Di saat posisi Amel kian terdesak karena Mas Iqbal berhasil mengunci pergerakan tangan Amel, dan hampir saja ia mendapatkan ponsel Amel tapi karena teriakan Amanda, Mas Iqbal jadi menoleh, fokusnya terbagi, dan ini menjadi kesempatan bagi Amel untuk lolos darinya. "Amanda, kamu nggak apa-apa?" Mas Iqbal terlihat khawatir dan buru-buru membantu gundiknya untuk bangun. Dengan cepat Mas Iqbal mengambilkan baju-baju perempuan itu yang tercecer dan memberikan padanya. Membuat perutku terasa mual. Menjijikan. "Amel, ayo kita pulang. Lama-lama di sini aku bisa muntah karena menyaksikan pasangan mesum."
"Tyas!" Ibu kembali memanggil kali ini suaranya sangat nyaring terdengar. Jika biasanya aku akan langsung menyusul ke dapur dan melakukan apapun supaya beliau berhenti mengomel, mendengarkan semua nasihat darinya untuk hidup hemat supaya bisa punya banyak tabungan. Tapi sekarang aku enggan menyusulnya ke dalam. Biarkan saja dia mengomel sampai puas. Aku sedang tidak ingin berdebat, sudah cukup kelakuan anaknya yang membuatku sakit, tak ingin aku bertambah pusing karena ocehannya. Ibu mertuaku sebenarnya baik, hanya saja beliau sedikit pelit. Terutama soal makan. Beliau rela makan hanya pakai ikan asin asal bisa nabung. Uangnya sebenarnya banyak, tapi dia jarang membelanjakan untuk urusan perut. Terkadang untuk makan sendiri saja dia sangat irit sekali dengan dalih berhemat. Dia lebih suka menyimpan uangnya untuk membeli tanah atau emas, daripada menggunakannya untuk makan enak apalagi jalan-jalan. Terbukti prinsipnya itu berhasil, ibu mertuaku punya beberapa tanah, dan rumah. Rumah
Bab 5. Mulai mengambil langkah. "Oke, kalau gitu kamu pilih aku atau dia Mas?" tanyaku dengan suara bergetar, menahan sesak yang menghimpit dada ini. Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tak sampai tumpah sekarang. "Aku nggak mungkin ninggalin dia, Yas!" "Segitu berartinya dia untuk kamu Mas?! Lalu selama ini pernikahan kita kamu anggap apa?!" sentakku tajam. "Sebenarnya kami ... Ka.i sudah menikah siri seminggu yang lalu. Bagai tersambar petir di siang bolong. Ternyata sudah sejauh itu hubungan mereka. Aku menatapnya dengan pandangan mulai berkabut. "Dan sekarang, dia sedang hamil anakku." Lagi-lagi tubuhku seperti di timpa godam yang teramat berat. Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang kudengar. "Aku laki-laki. Apanya yang salah? Laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu. Bukankah itu Sunnah, dan bagimu jaminannya syurga." Aku menggeleng tak terima. Sunnah yang di maksud dalam berpoligami tentu bukan seperti ini. Posisi Mas Iqbal jelas dia menikahi Amanda karena