Share

Bab 4. Kamu Pilih Dia atau Aku

"Tyas!" Ibu kembali memanggil kali ini suaranya sangat nyaring terdengar.

Jika biasanya aku akan langsung menyusul ke dapur dan melakukan apapun supaya beliau berhenti mengomel, mendengarkan semua nasihat darinya untuk hidup hemat supaya bisa punya banyak tabungan.

Tapi sekarang aku enggan menyusulnya ke dalam. Biarkan saja dia mengomel sampai puas. Aku sedang tidak ingin berdebat, sudah cukup kelakuan anaknya yang membuatku sakit, tak ingin aku bertambah pusing karena ocehannya.

Ibu mertuaku sebenarnya baik, hanya saja beliau sedikit pelit. Terutama soal makan. Beliau rela makan hanya pakai ikan asin asal bisa nabung. Uangnya sebenarnya banyak, tapi dia jarang membelanjakan untuk urusan perut.

Terkadang untuk makan sendiri saja dia sangat irit sekali dengan dalih berhemat. Dia lebih suka menyimpan uangnya untuk membeli tanah atau emas, daripada menggunakannya untuk makan enak apalagi jalan-jalan. Terbukti prinsipnya itu berhasil, ibu mertuaku punya beberapa tanah, dan rumah. Rumah ini pun berdiri di atas tanah miliknya.

Semakin lama suara Ibu sedang mengomel, makin santer terdengar. Lama-lama pusing juga aku.

"Ada apa sih Bu, berisik banget dari tadi," ucapku ketus. Ibu menatapku dengan tatapan yang tak biasa. Mungkin dia menyadari perubahan sikapku. Aku biasanya akan berbicara lembut dan manis padanya. Tapi tadi, nada bicaraku ketus padanya.

"Kamu ini apa-apaan! Ini makanan sebanyak ini buat siapa? Terus ini, kue ulang tahun beginian ini untuk apa? Buang-buang uang saja! Anakku kerja keras cari uang, kamu buang-buang uang! Masak banyak-banyak begini, tapi nggak dimakan, jadi basi begini! Mubadzir! Kalau memang nggak di makan mbok ya di bawa ke rumah ibu saja, biar Hasna sama Ibu dan Bapak yang makan!"

Aku diam saja mendengar ocehan Ibu. Mau membela diri juga pasti tetap dianggap salah.

"Begini jadi kebuang 'kan semuanya! Lagian kamu buat apa sih beli kue-kue segala, masak sebanyak ini! Mana semuanya makanan enak! Ada rendang daging, ada ayam, belum lagi ini udang. Ya Allah! Nggak usah bikin acara aneh-aneh kayak orang-orang itu, nggak ada gunanya. Pemborosan! Ngurusin urusan perut itu nggak ada habisnya! Toh juga enaknya cuma sampai di tenggorokan, udah sampai perutnya ya sama saja."

Ibu terus saja mengomel aku sampai pusing mendengarnya.

"Sudahlah Bu, ini semua juga karena Mas Iqbal." Aku menyahut.

"Apa Iqbal? Ini semua kan kamu yang bikin, kenapa malah nyalahin Iqbal! Tyas! Ibu nggak mau lihat begini lagi, kalau sampai kamu begini lagi, sebaiknya gaji Iqbal ibu saja yang pegang!" ucap Ibu masih dengan raut kesal menunjuk-nunjuk semua makanan itu.

Aku berlalu mencari kantong plastik untuk mengumpulkan semua makanan yang sudah tak bisa di makan itu.

Sayang sih sebenarnya, tapi mau gimana lagi, semuanya sudah basi.

"Duh, ini kelihatannya enak-enak semua, sayang banget semuanya sudah basi, kalau saja enggak basi, pasti habis aku makan semuanya ini." Aku masih bisa mendengar ibu bergumam ketika hendak berlalu mencari kantong plastik. Rupanya dia ngiler juga lihat makanan enak.

Aku mulai memasukkan semua makanan ke dalam kantong kresek. Terlihat ibu sedang membuka kulkas. Sudah tentu memindai isi kulkas sambil mulutnya mengomel. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya.

"Maaf ya lama. Biasa habis dengerin ceramah," ucapku setelah selesai dan kembali ke ruang tamu menemui Amel.

Amel hanya tersenyum geli.

"Yas! Ibu pulang dulu! Ingat pesan ibu tadi, jangan boros!"

Aku hanya mengangguk. Ibu pun berlalu dengan membawa satu toples kue kering milikku.

"Maunya aku jangan boros, tapi kue kering setoples punyaku, diembat juga," ucapku setelah ibu sudah tak terlihat lagi.

"Mertua kamu itu lucu, dia nggak tahu aja kalau menantunya ini sejak dulu, apapun yang di mau selalu terpenuhi. Jangankan makanan, pulau pun bisa dibeli. Ha ha ha." Aku dan Amel tertawa.

"Sudah lebih baik sekarang? Aku pamit balik dulu ya Yas. Pokoknya apapun nanti rencana kamu, aku dukung. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku." Amel menepuk pelan bahuku.

"Iya, makasih ya Mel. Aku nggak tahu kalau saja kamu kemarin nggak lihat Mas Iqbal di depan hotel, mungkin sampai sekarang aku nggak pernah tahu kalau dia itu selingkuh."

"Mungkin ini bagian dari rencana Tuhan, kebetulan Tuhan memilih aku sebagai perantara yang melihat mereka. Kamu sabar. Tetap tenang, balas mereka dengan bermain cantik. Hempaskan para penghianat itu."

Aku mengangguk setuju dengan apa yang Amel yang katakan. Bersyukur aku punya sahabat seperti dia.

Amel pun pamit pulang.

Aku menatap foto pernikahan yang bertengger di atas nakas. Aku tak menyangka pernikahan yang kita bangun dengan baik, harus harus dinodai dengan pengkhianat, Mas.

Deru suara mobil memasuki halaman rumah ini. Itu suara mobil Mas Iqbal. Jika biasanya ketika dia pulang aku akan langsung menyambutnya, dan dengan sigap membuatkan kopi kesukaannya, tapi kali ini, menatap wajahnya saja rasanya enggan. Aku memilih tetap diam di kamar.

"Tyas!"

"Tyas!"

Suara Mas Iqbal memanggilku.

Ceklek.

Pintu kamar terbuka. ia menghembuskan napas lega begitu melihatku.

"Tyas! Mas minta maaf. Ak–aku khilaf."

Khilaf dia bilang? Khilaf karena sudah ketahuan! Kalau tidak ketahuan apa dia masih bilang ini khilaf?

"Khilaf karena sudah ketahuan? Kalau nggak ketahuan, aku yakin kamu akan terus mencurangi aku Mas!" sungutku.

"Sudah berapa lama?"

Mas Iqbal menatapku lekat. Dia diam tak menjawab.

"Dia ... Dia bukan orang baru. Dia mantan pacarku dulu."

"Oh! Cinta lama belum kelar, rupanya! Pantas saja sudah tak punya urat malu! Mungkin mengenang masa-masa dulu yang belum selesai. Gitu!"

"Maafkan aku." Kata maaf yang terucap terdengar memuakkan.

"Sayang kata maaf saja tidak cukup Mas! Kamu anggap apa aku ini Mas? Kamu anggap aku? Hah! Aku sudah berusaha mengimbangi kamu! menjadi seperti yang kamu mau! Berusaha mengikuti segala aturan ibu kamu yang bawel itu, sekarang kamu malah–"

Aku tak mampu melanjutkan ucapanku.

"Sekarang aku tahu, kenapa akhir-akhir ini sikap kamu berubah, sering pulang larut malam dengan alasan meeting! Rupanya meeting dengan pelacvr itu! Hah?!"

"Amanda bukanlah wanita seperti itu! Jaga ucapanmu Tyas!" bentak Mas Iqbal, dia selalu tak terima jika aku menyebut jal4ng itu dengan kata pel4cvr.

"Lalu apa namanya jika bukan pel4cvr! Hah? Oh, Jal4ng? Hanya wanita jal4ng yang pantas untuk wanita mur4han perebut suami orang!"

"Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku tak segan menamparmu, Tyas!" ucapnya dengan nada meninggi. Tangannya terangkat bersiap hendak menamparku.

"Kenapa? Tampar saja, tampar! Sekali saja tangan kotormu itu menyentuh pipiku, aku pastikan kau akan menyesalinya seumur hidupmu, Mas!"

Mas Iqbal terdiam. Aku tersenyum kecut, kemudian membuang pandangan ke arah lain.

"Bukan begitu Yas! Dia adalah cinta pertamaku. Sulit bagiku untuk melepasnya setelah sekian lama kehilangan dia. Dan sekarang dia kembali, aku tak mungkin meninggalkan dia."

Aku terpana mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut suamiku. Ringan saja mulutnya berkata demikian.

Sebegitu berartinya dia di hati kamu? Aku merasa hatiku seperti di cabik-cabik. Mendengar suamiku mengakui betapa besar cintanya pada wanita itu. Sakit.

"Oke, kalau gitu kamu pilih aku atau dia Mas?" tanyaku dengan suara bergetar.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tth Im
mauan menjadi bagian yg dipilih iqbal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status